"Gue yang udah gagal total aja masih berupaya meneruskan nama ini. Lo yang berjaya kenapa belum?"
***
"Lo yakin bahwa semua kasus-kasus pembunuhan akhir-akhir ini tuh dilakukan oleh pembunuh yang sama?" Farrel mendongakkan wajahnya. Kini tak hanya satu lembar koran, koran-koran edisi lalu pun bergeletakan di meja kerjanya.
"Harusnya sih, iya Bang. Dugaan berupa asumsi doang sih ini. Tapi kalau gue lihat dari jenis senjata yang dipakai sih yaaa.. Sama persis, Bang."
"Lo ga turun ke TKP, kan?"
"Enggak, Bang. Tapi pas yang Gelvino itu.. Aduh kayaknya gue berstatus jadi saksi mata, deh."
Farrel bergidik, menunjukkan tatap tak suka pada bawahannya itu. "Raffa, lo bisa gak, kurang-kurangin gitu. Kebiasaan melakukan hal yang gak penting."
"Dih, enggak, Bang. Maksud gue-Aduh.."
"Apa? Maksud lo apa? Yang jelas kalo ngomong."
"Gue tuh sempet liat si pembunuhnya."
"Hah?"
"Iya. Gue waktu itu dari rumah mau ke markas, otomatis harus ngelewatin rumah Gelvino. Nah, di situ gue ga sengaja ngeliat orang yang gue yakin bukan penghuni rumah atau anggota keluarga Gelvino, keluar dari rumah Gelvino. Sekitar jam 2 atau 3 dini hari mungkin?"
"Lo yakin dia pembunuhnya?"
"Antara yakin ga yakin sih, Bang.. Soalnya dia perempuan, kelihatannya masih muda pula."
"Lo liat wajahnya?"
"Sebagian. Dia pake syal gitu terus dijadiin tudung dan nutupin sebgain wajahnya, dari hidung ke bawah."
"Gadis, yaa.. Hm, hebat juga untuk seorang perempuan membuang perasaannya."
"Jadi..?"
"Tetep cari dia. Kita harus benar-benar menyematkan nama Srigala padanya," Farrel tersenyum bangga.
***---***
Alisa mengencangkan lagi lilitan syal di leher juga wajahnya agar tak mudah lepas. Gadis itu berjalan perlahan, membuka pagar rumah Gelvino dengan kunci duplikat yang kemarin Agaskar berikan.
Berkat Agaskar, Alisa seolah memiliki hak atas rumah ini. Seluruh kunci duplikat diberikan padanya. Kunci gembok pada pagar, kunci rumah Baya dan rumah Bara, hingga kunci kamar Agaskar. Entah apa keuntungannya, Agaskar mempersilakan Alisa keluar-masuk kawasan rumah sesuka hati.
Masih pukul 6 pagi. Agaskar pasti masih sibuk mengurus tiga sepupu kecilnya itu, Alisa tak ingin mengganggu. Gadis itu kemudian memilih untuk masuk ke rumah Baya dahulu, ia ingat di dapurnya terdapat beberapa jenis bubuk teh yang bisa ia konsumsi pagi ini.
Alisa membuka pintu itu, yang dahulu sempat ia dobrak masuk. Pemandangan perabotan di dalam jauh lebih bersih dari dua hari lalu saat Alisa berkunjung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Pembunuh "Alisa"
Mystery / ThrillerSeperti jiwa yang terlahir kembali dengan raga yang telah mati. Seperti jiwa yang memburu keadilan bagi raganya sendiri. Mungkin seperti itulah takdir hidup Alisa. Tidak, takdir hidup Alisa jauh lebih dari itu. Lebih rumit, lebih mengerikan, lebih m...