Alvin

39 15 21
                                    

Di pagi yang cerah, di lingkungan sekolah yang luas, terdapat seorang laki-laki yang berusia 17 tahun. Dia bernama Alvin, kelas 2 SMA Negeri 2 Purna Putih. Dia berambut model korea dengan poni yang menjuntai bak tirai, berbadan tinggi, dan sudah pasti ganteng. Setiap kali masuk sekolah tak heran banyak perempuan yang menyapa tanpa terkecuali, tetapi Alvin mengabaikan hal itu layaknya angin.

Dia sangat dingin menambah kesan keren yang amat mematikan. Meski begitu, dirinya mampu menjalani 1 tahunnya tanpa hambatan berkat teman-temannya. Di tahun kedua ini, ia berharap semuanya tidak ada masalah apalagi masalah yang berkaitan dengan masa lalu.

Alvin berjalan santai dengan angin yang menerpa wajahnya hingga membuat rambutnya melayang. Ia masuk ke aula pintu masuk sambil membawa tas di punggung lalu menaiki tangga ke lantai 2 tepat di samping ruang guru 1. Di lantai 2, terdapat tangga lagi menuju lantai berikutnya tetapi Alvin masuk ke dalam ruang kelas yang berada di tengah sisi kiri karena sisi kanan balkon yang penuh dengan tanaman hias kelas sebelah.

“Oh, Alvin! Selamat pagi, seperti biasa kamu ganteng kayak ….” 

Alvin melewati perempuan itu tanpa membalasnya dengan sepatah kata. Perempuan itu adalah sekretaris kelas yang bernama Sania—berambut panjang yang dikuncir kuda dengan poni yang menutupi dahinya—dia sedikit berbeda dengan perempuan lain yang naksir ke Alvin karena dia anaknya tomboi.

“Oh, Alvin! Lama banget datangnya kayak aku dong udah nyampe dari tadi,” ejek teman di bangku sebelahnya.

“Elu datang jam segini udah pasti lari dari emak lo, kan? Gara-gara ngilangin tupperware,” balas Alvin seraya duduk di kursinya.

“Berisik!” kesalnya.

Nama teman yang duduk di sebelahnya adalah Dio. Laki-laki berkulit coklat, rambutnya agak berantakan, dan dia diam-diam naksir Sania karena cantik jelita, baik, dan berani. Tapi sayangnya, Dio gak berani mengungkapkan perasaannya sebab cara nolak Sania itu cukup unik dan menarik bahkan sampai orang yang pernah menyatakan cintanya langsung mencari perempuan lain.

“Pagi, Alvin! Kamu bawa bekal, gak? Kebetulan aku bawa dua soalnya aku masaknya kebanyakan,” tawar seorang perempuan.

“Ciee, tiap hari kok masaknya kebanyakan,” ucap Dio dengan wajah ngeselin.

“Apaan, sih!” pukulnya.

“Oke, seperti biasa makasih,” jawab Alvin seraya mengambil kotak bekal yang perempuan itu pegang.

Perempuan itu tersenyum malu. Dia adalah Nara—berambut lurus hingga ke pinggang, terdapat kepangan di rambut sebelah kanan, dan poni yang mengarah ke kanan dengan rapi—dia adalah salah satu orang terdekat Alvin karena mereka adalah teman masa kecil. Tapi, tanpa sepengetahuan Alvin ternyata Nara menyukainya.

Apalagi saat mereka masuk SMA sama, Nara kegirangan tidak main bahkan selalu memikirkan Alvin dan hari esok. Ia berharap selama bersekolah Alvin menyadari perasaannya tetapi selama tahun pertama Alvin sama sekali tidak menyadarinya hingga sekarang.

“Pagi, guys. Oh, lagi-lagi Alvin di buatin bekal. Punyaku mana?” tanya seorang laki-laki yang duduk di depan Alvin.

“Anda siapa? Anda orang asing,” balas Nara lalu kembali ke tempat duduknya yang berada di pojok dekat pintu masuk.

“Seperti biasa, diabaikan sama dia,” ujar Dio.

“Bacot! Tapi tumben lo datengnya pagi. Kesambet apa? Oh, jangan bilang ngilangin tupperware emak lo!”

Dio yang merasa de javu langsung melempar kertas yang ada di lacinya ke arah laki-laki itu. Dia adalah Arel. Dia berambut sedikit cepak dengan kacamatanya yang membuat dirinya tampak seperti orang pintar—memang aslinya pintar—tapi sayangnya kepribadian Arel lumayan menyimpang dari kata murid teladan karena hobinya berkelahi.

Meski sering berkelahi, dirinya jarang terluka parah atau bahkan hampir tak pernah ketahuan guru karena lukanya berada di tempat-tempat tersembunyi yang susah dilihat oleh mata kecuali teman-temannya termasuk Alvin.

“Kelahi lagi?” tanya Alvin.

“Eng …Gak juga. Cuma tadi aku lihat di gang tempat biasa sekolah lain nongkrong tiba-tiba jadi kosong melompong. Ditambah lagi, biasanya jam segini ada konflik tapi tadi gak ada satupun konflik kayak lenyap dari muka bumi,” ujar Arel.

Dio dan Alvin saling menatap kebingungan. Di tengah pembicaraan serius ini datang Sania yang bilang akan ada murid baru. Muridnya itu pindahan dari SMA yang jauh tapi tidak diketahui asalnya di mana. Sania juga mengatakan kalau jam pertama di ganti jam bahasa Indonesia soalnya guru biologi ada urusan mendadak.

Tidak ada respon di antara mereka yang membuat Sania memutar bola matanya lalu pergi. Alvin dan Arel bersikap bodo amat dengan hal itu tetapi tidak dengan Dio yang meloncat dari kursinya sesaat setelah Sania pergi. Dia kegirangan tidak main—bukan karena murid baru—melainkan Sania yang berbicara kepadanya.

“Memang di kelas ini muridnya hanya 15 tapi gak ada yang beres,” ujar Arel seraya menekan pelan kacamatanya.

“Soalnya sekolah kita ini hanya menerima murid-murid tertentu kayak Sania. Tapi …Ada beberapa murid normal juga seperti Nara,” lirik Alvin.

“Heeh, tapi kok bisa Nara masuk sini? Dia kan pintar sama jago nari harusnya SMA manapun pasti mau nerima dia. Menurutmu kenapa, Vin?” tanya Dio sambil duduk.

“Entahlah. Mungkin karena dekat,” balasnya dingin.

Dio memasang wajah kecewa karena temannya ini tidak peka sama sekali. Walaupun begitu, ia tak memaksa Alvin untuk berbuat tidak perlu agar hubungan mereka baik-baik saja ditambah biar Alvin menyadari hal itu sendiri tanpa bantuan teman-temannya.

Ding! Dong! Dang! Dong!

Bel masuk terdengar memaksa mereka bersiap untuk pembelajaran pertama. Alvin mengambil buku dan alat tulisnya dan lagi-lagi Sania datang untuk mengambil pulpen yang kemarin Alvin pinjam. Melihat itu, Nara mendatangi mereka dengan wajah kesal karena Sania dekat-dekat dengan Alvin.

“Nara, aku hanya mengambil pulpenku. Kenapa kau kesal?” tanya Sania seraya memiringkan kepalanya.

“BUKAN APA-APA! Alvin seharusnya kamu minjamnya ke aku bukan ke Sania!” bentak Nara sambil menunjuk Sania.

Sania yang mulai tersulut emosi menendang meja Alvin hingga jatuh menimbulkan suara keras yang menarik semua perhatian yang ada di kelas. Dio yang hampir terkena meja Alvin hanya bisa diam terengah-engah menyaksikan Sania yang marah. Arel yang bijak memberi tahu agar tidak membuat masalah jika masih ingin tinggal di kelas karena Sania mendapat surat peringatan dari guru BK.

Dengan wajah kesal dan tatapan dingin, Sania mengambil pulpennya lalu kembali ke tempat duduk tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Alvin mendirikan mejanya dan tak sengaja menjatuhkan semua barang yang ia taruh di lacinya termasuk bekal Nara. Bekalnya tumpah kemana-mana, untungnya itu hanya nasi goreng, selada, tomat, dan ayam goreng.

“ALVIN! KAMU KOK TEGA BANGET BUANG BEKALKU!” teriak Nara.

“Na …RA! Bekalmu akan kuganti dan berhenti bersikap kekanak-kanakan! Sania tidak salah! Aku meminjam pulpennya karena kemarin kamu gak masuk. Aku butuh pulpen tajam untuk mengisi data!” balas Alvin dengan tatapan dingin.

Nara yang sedikit takut langsung kembali ke tempat duduknya dengan mata berair. Sementara Alvin hanya menghela napas panjang—seraya membersihkan dan merapikan barang-barangnya dengan cepat—sejak dulu sampai sekarang Nara sama sekali tidak berubah dalam membuat berbagai masalah sepele. Tidak lama setelah itu, wali kelas mereka masuk dengan membawa buku tebal dan buku absen.

“Perhatian! Kita kedatangan murid baru dari SMA Purna Hijau. Silakan masuk,”

Dari balik pintu masuk muncul seorang perempuan berambut keriting gantung panjang, poni panjang di depan telinganya, dan tatapannya yang tampak dingin. Setiap mata yang ada di kelas itu terkunci pada murid baru itu, begitu juga dengan Alvin yang terbelalak dan terkejut melihat kecantikan murid baru itu.

“Perkenalkan, saya Salestia Catline. Senang bertemu dengan kalian,” senyumnya.

SalesthiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang