"Setiap bayi terlahir dengan fitrahnya yang murni dan suci. Tak pantas bagi mereka untuk kehilangan nyawa semata-mata hanya untuk menutupi aib menjijikan kedua orangtuanya."
***
Etalase dapur yang mulai berdebu. Laba-laba tampak sudah ingin mengambil alih, jaring-jaringnya terlihat kasat di beberapa sudut. Hawa pagi masih dingin, mata Alisa masih sedikit sayu untuk menyambut matahari. Tidak banyak stok makanan yang bisa diolah menjadi santapan yang memuaskan perut. Mungkin satu porsi telur dadar sudah cukup jadi modal energi untuk tubuh.
Matilda—kembali dengan wujud kupu-kupunya—diam bertengger di meja makan yang panjang namun kosong. Alisa sibuk berhadapan dengan alat masak. Memecahkan telur, menyalakan kompor, mengaduknya dan menggoreng.
"Tak ada teh?" Suara lembut Matilda memecah keheningan. Meski wujud kupu-kupunya begitu kecil dan terlihat ringkih, suaranya tetap terdengar lantang dan jelas.
Alisa menggeleng pelan, tatapannya kosong dan lurus fokus pada apa yang dua tangannya kerjakan. Sosok-sosok hitam menyeramkan masih membuntutinya. Tak peduli berapa sering Matilda bilang bahwa mereka tak akan bisa mencelakainya, tak peduli betapa Alisa mulai mempercayai Matilda, para sosok itu tetap ada. Wajah-wajah hancur hitam dengan mata merah menyala yang selalu mengawasi Alisa sungguh mengganggu.
Matilda juga mulai menurunkan sifat tegasnya. Pasca pembunuhan Tirta, Alisa berulang kali menggerutu atau bahkan berbicara sendiri di dalam kamar. Saat Erina masih tinggal di asrama, tingkahnya belum terlalu parah, Matilda masih bisa mengontrolnya hanya dari sinyal suara tanpa menampakkan wujudnya. Dan selama itulah suara Matilda selalu terdengar keras nan tegas, mungkin sedikit membentak tiap kali Alisa hampir kehilangan kendali.
Yah, mungkin ini salah Alisa juga yang tak bilang tentang para sosok hitam lebih cepat pada Matilda. Ketika Erina meninggalkan asrama maka tak perlu dipertanyakan jika ada rasa lebih bebas berekspresi dari dalam diri Alisa. Gadis 16 tahun itu jadi lebih sering berhalusinasi.
"Erina sering membuatkanmu teh, bukan? Apa kau sudah periksa isi laci-laci di bagian atas?"
"Terakhir aku lihat hanya tersisa susu, dua minggu lalu. Nona Laura yang biasa menjual susu keliling dikabarkan anaknya jatuh sakit sejak seminggu lalu."
"Masaklah air untuk kau minum, Alisa. Pagi ini dingin, ada baiknya diawali dengan mengkonsumsi yang serba hangat."
Alisa menurut tanpa mengangguk. Dia mengambil panci besar dan menuangkan air dari ember besar yang diletakkan di dekat pintu gudang. Menyalakan lagi kompor kemudian meninggalkannya. Telur dadar sudah siap disantap.
"Kapan Joa akan datang?" Alisa duduk di kursi yang biasa diduduki Erina. Kapan terakhir kali Erina dan dirinya makan bersama di ruangan besar ini? Entahlah, Alisa sudah lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Pembunuh "Alisa"
Mystery / ThrillerSeperti jiwa yang terlahir kembali dengan raga yang telah mati. Seperti jiwa yang memburu keadilan bagi raganya sendiri. Mungkin seperti itulah takdir hidup Alisa. Tidak, takdir hidup Alisa jauh lebih dari itu. Lebih rumit, lebih mengerikan, lebih m...