Bab 4

19 10 2
                                    

Mereka berdua menatap heran Sales yang percaya diri hafal seluruh sekolahan yang bahkan lebih lebar dari tempat perkuliahan. Kemungkinan luas seluruh kelas ini bisa mencangkup 3 km dan 6 km meski kebanyakan sudah di bangun gedung-gedung, ruang belajar, dan taman-taman untuk refreshing siswa.

Jadi tak heran kalau pihak sekolah meminta ketua kelas atau perwakilan kelas untuk mengajak murid baru untuk berkeliling. Inilah yang membuat Alvin dan Nara heran dengan Sales padahal ia baru datang hari ini dan berkeliling sebentar bersama Sania seharusnya ia tak bisa menghafal semua tempat dalam waktu singkat.

“Hm, jika kamu menghafal semua tempat di sekolah ini maka seharusnya kamu tahu di kantin mana yang menjual es krim coklat,” tanya Alvin sambil mendekatkan wajahnya.

“Jelas, di kantin 1.” Sales memalingkan wajahnya.

“Salah, karena salah aku akan mengajakmu berkeliling sampai detail sekolah ini yang tidak banyak orang tahu.” Alvin menggenggam tangan Sales dan mengangkatnya hingga ia jatuh ke pelukannya.

“ALVIN!” teriak Nara.

“Maaf, Nara. Aku akan berkeliling dengan Sales dulu sampai ia bosan dengan sekolahan tapi tidak bosan denganku,” ucap Alvin.

Alvin langsung menarik Sales keluar dari kelas tanpa membiarkannya membalas ucapannya. Nara yang kesal langsung mengejar tetapi kehilangan jejak saat turun dari tangga. Ia tak menyerah, dengan wajah yang beruap marah ia keliling ke setiap sudut taman dan pergi ke kantin 1.

Nara sama sekali tidak menyadari jika mereka berdua bersembuyi di balik tangga yang sempit. Mereka berhadap-hadapan dan tampak Alvin terus menatap Sales lalu merapikan rambut Sales yang sedikit berantakan. Sales sama sekali tak menatap atau bertingkah malu layaknya cewek normal, ia segera keluar dari situ tapi Alvin dengan cepat menariknya kembali lalu menutup mulut Sales dengan tangannya.

“Fiuh, si Alvin lagi berduaan sama Sales. Baru kali ini aku lihat Alvin kayak gitu, menurutmu bagaimana?” ujar Dio berdiri di depan tangga bersama Arel.

“Pasti Nara bakal marah besar. Tapi …Sales cantik juga dan senyumannya …Ehem, seharusnya aku yang mengajaknya berkeliling,” balas Arel sedikit pura-pura batuk.

“Heh, lu mudah naksir rupanya kalau aku tetap setia dengan Sania,” semangat Dio.

Mereka pun berbincang-bincang yang membuat Sales dan Alvin harus menunggu lebih lama. Tak ada obrolan, tak bergerak, dan tak keluar membuat mereka sering kontak mata hingga Alvin menempelkan dahinya di dahi Sales lalu menutup matanya. Sales yang kaget tak sengaja menampar pipi Alvin hingga merah.

“Suara apa tu?” Dio melihat sekeliling.

“Suara kentutmu paling,” balas Arel seraya menutup hidungnya.

“Asem lu!” Dio hendak mendorong pelan Arel tapi ia lari ke lantai 2 disusul oleh Dio.

Merasa sudah aman, mereka berdua keluar dari tempat persembunyian dengan Alvin yang bengkak pipinya. Sales hanya bisa memalinghkan pandangannya seraya melipat kedua tangannya di depan dada, tampak juga wajahnya masih terkejut dicampur rasa bersalah karena tidak sengaja menampar Alvin.

“Ini salahmu, kenapa tiba-tiba melakukan itu?”

“Karena aku susah tidur belakang ini karena mencari mu dan mencari sesuatu. Maaf,” Alvin menundukkan kepalanya.

Dirinya selalu mencari Sales di manapun itu tak peduli di Antartika, bulan, ataupun di pluto. Ia akan terus mencari dan ia terkejut jika Sales masuk ke sekolahnnya terlebih lagi sekelas dengannya membuat mata hampir menitiskan air mata, tangan yang ingin meraih rambut lembutnya, dan ucapan manis nan dingin yang mampu membekukan waktu.

“Tapi …Pasti kamu tidak enak jika aku bertingkah seperti ini begitu juga saat di rumah sakit. Karena tingkahku yang sok akrab denganmu akhirnya kamu pergi. Maafkan, aku.” Alvin menundukkan badan lalu mengulurkan tangannya dan menatap mata Sales dengan tatapan sayu.

“Haaah, aku benci denganmu karena itu jangan mencari ku ataupun sok mengenalku,” ucapnya lalu pergi begitu saja.

Terpampang jelas wajah Sales yang mengerutkan dahi dan cemberut sedih. Sebenarnya ia kehilagan ingatannya atau tidak? Apapun itu sepertinya ia tak berniat berhubungan dengan siapaun termasuk Alvin karena dirinya …

Selepas kepergiannya, Alvin berdiri dan mengepalkan tangan yang ia ulurkan perlahan. Ia merasa harus melupakan Sales tapi setiap ia melangkah, berbicara, menatap, dan melakukan aktivitas Sales yang tersenyum terpintas di kepalanya sebab itu ia selalu dingin dengan orang lain.

“Sepertinya aku tidak ada di kepalanya,” ucapnya pelan.

Dengan kedua kaki yang sangat berat ia melangkah naik kembali menuju kelasnya. Dirinya kembali menatap bawah dengan mata sayu dan mulut yang bergetar seakan menahan kata-kata yang ia ingin ucapkan.

Tapi dengan sangat cerdas dan profesional ia menyembunyikan itu semua seakan tidak terjadi apa-apa begitu juga dengan Sales yang berjalan keliling seorang diri tanpa tahu apa yang ia pikirkan selama ia berkeliling. Ia sangat serius dan melupakan kejadian tadi sangat cepat bak angin yang melewatinya.

Ia sempat berpapasan dengan guru—jam istirahat sudah mau habis—guru itu bertanya mengenai Sales yang seharusnya segera menuju ke kelas bukan keliling. Sales dengan senyumannya memberikan alasan-alasan yang benar-benar tak terduga,”Sedang memeriksa lingkungan sekolah seperti yang diminta Bu Sarah.” Alasan ini membuat semua guru yang bertanya kepadanya hanya mengagguk dan pergi begitu saja tanpa bertanya lebih lanjut ataupun menanyakan asal kelasnya.

Setelah selesai berkeliling di sekolah yang amat luas itu ia berpapasan dengan siswa laki-laki yang membawa buku ceklist dan tampak wajah siswa itu sedang stres dan malas melakukan tugas yang ada di daftar ceklist itu ditambah lagi ia melakukannya seorang diri.

“Permisi, apa itu ceklist tentang keadaan sekolah?” tanya Sales dengan senyuman lebar.

“Oh, iya. Kamu ini dari ke—”

“Saya sudah keliling semua area dan memeriksa keadaannya. Apa saya perlu menyebutkannya?” potongnya.

“Wah. Kebetulan banget. Jadi yang pertama ini ….” Siswa itu dengan semangat menceklist bagian-bagian yang aman sesuai instruksi Sales.

Ia bahkan sangat percaya perkataan Sales padahal mereka baru bertemu seakan Sales adalah malaikat penyelamat waktu istirahatnya.

Setelah selesai, siswa itu dengan semangat pergi ke ruang guru dan segera pergi ke kantin karena waktu istirahat sudah akan berbunyi. Sales menatap pergi siswa itu dan senyumannya berganti menjadi sedikit seringai.

Di waktu yang sama, Nara yang berada di tangga menuju lantai 2 di panggil oleh guru di ruang guru 1. Dengan wajah berkeringat dan napas terengah-engah dirinya mendatangi guru itu dan secara bersamaan siswa yang di bantu Sales juga masuk ke ruang guru 1.

“Cepat sekali tugasmu? Kamu gak asal centang, kan?” tanya bu Sarah curiga.

“Mana ada, bu. Ini murni 100 persen benar, bu.”

“Oh iya, bu Sarah. Saya tadi berpapasan dengan anak perempuan yang katanya ibu menyuruhnya untuk memeriksa keadaan sekolah,” tanya guru lain.

“Oh, itu teman saya. Sepertinya dia tak sengaja mendengar saya akan melakukan hal ini jadi dia dengan senang hati melakukannya bersama saya,” ucap pede siswa itu.

Dan dengan gampangnya semua guru percaya hal ini, benar-benar manipulatif yang sangat handal hingga membuat orang yang tak dikenal percaya kepadanya. Nara yang mendengar ini mengambil selembar kertas yang guru itu berikan lalu berlari sekuat tenaga mencari Sales.

“Alvin, kok sendirian? bukannya elo sama Sales?” tanya Dio penasaran.

“Huh,” keluhnya.

“Jangan bilang elu di campakkan sama Sales? Cewek kayak dia itu udah pasti punya pacar,” ejek Dio seraya menepuk bahu Alvin yang duduk di bangkunya.

“Iya, pacarnya kan aku,”

SalesthiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang