Salesthia

24 11 8
                                    

Tak ada satupun respon di kelas yang ada hanya pandangan penuh rasa penasaran dan kagum terhadap kecantikannya bahkan suaranya bak malaikat yang memikat mereka. Keheningan itu pecah ketika Arel berdiri dan mengarahkan Sales untuk duduk di sampingnya, tentu saja yang lain ribut.

“DIAM! Sales, silakan duduk di belakang Sania. Pak Jimmy akan segera datang jadi jangan ribut! Sania, kemari,” panggil wali kelas.

Dengan wajah yang masih kesal, Sania berjalan dan berpapasan dengan Sales yang menuju ke bangkunya. Mereka berdua bertatapan sebentar lalu kembali berjalan.

Sania diminta mengatur ulang absen lalu wali kelas memanggil Arel untuk ikut dengan pak Yono di ruang komputer 3 di lantai 2 gedung sebelah.
Mereka berdua hanya mengangguk.

Tak lama kemudian, pak Jimmy datang dengan membawa tas hitam besarnya, buku-buku tugas milik kelas sebelah, dan tas yang di dalamnya terdapat proyektor. Kedatangan pak Jimmy di sambut hangat dengan wali kelas lalu pergi—bersama dengan Arel dan Sania—seraya membawa bukunya.

Mereka pun melakukan pembelajaran seperti biasa, tetapi, Alvin masih belum mengalihkan pandangannya dari Sales. Nara yang melihat itu merasa cemburu berat lalu dengan nyaring ia mengadu pada guru kalau Alvin melamun di kelas.

“Alvin, jangan melamun dulu!” tegur pak Jimmy lalu lanjut mengajar.

“Oi, tumben elu ngelirik cewek. Jangan bilang cinta pada pandangan pertama?” bisik Dio.

“Mungkin,” balasnya santai.

“Oh …Hm? APAAAAA!” teriak Dio.

“Dio! Maju dan kerjakan ini! Jangan malah teriak di belakang! Sini Maju!” titah pak Jimmy.

“Ba-baik, pak.” Dio maju ke depan seraya menatap Alvin dengan mata terbelalak terkejut.

“Lihat apa kamu ini!” tepuk pak Jimmy di pundak Dio.

Dio mengambil spidol di papan tulis lalu menjawab soalnya tetapi tulisannya sangat sulit terbaca karena ia bergetar hebat sampai-sampai keringat dingin mengucur dari kepalanya.

Bagaimana tidak, Alvin tak pernah membicarakan apapun mengenai tipe ceweknya dan dia menolak ratusan surat cinta bak menolak promosi iklan. Dan sekarang dia tiba-tiba jatuh cinta pada pandangan pertama terlebih lagi pada murid baru yang bahkan tidak diketahui asal-usulnya berbeda dengan Nara.

“Dio, Dio, nulis apa kamu ni? kalau ilmuan lihat tulisanmu langsung nangis, tak jamin. Dah, sana duduk!” suruh pak Jimmy yang geleng-geleng kepala.

Dio kembali menatap Alvin dan berjalan bak robot rusak. Alvin sendiri terus melirik Sales yang fokus melihat papan tulis hingga tak sengaja Sales menjatuhkan pulpennya. Dengan sedikit panik ia mengambilnya di bawah kursi dan saat mengangkat kepalanya dia bertatapan dengan Alvin.

Mereka berdua berhenti bergerak bahkan waktu serasa terhenti untuk momen singkat ini. Mereka seakan hanya berdua di kelas yang amat sepi dipenuhi dengan cahaya lembut dari jendela dan gorden yang di hembuskan oleh angin membuat momen itu seakan sangat tidak tergantikan oleh apapun.

“Vin! Oi budeg! Di panggil pak Jimmy tu!” panggil Dio seraya menendang kecil kursi Alvin.

“Uh, ya, pak?” Alvin berdiri dengan linglung.

“Kenapa, Alvin? Mau jawab soal ini?” tanya balik pak Jimmy.

“Bukan, pak. Saya ingin ijin ke toilet,” ujar Alvin sambil menatap Dio yang menahan ketawa hingga seluruh tubuhnya bergetar.

Dalam hati Alvin,”Awas aja!” lalu pergi meninggalkan kelas lewat pintu belakang—kelas ada pintu depan untuk masuk dan pintu belakang untuk keluar—dan lagi-lagi ia bertatapan dengan Sales yang masih belum mengubah posisinya.

Sales kembali ke posisi duduknya lalu melanjutkan pembelajarnnya tanpa tahu bahwa Nara memperhatikannya lewat cermin kelas yang tepat berada di dinding depan Nara. Merasa cemburu, Nara berniat menghampiri Sales untuk ‘memastikan’ dia tidak terlalu dekat dengan Alvin.

“Oh iya, bapak ada urusan. kalian baca bab 2 dulu aja nanti kalau udah minta Arel untuk ke ruang guru 1. Di atas meja bapak ada selembaran tugas, kalian kerjakan dan kumpulkan besok!” Pak Jimmy mengemasi barang-barangnya—di bantu murid lainnya—lalu pergi dengan terburu-buru.

“Hati-hati, pak.”

Tak lama setelah kepergian pak Jimmy, Nara mendatangi Sales dengan wajah sombong seraya melipat kedua tangannya di dada. Dia menatap remeh Sales seakan dirinya berada di atas langit sedangkan Sales sendiri mengabaikan Nara seakan ia melihat makhluk halus.

“Heh, kamu tadi natap Alvin, kan? Alvin itu gak suka sama cewek kayak elo mending ngaca dulu kalek! Jauhin Alvin deh!”

“Oi, Nara! Ngapain lo?” tegur Dio dengan wajah kesal.

“Gak ngapa-ngapain. Cuma ngasih tahu peraturan doang,” balasnya.

Nara kembali menatap Sales yang masih saja mengabaikannya. Dengan berdecak, Nara memukul meja dan Sales juga memukulnya tapi lebih keras hingga membuat Nara terkejut dan mundur beberapa langkah.

Sales menatapnya dengan tatapan tajam—tatapannya mirip dengan Sania—lalu kembali duduk dengan tenang seakan tidak melakukan apapun. Tentu saja, seisi kelas terkejut tidak main melihat tindakan Sales itu.

Tak lama berselang, Alvin masuk dengan wajah bingung dengan keadaan kelas yang menatap ke satu arah yaitu arah Sales. Tak ada satupun yang bergerak hingga akhirnya dikejutkan oleh lonceng sekolah yang menandakan pembelajaran pertama telah selesai.

“Kalian kenapa?” tanya Arel yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka.

“YA AMPUN!” Seisi kelas langsung kaget.

“Aku tadi papasan sama pak Jimmy dan katanya ada tugas.”

“Oh, di atas mejanya pak Jimmy ada lembaran tugas. Kamu yang harus ambil,” ucap salah satu cowok.

Arel hanya mengangguk dan perhatian semua teralih ke arahnya. Merasa seperti orang terkenal, Arel langsung berpose yang menurutnya keren yaitu gaya anjing laut yang terdampar. Semuanya hanya bisa diam melihat kerendeman Arel lalu kembali ke tempat duduk masing-masing termasuk Alvin.

Alvin duduk santai lalu menanyakan perihal keheningan tadi ke Dio. Tentu saja, Dio tidak ingin membuat temannya kecewa mengenai sikap Nara yang keterlaluan dan tindakan Sales yang sangat berani tetapi menakutkan.

“Tadi …Sa-Sa-Sales mem-memperkenalkan di-diri lagi,” ucapnya patah-patah.

Merasa janggal, ia berdiri dan hendak menghampiri Nara apa yang terjadi tetapi Sania muncul dengan membanting pintu masuk dengan keras lalu mendatangi Sales yang asik dengan dunianya sendiri sampai-sampai tak menyadari kehadiran Sania di sampingnya.

“Sales, ada hal yang ingin aku sampaikan.” Sania menarik Sales dengan kasar tapi di hentikan oleh Alvin.

“Kau membuatnya kesakitan!”

“Huh, maaf. Ini mengenai surat pindah yang di kirim oleh Purna Hijau,”

“Ah, aku lupa. Ada berkas yang ketinggalan. Di mana suratnya? Bisa antarkan aku,”

Alvin tak bisa mengalangi mereka berdua yang pergi meski ia tahu bakal terjadi sesuatu tapi ia yakin semuanya akan baik-baik saja. Ia hanya menghela napas panjang seakan ia mengenal baik Sania yang kadang kasar dalam artian baik.

Sania dan Sales berjalan menuruni tangga lalu melewati taman di bagian tengah sekolah dan tiba di belakang gedung olahraga yang hanya ada pepohonan dan dedaunan jatuh.

“Untuk apa kau datang kemari, Sales?”

SalesthiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang