"Pa, nasi goreng itu bukan makanan kesukaanku. Bukan aku yang cinta mati sama nasi goreng." —Erina Ratni Mahawirya
***
Erina meratapi pintu kamar yang senantiasa tertutup rapat itu, selalu terlihat tertutup meski tak pernah dikunci. Dirinya juga enggan untuk sekadar mengetuk apalagi menapakkan kaki ke dalam kamar itu. Terasa terlalu dingin, tak nyaman.
Satu-satunya kamar yang ada di lantai bawah rumahnya yang megah. Kamar dengan ukuran luas paling besar. Erina mulai lupa bagaimana tata letak barang di dalamnya, sudah terlalu lampau sejak terakhir kali ia masuk ke sana.
Kamar itu sebenarnya berpenghuni. Selalu berpenghuni. Seorang wanita yang sakit-sakitan jiwa raganya dan seorang pria yang setia bolak-balik demi mengurusnya. Sesekali teriakan atau suara benda terbanting jatuh terdengar dari sana. Erina sering mendengarnya tiap kali jam makan, kala dirinya duduk sendiri di ruang makan yang terdiri atas empat kursi.
"Erina? Kamu sudah pulang, Nak?" Sebuah suara memanggil, diiringi dengan pintu kamar yang diratapinya perlahan terbuka.
Gadis itu padahal hendak cepat-cepat naik ke lantai atas, ke kamarnya tanpa harus berinteraksi dengan pria ini. Papa-nya. Aris.
"Iya, Pa. Barusan."
Aris melangkah menghampiri. "Kata Mbak Ayi, kamu lagi sering menginap di asrama. Benar?" Lelaki itu bersungut, sulit bagi dirinya untuk menaruh secuil perhatian untuk putrinya kala kondisi istrinya memprihatinkan dan masalah eksternal begitu menguasai.
Erina menggigit bibir. Ah, Pak Viki pasti akan melapor juga, cepat atau lambat. Toh, dia pula yang rutin mengantar-jemput Erina dari asrama ke sekolah bolak-balik, atau ke rumah seperti saat ini.
Mbak Ayi? Oh, asisten rumah tangga itu begitu setia pada Aris. Usianya yang panjang penuh kemakmuran adalah berkat kebaikan Aris.
"Ngapain? Ada temanmu yang tinggal di sana? Papa baru lihat juga tagihan listrik dan air dari alamat asrama."
"Iya, ada. Anak rantau, temenku di SMA Cenderawasih."
"Dia sendiri, kah? Sampai kamu rela ninggalin rumah dan nemenin dia tinggal di sana berminggu-minggu."
"Iya. Gak masalah juga kan, Pa? Aku di rumah juga selalu sendiri di kamar," jawab Erina sedikit menohok.
Pernyataan Erina tak ada salahnya. Keberadaannya di rumah seolah tak ada artinya, eksistensi yang tak bermutu. Tak pernah diajak berbincang, saling bertatap atau sekedar duduk untuk makan bersama saja tidak. Kedua orangtuanya selalu makan di dalam kamar, selalu di dalam kamar.
Aris menelan ludah, menghembuskan napas berat. Putrinya ini telah beranjak umur remaja. Umur yang kata orang adalah fase membutuhkan pendampingan orangtua paling maksimal agar tak pernah melakukan perbuatan yang menyimpang. Umur yang sangat fatal akibatnya bila tak dibenahi dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Pembunuh "Alisa"
Mistério / SuspenseSeperti jiwa yang terlahir kembali dengan raga yang telah mati. Seperti jiwa yang memburu keadilan bagi raganya sendiri. Mungkin seperti itulah takdir hidup Alisa. Tidak, takdir hidup Alisa jauh lebih dari itu. Lebih rumit, lebih mengerikan, lebih m...