Bab 5

19 10 6
                                    

Beberapa bulan yang lalu …

Alvin yang masih kelas 1 SMA Purna Putih sedang sibuk di lab komputer sekolah lantai 1. Ia awalnya hanya mengerjakan beberapa tugas sekolah—membuat makalah—hingga ia teringat kembali dengan Sales yang keberadaannya masih belum di ketahui ada di mana ditambah banyak hal yang terjadi di setiap sekolah luar pulau ataupun dalam pulaunya saat ini.

Alvin khawatir pacarnya itu ‘Terdampak’ karena itu ia bergegas menyelesaikan tugasnya secepat kilat tetapi, waktu sekolah tidak mendukungnya karena bel pulang sudah berbunyi tepat saat ia selesai mengerjakan makalahnya itu.

Jika terus dilanjutkan bisa-bisa dirinya di tegur guru dan dilarang menggunakan lab komputer selama seminggu.
Dengan berat hati, ia meninggalkan lab seraya membawa tasnya lalu pulang bersama Nara yang sudah menunggunya di depan gerbang keluar sekolah. Mereka berdua berbincang-bincang seraya melawati jalan raya yang sepi dan gang-gang kecil yang hanya bisa dilalui oleh motor.

“Tumben lo pake jam bebas buat ngerjain makalah biasanya di pakai buat tidur di kelas kayak Dio yang datang telat abis tu tidur,” ujar Nara yang berjalan di depan Alvin.

“Dia masih mending jam bebas buat tidur, si Arel pake jam bebas buat ngerusuh ekskul olahraga abis itu berantem di lapangan sambil makan pisang.”

“Dia berantem sama siapa?” toleh Nara.

“Sama pak Andre soalnya pisang seribunya di makan tiap hari sama Arel katanya sih ‘Empat pisang lima perang!’ tahulah Arel emang kayak gitu tapi pastiin kamu gak buat masalah sama dia,” ucap Alvin seraya mengacak rambut Nara.

Nara tersenyum malu. Tanpa terasa, mereka sudah tiba di rumah Alvin seperti rumah kos-kosan—Alvin memang ngekos—karena ia tinggal sendiri sedangkan Nara tinggal di gang berikutnya bersama orang tuanya.

Setelah berpisah, Alvin masuk ke rumahnya dan duduk di kursi yang tepat berada di samping pintu masuk. Ia menatap ke atas langit-langit lalu melihat jam yang menunjukkan pukul 4 sore.

Dengan wajah lemas, ia segera mandi dan berganti baju. Setelah selesai dirinya memakan makanan yang ada di atas meja makan karena orang tua Nara selalu mengiriminya makanan bahkan mereka meminta kunci cadangan rumah Alvin agar selama ia sekolah ibu Nara dan pembantunya membuat makanan dan membersihkan rumah.
Alvin awalnya keberatan tapi setelah di bujuk akhirnya ia menyerahkan kunci cadangannya.

Tok! Tok! Tok!

“Alvin aku masuk!” suara familiar terdengar yaitu Arel.

“Aku di ruang sebelah lagi makan,” balas Alvin seraya menyantap nasi padang.

“Vin, ikut aku ke sekolah Nila Biru 1,” ucap Arel dengan ekspresi serius.

Belum sempat menjawab, Arel menarik kerah baju Alvin untuk memaksanya ikut. Alvin sempat memberontak karena dirinya sedang memakai boxer gambar kera—pemberian Dio—jadi ia bersiap-siap dulu setelah itu menyalakan lampu dan mengunci pintu.

Mereka berdua berangkat dengan berjalan kaki lalu naik kereta cepat yang cukup jauh dari kosan Alvin. Untungnya mereka tidak ketinggalan kereta dan berhasil naik di gerbong kelas ekonomi. Awalnya mereka berniat duduk tetapi banyak orang tua yang berdiri daripada duduk, jadi mereka berdua berdiri di dekat pintu keluar meski saling berdesak-desakan.

“Emangnya sekolah—”

“Ssst, kita bicara pas tiba di sana!”

45 menit kemudian …

Mereka berhenti di stasiun lalu langsung menuju ke SMA 1 Nila Biru. Mereka tiba malam hari karena jarak dari stasiun ke SMA cukup jauh apalagi banyak orang yang berlalu-lalang menghalangi jalan mereka. Di SMA tampak biasa-biasa saja hingga Arel mengajak masuk ke dalam dan disinilah hal yang membuat Arel berekspresi serius yaitu …

SalesthiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang