Bab 9

14 5 6
                                    

“Arel?”

“Maaf aku terlambat,”

Tanpa panjang lebar, Arel langsung menghajar mereka dengan sangat cepat tanpa sedikit belas kasihan. Ia terus melayangan pukulan dan tendangan hingga akhirnya mereka mundur  karena sudah babak belur dalam waktu singkat sedangkan Arel sendiri tampak tidak puas dengan hasil seperti ini.

Arel melepaskan ikatan mereka berdua dan untungnya lukanya tidak parah. Dengan tangan kasar yang hangat, Arel mengelus pipi Sales karena lebamnya yang cukup parah lalu merapikan rambutnya dengan sangat lembut seakan mengelus seekor kupu-kupu yang mudah patah sayapnya.

Kejadian ini dilihat oleh Alvin dan Dio yang baru datang setelah melihat ada siswa yang babak belur. Alvin yang merasa cemburu mendatangi Arel lalu menjauhkannya dari Sales kemudian memberantakan rambut Sales hingga wajahnya tak terlihat. Arel yang kesal menarik kerah Alvin dan menatapnya dengan serius,

“Aku yang menyelamatkannya dan aku juga yang merapikannya, gak usah gini juga kalau lu cemburu!”

“Sorry aja, aku biarin lu ngerebut cewek lain tapi jangan yang satu ini!”

Dio yang merasa mereka berdua akan bertengkar menjadi penengah meski ia takut karena Alvin dan Arel jago berkelahi sampai-sampai geng sekolah lain langsung lari terbirit-birit kalau melihat mereka.

“Emma, kita ke UKS.” Sales membopong Emma yang menitiskan air mata akibat takut.

“Biar aku bantu!” Alvin mendorong Arel kemudian hendak membopong Emma.

“Tak perlu! Kamu cuma orang asing,” ucapnya lalu pergi meski sedikit pincang.

Mereka bertiga menjadi terdiam sebelum kemudian guru BK mendatangi mereka. Tentu saja, Arel yang bertanggung jawab karena ia sudah melakukan kekerasan ditambah lagi dirinya akan mendapat SP(Surat Peringatan) sama seperti Sania.

Tidak terima jika Arel menanggung semuanya sendiri, Alvin berbohong bahwa dirinya juga terlibat hingga membuat luka lebam lebih parah dari Arel. Dio yang kebingungan harus bagaimana akhirnya ikutan berbohong meski ia tak pernah sekalipun berkelahi dengan siapapun, hal ini hanya membuat Arel dan Alvin ngakak dalam hati bukan rasa terharu memiliki teman setia sepertinya.

“Mukul lalat aja kamu berdoa dulu abis itu lalatnya di pukul sama Sania! Gini aja, karena guru-guru lagi rapat jadi kejadian ini gak usah di ungkit lagi. Kalau masih buat kegaduhan nanti ibu denda!” ancamnya.

“Baik, Bu.” Mereka bertiga sedikit membungkuk lalu melihat kepergian ibunya yang kembali ke rapat.

Mereka saling senggol siku dan berbaikan tapi di dalam hati Arel ia sepertinya menyukai Sales yang kuat dan tak takut apapun. Meski ia tak tahu banyak tentangnya, Arel tidak heran jika lelaki seperti Alvin yang dingin bak lautan es bisa jatuh cinta pada Sales meski mereka saling menjaga jarak kecuali Alvin yang masih tak rela melepaskannya dan pura-pura menjauhinya.

“Gimana kalau kita jenguk mereka?” tanya Dio.

“Gas!” Alvin dan Arel langsung lari, meninggalkan Dio yang belum siap lari.

Nara yang masih mengamati langsung membanting teropongnya hingga rusak parah. Ia meminta pelayannya untuk melakukan sesuatu pada Sales dan Emma sebelum hubungan mereka semakin dekat.
Dengan menggigit jari kuku-kukunya, ia pergi dari sana mencari cara lain salah satunya menyuap teman-teman sekelasnya. Nara terus menggerutu hingga tak sengaja menabrak siswi yang kebetulan lewat dengan membawa buku besar yang dipinjam dari perpustakaan. Nara yang jengkel langsung melampiaskan kemarahannya pada siswi tak bersalah itu.

Di UKS, Emma mendapat perawatan oleh Bu Ella bahkan ia memutuskan untuk tidur karena rasa sakit akan menghilang jika beristirahat. Sales sendiri hanya di obati dan di perban biasa meski ia sudah menolak berkali-kali jika dirinya tidak perlu dirawat ataupun istirahat selama beberapa jam.

“Kalau kamu gak mau dirawat sama bu Ella, apa aku yang perlu merawatmu? Ini penawaran eksklusif yang terbatas, karena aku gak suka melihat wajah sangarmu yang melunturkan senyuman gulali mu,” ucap Alvin.

“Gombal lagi si Alvin,” ujar Dio sembari mengalihkan pandangannya.

“Berhentilah seakan kamu dekat denganku!” balas Sales yang mengerutkan dahinya.

Alvin hanya tersenyum kecil dan sadar sudah cukup berlebihan. Mungkin butuh waktu lebih lama lagi supaya hubungan mereka kembali seperti semula, pikiran Alvin lagi-lagi mengingat masa indah dahulu hingga perpisahan memisahkan keduanya. Jika saja Alvin mampu mengatasi masalah keluarga Sales bisa saja hal ini tak akan pernah terjadi.

Penyesalan selalu datang terakhir, ia tidak bisa mengubah masa lalu yang bisa diubah adalah masa kini dan masa depan yang akan datang. Dengan harapan dan usaha, Alvin akan melakukan segala cara yang baik agar tujuannya dapat tercapai seraya mengingat nasihat-nasihat orang-orang terdekatnya kecuali Dio.

“Oh iya, Sales. Yang menyerangmu tadi siapa? Biar aku hajar!” Dio mengangkat tangan yang ia kepalkan.

Alvin dan Arel langsung menahan tawa lagi,  kali ini Arel keceplosan mengatakan kalau Dio jagonya bicara dan tindakannya dilakukan sama orang lain ditambah lagi, ini adalah alasan sampai sekarang ia masih belum berani mengungkapkan perasaannya ke Sania yang sudah lama dipendam dan hanya curhat ke mereka berdua.

“Aku tidak tahu. Siapapun itu me—”

“Biar aku saja yang mengotori tanganku jangan tangan mungilmu yang berkelas ini memukul mereka. Kamu terlalu elit untuk itu,” sela Alvin seraya menyentuh kedua tangan Sales yang  putih dan sedikit berdebu.

PLAK!

“Menggombal lagi! Ada ibu disini minimal keberadaan orang lain dianggap ada di dunia kalian ini,” pukul bu Ella.

"Maaf, Bu." Alvin menyentuh kepalanya yang panas.

“Oh iya, Sales. Kamu tinggal di mana?” tanya Dio.

Sales tak menjawabnya meski Dio masih menanti jawaban. Alvin melihat raut wajah ragu Sales langsung mengalihkan topik mengenai rumah Dio yang sangat unik dan menarik terlebih lagi emaknya yang sangat ‘baik hati dan peduli’ pada anaknya hingga hampir setiap hari di ‘ajari’ sampai Dio membuka mata ke dunia yang penuh dengan awan.

Merasa penasaran dengan rumah Dio, Sales ingin mengunjunginya bersama Belle dan Emma—jika ia sudah sembuh. Dio tampak sangat terkejut dan menolak kedatangan mereka karena rumah itu khusus untuk laki-laki saja.

“Tapi nyatanya lo pernah ngundang Sania ke rumah tapi ditolak mentah-mentah,” ejek Arel seraya menepuk punggung Dio.

“Ap—kok elo bisa tahu sih?” Wajah Dio langsung memerah karena malu.

DING! DONG! DANG! DONG!

Bel pulang sekolah terdengar. Tak berselang lama kemudian, orang tua Emma datang dan menangis hebat seraya memeluk anaknya itu. Tak diduga, Sales juga ikut menangis meski ia tak ingat, hatinya sudah mengukir berbagai kenangan yang sulit dilupakan sekalipun ia berusaha memendamnya.

Alvin dengan tangan lembutnya meraih kepala Sales untuk bersandar di bahunya. Tentu saja, Sales langsung menjauhkan diri sambil mengelap air matanya karena Alvin sudah punya pacar baru yang lebih baik darinya. Sales langsung pergi meninggalkan mereka tanpa mengucapkan apapun diikuti orang tua Emma yang menggendong Emma, orang tuanya juga mengucapkan terima kasih pada mereka sesaat sebelum meninggalkan ruangan.

...

“Sabar, Vin. Biar lo gak sedih lagi malam ni aku nginap di rumah lu lagi, ya?” ujar Dio.

“Lu mau kabur dari emak lu.”

“Aku juga mau ikut. Soalnya, ada hal yang perlu diomongin mengenai pengeroyokan tadi!” serius Arel.

SalesthiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang