"Tidak ada manusia yang terlahir dengan hati iblis. Sifat-sifat itu telah ditanamkan oleh ribuan kebencian secara paksa."
***
Lelaki muda itu meratapi nasib, duduk bersandar meluruskan kaki pada dinginnya bata kamar penjara. Wajahnya penuh luka gores dan lebam, begitupun lengan, kaki, dan seluruh badannya. Air mata seakan sudah bosan mengucur di pipinya, hanya tatapan kosong tanpa asa yang ada di binar matanya. Tinggal satu kamar dengan pelaku kriminal yang jauh lebih kejam darinya membuat lelaki itu menjadi sasaran empuk, seakan menjadi samsak yang bebas digunakan tiap saat.
Petugas penjaga penjara hanya berlalu lalang, menatap sekilas memastikan tahanan tak kabur atau hilang. Acuh pada kondisi tahanan, padahal mereka sesama manusia juga. Sesekali petugas masuk hanya untuk menyodorkan semangkuk bubur hambar sebagai jatah makan pagi dan malam. Mereka menyodorkannya dengan menggunakan kaki bersepatu legam mereka, terkadang mereka menumpahkan isinya begitu saja.
Tatapan-tatapan penuh benci yang terus menghujamnya bertubi-tubi mana mungkin bisa dia lupa? Di manapun dia berada, duka dan lara terus melekat padanya, jatuh cinta pada bahunya yang terus kuat nan tegar bagai baja yang sulit dibengkokkan. Tapi tiap jiwa dan raga punya ambang batasnya, entah tentang kesabaran atau ketahanan.
Sorot lelaki dengan nama 'Agaskar Gelvino' yang terjahit di seragam tahanannya kini kosong. Tangannya yang dahulu mampu melawan setidaknya dengan satu dua pukulan atau membentengi diri setiap saat kini lunglai lemas tak berdaya. Dua kaki yang dahulu selalu berlarian membawa diri jauh dari marabahaya kini tak sanggup lagi menopang tubuh yang penuh luka.
Raga itu seperti telah mati, dihantam dan ditendang berkali-kali namun tak menimbulkan reaksi. Tanpa menggigit bibir pun dia tak bicara, tak berteriak kesakitan atau setidaknya menggerutu. Terlalu banyak luka, terlalu sering terluka, sudah menjadi identitas melekat yang tak bisa ia tolak. Raga dan jiwa yang terbiasa dengan sakit.
"Tuhan, aku mohon.." Suara paraunya terdengar sangat lirih, hampir seperti berbisik. Kesadarannya yang mulai kabur mengurangi segala fungsi tubuhnya.
"Jangan biarkan aku mengancaikan diri ini dengan tangan yang telah menjadi anugerah—Mu. Aku mohon.."
***---***
Hari minggu, setelah tiga minggu polisi dan tim penyelidik berusaha mencari jejak si pembunuh yang disebut-sebut berdarah dingin. Berita tentang Hermawan tiba-tiba saja meledak setelah diberi jatah cetak di sebuah koran lokal yang menjadi satu-satunya perusahaan koran andalan seluruh masyarakat. Berita itu dilabeli dengan "Tewasnya sepasang suami-istri secara tak wajar di rumahnya, diduga pelaku pembunuhan adalah orang yang sudah profesional. Jasad sang suami hampir hancur tak berbentuk pada salah satu tangannya, seperti tercincang-cincang. Sedangkan itu jasad sang istri ditemukan luka yang menembus dua sisi pada lehernya." Begitulah sinopsis berita yang Alisa baca dari koran yang dibawa Erina semalam. Erina memang paling peka pada lingkup sosialnya. Padahal lokasi kejadian itu cukup jauh dari asrama, Dandra bahkan tak bertanggungjawab atas pembagian koran itu. Entah Erina dapat dari mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Pembunuh "Alisa"
Misterio / SuspensoSeperti jiwa yang terlahir kembali dengan raga yang telah mati. Seperti jiwa yang memburu keadilan bagi raganya sendiri. Mungkin seperti itulah takdir hidup Alisa. Tidak, takdir hidup Alisa jauh lebih dari itu. Lebih rumit, lebih mengerikan, lebih m...