Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 15 menit yang lalu, saat ini Erine dan Olen baru saja melangkahkan kakinya ke arah parkiran motor sekolah mereka.
Niatnya hari ini Erine dan Olen akan menghabiskan waktu lebih lama, karena gadis cantik itu sudah lebih dulu meminta izin orangtuanya untuk pulang lebih lama dari biasanya.
"Jadinya mau pergi kemana?" Tanya Olen sembari menggenggam jemari milik Erine erat.
Perasaan pemuda manis itu sedari tadi masih kacau balau, karena ketikan singkat dari Erine mengenai anak mereka.
Erine berpikir sebentar kemudian menjawab, "kita ke kafe depan aja yuk, aku lagi pengen minum jus alpukatnya, huhu seger banget pasti jam segini minum jus," gumamnya sambil melirik jam Baby–G berwarna pink–abuabu miliknya yang menunjukkan pukul 1:48
Olen hanya membalasnya dengan sebuah senyuman tipis dan anggukan pelan, kemudian menggenggam jemari Erine lebih erat lagi, seolah takut kehilangan.
"Kamu tau gak sih Len, menurut artikel yang aku baca di internet, katanya Joy udah harus diperiksa ke dokter tau," ucap Erine mmebuka pembicaraan lagi.
Olen semakin merasa jika perasaannya semakin kacau di saat Erine membahas tentang calon anak mereka, Joy.
"Tapi aku takut nanti kalo ditanyain macem-macem sama dokternya," lanjut Erine sambil mengerucutkan bibirnya, "apa aku harus pake make up tebel ya nanti pas mau ke dokter biar dikira perempuan dewasa," ucapnya sambil terkekeh.
Olen mencoba untuk ikut tertawa pelan, meski rasanya tenggorokan pemuda itu tercekat karena perkataan Erine.
Erine menatap ke arah Olen kemudian kembali terkekeh, "terus kamu pake perut palsu gitu, biar perutnya gendut kayak bapak-bapak abis itu pake kumis palsu, pasti kita berdua ga dicurigai."
Olen yang mendengar itu hanya bisa meringis kecil, hatinya seperti dicubit saat mendengar ucapan antusias dari Erine yang membuat egonya mulai goyah, namun lagi-lagi dia mencoba untuk memantapkan hati, untuk masa depan dia dan Erin yang lebih baik, batinnya.
Saat sudah di parkiran, Olen mengeluarkan motornya dan mendekat ke arah Erine, "nih helmnya, sini aku pasangin," ucapnya yang ditururi oleh gadis cantik itu.
Erine tersenyum lebar saat dipasangkan helm oleh Olen dan setelah itu langsung mendudukkan dirinya di belakang pemuda manis itu.
"Let's gooo!" Ucap Erine sambil memeluk erat Olen dari belakang.
Sementara Olen hanya bisa tersenyum tipis, otaknya benar-benar penuh saat ini, tak bisa berpikir jernih.
Tak sampai dua puluh menit kemudian mereka berdua sudah sampai di Kafe Junjou yang menjadi tempat nongkrong paling strategis anak murid SMA Netco.
Namun sepertinya, kali ini semesta menyetujui tindakan Olen, sehingga kafenya sepi pengunjung, tak seperti biasanya.
"Yuk masuk," ajak Olen sambil menggenggam tangan Erine erat, dan melangkahkan kakinya ke arah dalam kafe, mencari tempat di pojok kanan dekat toilet, "mau pesen apa?"
"Jus Alpukat aja dulu deh, lagi males makan," jawabnya yang diangguki oleh Olen yang langsung memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan mereka, "Len, aku mau ke toilet bentar ya."
Olen menganggukkan kepalanya kemudian meremas saku jaket yang sudah terisi serbuk pil pemberian Gabriel dengan pelan.
Tangan Olen mulai terasa berkeringat, dia saat ini benar-benar gugup. Rasanya campur aduk, ada perasaan khawatir, cemas namun didominasi dengan rasa takut.
Tak lama setelah itu minuman keduanya datang, Olen berupaya untuk terlihat santai saat menaburi serbuk itu pada minuman Erine, sambil merapalkan kalimat 'ini yang terbaik buat gue sama dia,' secara terus-menerus dalam hatinya.
Setelah berhasil menaburkan serbuk tersebut, Olen mengaduk minuman itu sehingga tak tampak mencurigakan sama sekali.
Kemudian, Erine kembali dari toilet dan langsung mendudukkan diri dihadapan Olen, menatap retina pemuda manis itu yang tampak meredup, entah kenapa.
Erine juga menyadari jika sikap Olen sejak tadi pagi aneh sekali. Pemuda manis itu tak seantusias biasanya ketika berbicara tentang Joy.
Namun, Erine menganggap jika hal itu dikarenakan ulangan yang diadakan yang dilakukan Pak Kinan atau memang karena pemuda itu kelelahan.
Erine tersenyum tulus sambil mengelus jemari Olen, seolah memberikan semangat pada pemuda itu, meskipun dia tidak tau apa yang membuat pemuda itu tak bersemangat.
Kemudian Erine mulai menyeruput jusnya perlahan, membuat Olen yang melihat itu tanpa sadar menelan salivanya sendiri, jantungnya berdegup dengan cepat.
Saat ini, waktu seolah terasa begitu lambat, benar-benar lambat. Dan Olen benci itu. Dia benci hatinya menolak semua tindakannya saat ini, namun otaknya terus berusaha membenarkan tindakannya.
Apalagi saat obat itu mulai bereaksi, dimana Erine tampak meringis sambil memegangi perutnya dan dia benar-benar kesakitan.
Kemudian genggaman tangan gadis itu pada Olen juga mengerat dan hal itu berhasil membuat pemuda itu menggigit bibirnya takut.
Rasanya Olen ingin menangis dengan kencang saat ini juga, ditambah pertanyaan dengan suara lirih dari Erine yang berhasil membuat pemuda itu langsung memeluk dan menggendong gadis itu keluar kafe untuk di bawa ke rumah sakit.
"Len, perut aku sakit banget, apa Joy udah gak sabar pengen keluar dan ketemu kita ya? Tapi apa ini gak terlalu cepat buat dia?"
Olen mengepalkan satu tangannya yang menahan Erine agar gadis itu tak terjatuh dari motor yang dikendarainya.
Sepanjang jalan dari kafe menuju rumah sakit, di dalam hati pemuda itu terus-terusan mengumpat dan merutuki kebodohannya sambil merapalkan do'a agar Erine dan calon anak mereka baik-baik saja.
'Joy, bertahanlah. Maafin papah, nak, maafin papah.'
***
"Nak Olen terimakasih ya sudah membawa Erine ke rumah sakit tepat waktu, om tidak tau lagi kalau terlambat bagaimana keadaan anak om satu-satunya itu," ucap Lio tulus pada Olen yang malah membuat pemuda itu semakin ingin menangis.
Baru saja Olen ingin mengangguk pelan dengan senyuman tipis, tiba-tiba Cynthia datang ke arah mereka berdua dengan keadaan kedua matanya yang memerah, menahan emosi.
Di susul oleh Nino —sepupu Erine yang langsung berlari ke arah Olen dan meninju pemuda itu dengan keras, hingga membuat hidung pemuda itu mengeluarkan darah.
Lio kaget dengan serangan tiba-tiba untuk Olen dari istri juga keponakannya, "Nino! Apa yang kamu lakuin sama Olen? Dia yang udah nyelamatin kakak kamu, kenapa kamu pukul dia?"
Nino menatap ke arah Olen sambil tersenyum meremehkan, "dia bajingan om, bajingan!" umpatnya yang berhasil membuat Lio mengerutkan dahinya, tak mengerti.
Namun, baru saja lelaki paruh baya itu ingin bertanya tiba-tiba sebuah tamparan kembali di layangkan untuk Olen, namun kali ini dari Cynthia.
"Kamu kan yang buat anak saya hamil? Iyakan? Terus kamu juga kan yang mau gugurin kandungan dia?!" tanya Cynthia dengan nada suara bergetar, menahan emosi, "kamu punya otak gak sih? Atau otak kamu sudah dihilangkan bersama nafsu kamu untuk anak saya?"
***
HAHAHA
Hai temen-temen, gimana part 7 nya? happy? Di part selanjutnya bakal jadi part terpanjang dalam cerita ini.
Jadi, karena hari ini moodku lagi bagus, sekalian aku juga lagi degdegan karena nunggu kabar. Kalian do'ain semoga urusanku lancar yaa temen-temen.
Karena kan katanya kalo udah di-aamiinin sama 40 orang bakal terkabul.
Sampai jumpa di part 8 yaa😋♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
JOY [ORINE] | END
FanfictionMasih sangat dini untuk Olen dan Erine menjalani pernikahan yang hanya didasari oleh tanggung jawab dari perlakuan tak sengaja yang membuat sebuah nyawa hadir di tengah-tengah mereka.