“Kupikir elo pergi ke tempat jauh abis kejadian itu,” ujar Sania.
“Kamu …Mengenalku? Maaf tapi, aku gak kenal kamu.” Sales memiringkan kepalanya dengan tatapan bingung.
“Heh, elo kira bisa nipu aku? Memang benar-benar ma—”
“Aku mengalami kecelakaan dan di diagnosa amnesia. Syukurlah, ada orang yang mengenalku. Memangnya dulu aku ngelakuin apa aja?” tanyanya antusias dengan mata berbinar-binar.
“Hah? Amnesia? HAHAHA ….” Sania tertawa terbahak-bahak lalu merangkul Sales.
Dengan tawa kerasnya itu, Sania mengantar Sales menuju ke ruang kepala sekolah yang berada di lantai 4 di gedung bagian tengah.
Dia masih saja tertawa lalu menghentikannya tepat saat mereka berpapasan dengan guru BK lewat. Sania juga melepas rangkulannya dan memasang wajah tersenyum kecuali Sales yang memasang wajah bingung.
Guru BK itu menatap mereka lalu pergi tanpa berucap apapun.
Setelah guru BK menghilang dari hadapan mereka, Sania melirik Sales sebelum kemudian melanjutkan perjalanan mereka.Saat ini mereka berada di tengah taman lalu berbelok ke kiri dengan bangku dan lampu taman yang tepat berada di samping jalan mereka lalui.
Tak hanya itu, sepanjang jalan terlihat berbegai gedung tingkat seperti fakultas-fakultas dan ada juga lapangan voli, tenis, dan berbegai gedung olahraga. Sekolah ini sangat maju, semua fasilitas lengkap beserta isinya. Jadi, tak heran jika sekolah ini menyeleksi calon siswa yang benar-benar berprestasi dalam berbagai bidang.
Hm, apa benar begitu?…
Setelah memalui begitu banyak jalan, lorong, dan naik tangga. Akhirnya, mereka tiba di ruang kepala sekolah. Di depan pintu masuk, Sania membisikkan sesuatu di telinga Sales. Setelah selesai, Sales sama sekali tidak berekspresi apapun lalu dengan santai ia mengetuk pintu ruang kepala sekolah dengan tangan kanannya.
“Huh, jika itu pilihanmu maka …Welcome in my class. Namaku Sania nama panjangnya Saaaaniiiaaaa,”
“Salam kenal, Saaaniiiaaaa,” balasnya.
“‘a’ kurang satu, ulangi!”
“Ngutang dulu nanti aku ulangi,”
Sania hanya membalasnya dengan tertawa sebelum kemudian membuka pintunya. Dan saat pintu terbuka mereka terkejut dan mematung di tempat melihat ruang kepala sekolah yang penuh dengan koran, kertas persetujuan, dan masih banyak lagi hingga lantai dan dinding saja tidak terlihat yang terlihat hanya jalan setapak menuju ke meja kepala sekolah yang mana orangnya tidak sedang berada di tempat duduknya saat ini.
Mereka menelan ludah bersama-sama sebelum kemudian melangkah masuk. Baru selangkah terdengar suara yang menyeramkan di balik tumpukan-tumpukan kertas itu, Sania yang panik langsung keluar dan menutup pintu dari luar.
“OI! aku ketinggalan.” Sales berusaha membuka pintunya.
“Aku jagain dari luar, tenang aja! Semoga beruntung,” balasnya seraya sekuat tenaga menahan pintunya agar tidak terbuka.
“Salesthia?” suara seseorang tepat di balik tumpukan kertas di samping Sales.
Dengan wajah pucat, Sales menoleh ke tumpukan kertas itu lalu tumpukan kertas itu jatuh menimpa Sales dan tampak seseorang berdiri dengan wajah menyeramkan seketika membuat Sales langsung keluar dari tumpukan dan kembali berusaha membuka pintu.
“Maaf menakutimu, saya jomblo—maksud saya, saya kepala sekolah Purna Putih. Ada yang ingin saya tanyakan mengenai keadaan sekolah Purna Hijau,” ujar kepala sekolah.
…
Setelah tenang dan mengetahui keadaannya. Sales berdiri di depan meja dengan kepala sekolah yang duduk seraya melihat surat pindahan Sales.
Kepala sekolah ini bernama pak Andre. Masih muda sekitar 30 tahunan, berpakaian jas berserta topinya, rambutnya sedikit keriting dan panjang ke bawah di bagian depan telinga, dan terdapat kantong mata hitam karena kurang tidur.
Dia selalu sibuk dengan kertas-kertas di ruangannya bahkan ia jarang pulang karena di rumah tak ada yang menanti kedatangannya—sedih emang—tapi ia tidak memikirkan hal ini terlalu dalam.
Karena banyak koran yang bertuliskan ‘Tragedi Kekacauan Sekolah’ di berbagai koran tanpa terkecuali.“Jadi, Purna Hijau masih di pimpin sama Bu Tri? Aku dengar di sana masih aman damai begitu juga dengan lingkungannya. Kenapa pindah kemari?” tanya pak Andre sambil menatap tajam Sales.
“Karena itu saya pindah kemari sebelum sekolah ini masuk koran. Dan saya membawa pesan lisan dari Bu Tri ….” Sales mengucapkan beberapa kalimat yang membuat pak Andre menjadi terkejut lalu mengerutkan dahinya itu.
“Aku mengerti. Aku akan meminta ketua kelas dari kelasmu untuk berkeliling. Selamat datang di SMAN 2 Purna Putih,” sambut pak Andre.
“Terima kasih, pak.” Sales menundukkan kepalanya lalu berjalan menuju ke pintu keluar yang di buka oleh Sania.
Saat Sania menunjukkan diri tampak wajah pak Andre menjadi serius sebelum kemudian pintu tertutup. Sania hanya tersenyum kemudian mengajak Sales kembali ke kelas, tampak tak ada ekspresi serius di antara mereka terlebih lagi Sania mendengar pesan lisan yang di sampaikan oleh Sales. Ia tak mengungkitnya dan tak peduli karena ia sedang menjalani kehidupan sekolah normal.
Tak lama mereka berjalan dan menaiki tangga, tibalah mereka di kelas yang sedang melakukan pembelajaran. Untungnya, mereka tidak di hukum. Mereka berdua kembali ke tempat duduknya lalu mengikuti pembelajaran seperti biasa hingga waktu menunjukkan pukul 9 lewat 15 menit.
Kring! Kring! Kring!
“Baik, karena waktu kita sudah habis kalian pelajari sendiri materi itu. Selamat pagi,” ucap pak guru lalu pergi meninggalkan ruangan.
“Pagi, pak.” Semuanya langsung meregangkan tubuh mereka yang kaku karena duduk selama berjam-jam.
Sania berdiri lalu menghitung jumlah teman-temannya itu dengan menunjuk satu-satu lalu berjalan ke meja guru di dekat papan tulis. Ia menulis daftar hadir itu lalu merobeknya karena daftar hadir yang baru sedang di buat di ruang TU(Tata Usaha) ia kemudian dengan santai berjalan ke arah Arel yang asik mengobrol hadap belakang dengan Dio dan Alvin.
“Rel, pak Andre bilang kamu temenin Sales keliling sekolah,”
“Oh, pasti karena ketampananku ini aku ditunjuk,”
“Bukan, karena lo ketua kelas,”
“Eh, lebih baik Alvin aja gak sih? Aku sama Arel mau cabut duluan ke kantin belum sarapan aku ni, bye bye!” Dio menarik kerah leher Arel lalu pergi secepat kilat.
Karena Alvin wakilnya, Sania meminta Alvin melakukannya. Sania langsung pergi karena Nara memperhatikannya bak pelakor. Alvin hanya bisa mengela napas pendek lalu mendatangi Sales yang membaca sebuah buku.
Alvin berdiri terdiam memperhatikan Sales dari dekat sebelum kemudian Nara menimbrung mereka dari belakang Alvin. Nara membisikkan di telinga Alvin untuk mengganti bekal jatuhnya terlebih dahulu sebelum mengantar Sales keliling sekolah.
“Oh iya, Sales. Namaku Nara, teman dekat sekaligus teman masa kecilnya Alvin. Maaf ya, tapi Alvin ada janjian sama aku jadi dia nunda nganter kamu keliling, maaf ya,” ucapnya lembut.
“Namaku Alvin. Huh, maaf temenku ini rada-rada ja—”
“Gak masalah, karena aku sudah hafal tempat ini,” balasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salesthia
Teen FictionKehidupan SMA yang normal berubah ketika kedatangan murid baru.