Pagi ini situasi canggung masih sangat terasa di apartemen milik Olen dan Erine, efek kejadian semalam yang berakhir dengan panggilan diputuskan secara sepihak oleh pemuda manis itu.
Kemudian Olen memilih diam, tak menjelaskan pada Erine siapa perempuan yang meneleponnya di tengah malam dan menyebutnya dengan panggilan sayang.
Meskipun ketegangan begitu terasa, tapi Erine tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa yakni membangunkan Olen, meskipun tanpa sentuhan yang berlebihan seperti pagi biasa mereka.
Beruntung Olen tipe yang gampang untuk dibangunkan, cukup menyentuh lengannya sembari digoyangkan pelan, maka pemuda manis itu akan membuka matanya.
Setelah Olen masuk ke dalam kamar mandi, Erine segera menyiapkan seragam sekolah suaminya itu dan bergerak keluar untuk membuat sarapan.
Tepat setelah pintu kamar mereka terbuka dan menampilkan Olen yang sudah mengenakan seragam dengan rapih, masakan Erine pun sudah siap untuk dihidangkan.
Hingga saat ini belum ada satupun dari mereka berdua yang membuka mulut untuk memulai perbincangan bahkan saat nasi goreng kornet di piring mereka habis tak bersisa.
Tak tahan dengan kecanggungan yang begitu terasa, akhirnya Olen memutuskan untuk mengajak istrinya itu bicara, karena jika tidak, pemuda manis itu tak akan bisa fokus selama di sekolah.
"Erine," panggil Olen sembari menatap ke arah istrinya yang masih diam di meja makan sederhana mereka.
Mendengar namanya dipanggil, secara perlahan Erine melihat ke arah Olen yang juga sedang memandanginya, "kenapa?" Tanya perempuan cantik itu dengan nada pelan.
"Kamu gak ada yang mau ditanyain?" Bukannya menjawab, Olen malah bertanya pada Erine yang membuat istrinya itu tersenyum tipis.
"Kenapa gak kamu aja yang ngejelasin?" Pertanyaan balik dari Erine berhasil membuat Olen terdiam, "kenapa harus aku yang tanya dulu, baru kamu jelasin?"
"Bukan gitu maksudnya—" belum selesai Olen menjawab, Erine sudah lebih dulu memotong ucapan pemuda itu.
"Terus apa?" Tanyanya dengan nada yang dinaikkan satu oktaf, "terus apa Olen?"
Tak ada nada lembut dari Erine lagi yang biasa Olen dengar, bahkan panggilan mas pun sudah tak lagi dipakai oleh perempuan itu. Tampaknya kali ini ibunya Joy benar-benar sedang emosi.
Dengan perlahan Olen mendekat ke arah Erine dan mencoba untuk menggenggam jemarinya, "tenang dulu, dengerin penjelasan aku dulu, oke?"
Erine tak menjawab, namun anggukan serta helaan napas dari perempuan itu, dianggap Olen sebagai jawaban iya.
"Jadi, cewek yang telfon aku tadi malam itu Alie, nama panjangnya Aralie," ucap Olen sambil terus menggenggam jemari dan menatap Erine lekat, "dia cewek yang pernah deket sama aku beberapa tahun lalu."
Ada jeda di sana yang membuat Erine terus menunggu lanjutan ucapan dari Olen, meskipun ada sedikit rasa sesak setelah mendengar sedikit informasi mengenai perempuan itu.
"Aku sama dia deket karena mama papa bersahabat baik sama orangtuanya Alie, dari kecil udah barengan terus yang akhirnya buat aku sama dia punya perasaan lebih," lanjut Olen sambil terus menelisik ekspresi dari istrinya.
Sebelum melanjutkan ucapannya, Olen terlihat menghela napas pelan, "tapi aku sama dia sepakat buat gak jadian karena ya emang gak bisa juga," ucap pemuda itu yang membuat Erine mengernyitkan dahi, "karena aku sama dia, sepersusuan."
"Jadi, aku sama dia mutusin buat jadi sahabat baik aja, tapi sejak dia pindah ke Jogja pas kelulusan SMP, aku gak pernah komunikasi lagi sama dia sampe tadi malem pas dia telfon aku," jelas Olen sambil terus mengusap punggung tangan Erine.
KAMU SEDANG MEMBACA
JOY [ORINE] | END
FanfictionMasih sangat dini untuk Olen dan Erine menjalani pernikahan yang hanya didasari oleh tanggung jawab dari perlakuan tak sengaja yang membuat sebuah nyawa hadir di tengah-tengah mereka.