Bab 6

9 7 0
                                    

2 hari setelah Sales kecelakaan, Alvin sering mengunjunginya sambil membawa buket bunga dan pisang segar hasil dari nyolong Arel—maksudnya dari pemberian Arel.

Di kamar yang amat sepi yang ada hanya suara angin yang menerbangkan gorden, cahaya mentari yang menyinari ruangan ini, dan beberapa burung yang mengepakkan sayap lalu terbang di luar jendela kamar Sales.

Alvin duduk di samping Sales seraya meletakkan barang bawaannya di meja. Ia juga mengganti bunga di pot kecil dengan bunga yang ia bawa lalu melempar bunga lama ke tong sampah di pojokkan tepatnya di belakangnya—walaupun cukup jauh tetapi Alvin mampu melemparnya tepat sasaran bak memasukkan bola ke ring—ia menyangga pipinya lalu satu kaki menyila di atas kaki lainnya.

“Sales? Apa kamu bangun? Aku bawa buah segar.”

“Pergilah! Aku tidak mengenalmu.” Sales balik badan seraya menarik selimut hingga rambutnya saja yang terlihat.

“Justru itu, kita kenalan lagi lagipula aku udah dapat ijin dari kakakmu buat jenguk kamu.” Alvin mengambil pisang lalu mengupasnya.

Alvin sedikit geleng-geleng kepala lalu mengungkapkan kalau dirinya sudah lama mencarinya sejak terpisah waktu itu, hanya saja ia kesusahan tidak main sampai-sampai mencari makan butuh waktu yang lama, ia ditolong Dio sama Arel untuk menginap dan mengurus segala kebutuhan hidup. Kenapa? Karena Alvin yatim piatu yang diusir dari panti asuhan karena melakukan sesuatu.

Nah, saat sudah merasa kehidupannya lebih baik, Alvin lanjut mencari Sales dengan berbagai cara seperti mendatangi sekolah lain lalu memperhatikan setiap siswa-siswi yang lewat, menggunakan secarik kertas yang bergambar mawar di area tertentu berharap Sales menerimanya, dan terakhir bertanya kepada orang-orang tertentu di setiap wilayah yang bisa ia jangkau.

Saat itu masih belum ada teknologi yang memadai untuk mencari informasi terkait luar wilayah. Hingga akhirnya hari ini tiba, hari yang sangat membahagiakan, serta hari yang mengubah segala pandangan hitam putih menjadi berwarna kembali. Sayangnya, yang merasakan hal ini hanya sepihak saja, si Alvin.

“Kata dokter, ingatanmu mungkin saja kembali jika pergi ke tempat-tempat yang sudah kamu kunjungi. Apa kamu mau pergi denganku? Aku rin—”

“Aku tidak mengenalmu! Jangan sok akrab denganku! Pergilah sendiri …Jangan kembali lagi!”

“Aku masih menyayangimu jika pun kamu tak mengigatku! Jika hubungan kita serapuh batang korek maka aku akan tetap menyalakannya hingga semuanya berubah menjadi abu. Aku akan tetap mengenang mu.” Alvin beranjak pergi dari sana, meninggalkan Sales beserta barang bawaannya termasuk pisang yang ia kupas.

Alvin sempat menoleh sebentar dengan tatapan ragu sebelum kemudian menginjak pergi dari sana. Kepergian Alvin membuat ruangan itu tampak kosong sekaligus membawa kembali nuansa sepi. Sales yang gundah langsung meloncat dari tempat tidurnya lalu menginjak-injak selimut dengan rasa kesal.

“KENAPA COBA! AKU SUDAH BILANG TIDAK MENGENALNYA TAPI DIA TETAP NGOTOT!” kesal Sales tapi anehnya wajah Sales memerah seperti menahan malu.

“Kan aku jadi tambah kangen kalau kamu terus ngomong ke aku,” gumam Sales seraya memeluk bantalnya dengan sangat erat.

Keesekokan harinya, Alvin datang dengan membawa gunting, sisir, dan jepit rambut. Dirinya ingin memotong rambut Sales karena rambutnya tak terawat bak dari zaman purba ditambah lagi banyak rambut bercabang. Karena perbannya sudah dilepas maka ini akan memudahkan Alvin dalam mengerjakan pekerjaannya.

“PERGILAH!” Sales bersembunyi di balik selimutnya.

“Tenang aja, gak ku cukur batok, kok. Jangan bilang …Kamu mau ngikat aku pake rambutmu biar aku gak bisa ke mana-mana?” ucap Alvin sudah mulai menggunakan bahasa gaul,

“BUKAN!” Sales keluar dari persembunyiannya dengan wajah merah.

Alvin hanya bercanda dan berkat itu, ia berhasil membujuk Sales untuk memotong rambutnya. Alvin menarik setiap helai rambut, menyisir, lalu memotongnya. Ia sangat terampil dan berpengalaman dalam memotong rambut, dirinya juga tampak mudah menata rambut Sales yang keriting gantung itu.

Tak ada percakapan apapun yang ada hanyalah senyuman yang terpampang di wajah mereka meski tidak saling melihat, mereka tahu bahwa saat ini mereka sedang tersenyum.

Tak lama kemudian muncul suster yang masuk ke ruangan mereka dan menyadari Alvin yang sedang bermesraan dengan Sales.

“AP—RAMBUTKU UDAH RAPI! SANA KELUAR DAN JANGAN BALIK LAGI!” usir Sales seraya mendorong ALvin dan suster keluar ruangan.

“Suster, apa anda punya dendam pribadi dengan saya?” Alvin melotot ke suster.

“Ma–ma–maf, saya permisi dulu.” Susternya langsung kabur dengan sangat cepat.

Karena sudah di usir, Alvin tak punya pilihan lain selain pulang lalu kembali besok untuk mengambil alat-alatnya yang ketinggalan. Di saat menginjakkan kaki keluar dari rumah sakit ia di hampiri oleh Arel untuk membicarakan perihal kemarin.

Tentu saja, Alvin memasang wajah bersalah tapi ia harus mendengarkan perkataan Arel terlebih dahulu. Mereka berdua pergi ke taman rumah sakit yang letakkan tidak jauh sekaligus tidak ada siapaun di sana sehingga cocok untuk membicarakan hal ini karena takutnya mereka akan di keroyok orang-orang jika tahu mereka menyusup ke sekolah lain.

“Aku sudah mencari infonya tapi ada hal buruk dan hal baik.” Arel duduk di kursi taman.

“Hal baik dulu,” jawab Alvin lalu duduk di sebelah Arel.

“Hal baiknya, lu bukan penyebab Nila Biru di tutup dan hal buruknya kita gak tahu penyebab Nila Biru di tutup,” ujar Arel.

Mereka berdua kebingungan tidak main bak mencari jarum di dalam jerami. Arel sebetulnya tidak terlalu peduli hanya saja ia takut sekolah mereka akan jadi seperti Nila Biru, Arel juga berpikir mengenai pelakunya seperti geng motor, mafia, teroris, dan sebaginya tapi tak ada yang dirasa benar.

Jika benar ulah teroris kenapa tentara dan polisi tidak bergerak? Kenapa berita semacam ini tidak disebarluaskan ke publik? Banyak pertanyaan janggal seperti itu yang membuat Arel tidak habis pikir harus bagaimana. Dengan tangan kanannya, Alvin menepuk bahu temannya itu supaya tidak terlalu stres.

“Jangan di tanggung sendiri. Sekolah kita pasti baik-baik saja,” ucap Alvin.

Keesekokan harinya, Alvin datang kembali ke rumah sakit. Ia membawa sebuket bunga dan kue coklat kecil untuk Sales tetapi saat masuk ke dalam dan terlihat Sales berdiri di samping jendela dengan rambut yang sangat rapi ditambah lagi ia menggunakan baju bebas dan celana bebas—sudah diperbolehkan pulang—membuat Alvin terkejut.

“Sales …Kamu sudah boleh pulang? Kalau gitu ayo kita ke—”

“Maaf, orang asing. Aku harus pergi dengan orang aku kenal bukan orang asing yang sok kenal sepertimu. Terima kasih sudah menjagaku selama berhari-hari, selamat tinggal.” Sales pergi begitu saja tanpa membiarkan Alvin memberikan jawaban atas responnya ini.

Alvin yang mendengar perpisahan ini langsung menjatuhkan buket dan coklatnya lalu mengejar Sales yang menghilang dengan cepat. Di sisi lain, Sales yang berubah dalam sehari ini kemarin mendapatkan telepon dari seseorang, kemungkinan pembicaraan di telepon itu yang membuat Sales harus menjauh dari Alvin.

“Maaf, kita harus putus sekarang!”

SalesthiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang