14. Sosok Dan Peran

119 54 127
                                    

"Jika memang mengasuhnya menjadi tanggung jawabku seumur hidup maka akan aku tanggung, seberat apapun itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jika memang mengasuhnya menjadi tanggung jawabku seumur hidup maka akan aku tanggung, seberat apapun itu. Meski sejatinya kami hanyalah saudara sepupu, meski mereka akan memanggilku sebagai 'paman' seumur hidup. Aku rela."

—Agaskar Gelvino

***

"Alisa!" Matilda tersigap, wanita itu dengan cepat meraih handuk dan memakaikannya untuk menutupi tubuh Alisa yang basah kuyup.

Hujan deras mengguyur seisi kota tak lama setelah Alisa pergi, dan masih berlanjut hingga saat ini.

Malam menuju dini hari, pukul 1 malam.

Gadis itu terus menunduk dengan rambut panjangnya yang sudah acak-acakan, kusut dan sebagian poninya menghalangi wajah Alisa. Tubuh gadis itu lemas, jalannya terseok-seok—menyeret kaki untuk sekadar melangkah.

"Bau darah..," ungkap Matilda saat ia sudah membawa Alisa masuk ke dalam kamar mandi.

Matilda menggigit bibir, napasnya tertahan beberapa detik. Terbayang-bayang sudah olehnya, apa yang dilakukan Alisa beberapa jam yang lalu. Dugaannya semakin kuat ketika melihat pisau yang dibawa Alisa dalam keadaan bersih kini sudah berlumur darah, terbungkus kain berlapis-lapis dan diikat dengan utas tali kasat.

"Kamu habis ngapain?" Tanyanya lugas.

Suasana mencekam. Antara wanita yang merasa dirinya adalah pembimbing, wajib baginya membimbing Alisa untuk mencapai tujuan sebenarnya. Menyakitkan memang, tapi ini harus.

Matilda juga seharusnya menjaga kesehatan Alisa, raga dan jiwanya, fisik dan pikirannya. Ia sudah berusaha untuk selalu ada di samping Alisa saat fase-fase depresifnya hingga melindunginya dari gangguan para makhluk cacat. Namun ternyata itu belum cukup.

Matilda harus berupaya lebih, harus berkorban lebih. Mungkin sedikit di luar rencana, tapi Matilda juga harus menerima segala hal tentang diri Alisa. Segalanya, senang dan susahnya, waras dan gilanya, fase sehat dan fase depresifnya, sisi manusia normal dan sisi pembunuhnya. Matilda harus mampu menerima itu semua.

Harus. Matilda baru menyadari itu.

"Alisa, aku ga akan marah," Matilda mengalungkan handuk pada bahu Alisa dan mulai mengeringkan tengkuknya. Kemudian ke kepala dan rambut.

Alisa hanya diam. Sorot matanya sayu namun juga tajam. Ia tak berani mengangkat wajahnya, pandangannya lurus ke kaki.

Matilda menelan ludah. Wanita itu akhirnya memilih untuk membantu Alisa membersihkan diri lebih dulu, membersihkan pisau kesayangannya kemudian. Ia bahkan rela repot-repot turun ke dapur dan menyiapkan roti, telur dadar serta segelas susu untuk Alisa.

Si Pembunuh "Alisa"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang