Emma mengajak Sales menuju suatu lorong yang cukup ramai dan dia langsung mengungkapkan penawaran mengenai ekskulnya yaitu fotografer. Emma tertarik dengan Sales selain cantik dan pesonanya yang bisa membuat Alvin pingsan melainkan cara menatap Sales yang unik bak menatap musim dingin.
“Aku sama sekali gak peduli kamu mantan pacarnya Alvin atau bukan. Well, aku juga naksir dia. Gimana mau gabung ekskulnya?” tanya Emma antusias.
“Bagaimana ya? Aku mau ikut ekskul berita biar tahu sana-sini,” balasnya.
“Eeeh, ekskul yang dimasuki Arel. Si mata empat pasti udah nyogok kamu? Sini aku tunjukkan ekskul berita kayak apa.” Emma menggenggam tangan kanan Sales lalu berlari pelan menuju ruangan ekskul berita.
Emma tampak seperti anak kecil yang baru mendapatkan teman. Senyuman yang dipancarkan bak sinar mentari menyinari dunia yang dingin ini, meski Emma anak yang periang dan baik hati tampaknya Sales tidak ingin terlalu dekat dengannya. Entah apa yang dipikirkan Sales ini yang dingin nan manis ini.
…
Mereka tiba di sebuah ruangan yang pintunya cukup usang dan penuh dengan jaring laba-laba. Emma membuka pintu tanpa mengetuknya seketika memperlihatkan zombie hidup yang sedang makan mie sambil jongkok di atas meja, ada yang menulis dengan pena terbalik, dan orang tidur di lantai yang penuh kertas ditambah memakai selimut dari koran-koran tak terpakai.
“Beginilah kondisinya, yakin mau masuk sini?” Emma menggoyangkan kedua pundak Sales hingga ia terguncang.
“Na-na-nan-nanti, a-aku pi-pi-pikirkan.” Sales mencoba melepaskan diri.
“Yey,” ucap Emma gembira.
“Dengarkan lah~ suara yang ingin menggapaimu~ ku bernyanyi~ agar kamu tak kesepian~”
Emma dan Sales mendengar suara merdu dari gedung yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka. Didorong rasa penasaran, Sales meminta Emma untuk mengajaknya ke sumber suara tersebut, tentu saja Emma melakukannya dengan senang hati. Saat tiba, mereka tidak bisa masuk karena banyak yang berkerumun di depan pintu masuk gedung.
Berpikir bahwa Sales bisa masuk sendiri, Emma membukakan jalan kecil untuknya. Tanpa berlama-lama Sales masuk tapi karena Emma tidak bisa masuk—jalannya sudah ditutup—Sales menarik tangan Emma hingga mereka berdua lolos dari kerumunan itu.
“Makasih, Sales.” Emma merasa terharu.
“Bukan masalah,”
Mereka berdua melihat panggung di ujung dengan kursi-kursi yang sudah diduduki oleh siswa lain. Sales dan Emma hanya bisa berdiri di ujung lalu melihat seorang cewek berambut panjang berhiaskan bunga cantik, gaun bunga merah muda nan elegan, dan yang pasti dia sangat cantik serta suara merdunya sampai-sampai membuat Sales terpukau seakan mendengar suara malaikat.
Dia adalah Belle yang sebelumnya disinggung oleh Arel. Belle sering menghabiskan waktunya untuk bernyanyi solo di atas panggung dengan penonton yang tak pernah kurang sedikitpun baik cowok maupun cewek.“Belle emang cantik banget. Nanti kita ngobrol sama dia, yuk.” Emma melambaikan tangannya agar Belle menyadari kehadiran mereka.
“Hm, dia …Luar biasa.” Sales tak bisa mengalihkan pandangannya.
Di tengah-tengah menikmati lagunya, Nara menjambak rambut Sales hingga hampir jatuh ke belakang. Sales menoleh dan melihat Nara yang tepat berada di belakangnya, ia masih mengabaikannya hingga Nara menendang kaki Sales berulang kali di tengah sempitnya ruang gerak mereka. Emma yang menyadari ini langsung mendorong Nara hingga mundur ke belakang.
“NGAPAIN COBA!” jerit Emma.
Semua perhatian termasuk Belle langsung tertuju pada Emma yang wajahnya sangat kesal hingga muncul kerutan di dahinya. Emma tampak ingin meledak tapi tiba-tiba muncul Alvin dan Dio yang kebetulan sedang ada di sekitar gedung, Alvin membuka jalan lalu menghampiri Sales yang wajahnya tampak muak.
“Emma, kita pergi!” Sales menarik pergi Emma dari sana, meninggalkan Alvin yang belum mengucapkan satu kata.
“Dio, salahku dimana?” Alvin menggaruk kepalanya.
“Salahmu yang terlahir ganteng terus gak bagi-bagi!” balas Dio.
“Alvin?” panggil Nara seraya menepuk bahunya.
Alvin hanya melirik lalu menyeret kerah Dio untuk pergi dari sana karena menganggu performa Belle. Nara yang di penuhi rasa marah yang tinggi berniat melakukan hal lain yang lebih jauh karena selama ini Alvin tak pernah mengabaikannya dan Alvin tersenyum saat bersama Sales bukan dengan dirinya yang sudah membantunya sana-sini.
Ia berjalan keluar lalu menelpon—hp ada di sakunya—meminta seseorang untuk berkumpul di belakang kebun anggur milik ekskul berkebun. Setelah selesai memberikan perintah, Nara langsung menuju ke tempat pertemuan dengan langkah cepat dan hati yang terasa panas seakan terbakar oleh api kecemburuan.
…
Di tempat lain, Alvin mengejar Sales dan Emma di lorong milik kelas lain. Alvin berulang kali memanggil Sales tapi dirinya sama sekali tidak menoleh hingga akhirnya Dio melepaskan tangan Alvin dari kerah bajunya lalu berlari dan menghadang Sales agar tidak berjalan lebih jauh lagi, ia ingin Sales mendengarkan Alvin sebentar.
“Huh,” keluh Sales sambil menoleh ke Alvin.
“Se-sebentar, ak—”
“Aku pergi! Aku sudah mendengarkan ‘sebentar’ seperti yang Dio minta,” ucap Sales lalu melewati Dio.
Emma yang tak mengerti hanya menoleh sana-sini berharap ada yang menjelaskan apa yang baru saja terjadi sedangkan Alvin dan Dio menjadi patung batu yang penuh dengan kehampaan. Bukan hanya itu, Alvin memancarkan sorot mata merah ke Dio yang membuatnya bergidik merinding lalu berlari.
“Ini balasannya! Tadi udah nipu aku di kelas sekarang mengacaukan momenku! Sini …Bayar utang pentol kemarin!”
“HIYAAAAA! SORRY, BAKAL AKU LAKUKAN APAPUN JADI JANGAN NAGIH UTANGKU! ALVIIIIIIIN!” jerit Dio dari kejauhan.
Sales mengabaikan hal itu sedangkan Emma tampak takut serasa mendengar Dio dikejar hantu. Tak lama setelah mereka berjalan tiba-tiba mereka di kerumuni oleh siswa-siswi sangar sambil membawa patahan kayu, tongkat bisbol, dan tali tambang. Emma yang takut mencoba melarikan diri dengan Sales tapi tak ada jalan keluar.
“Kalian mau apa?” tanya Emma seraya melihat pergerakkan mereka.
“Ikut kami dulu, yuk!” jawab salah satu dari mereka.
Dari lantai 2 terlihat Nara yang menyaksikan teman-temannya yang siap mengeroyok Sales dan Emma yang menjadi pengganggu baginya. Ia menggunakan teropong milik ekskul astronomi yang sudah di ancam oleh pasukannya karena …
“Sa-Sales? Ba-bagimana ini? Guru-guru lagi rapat, si Arel gak tahu ada di mana, dan OSIS juga lagi gak patroli area ini,”
Sales sama sekali tak terlihat gentar dan kedua matanya tampak penuh dengan tekad. Dan akhirnya mereka di pukuli dan di jambak hingga rontok. Mereka juga mengikat dan membungkam mereka lalu lanjut memukulinya hingga kulit berganti menjadi merah tapi anehnya Sales sama sekali tak kesakitan mungkin ia menahannya.
Sales sama sekali tidak masalah jika dirinya dipukul tapi Emma tampak kesakitan. Merasa sudah terlalu berlebihan, Sales hendak membuka ikatannya tapi muncul seseorang yang membuat matanya terbelalak lebar.
“Nona, sepertinya mereka akan mati jika terus dilanjutkan,” ucap seorang maid di samping Nara.
“Berisik! Ini salah mereka yang menentang keluarga gangster …Loh? Mereka kok pada tumbang?” kaget Nara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salesthia
Teen FictionKehidupan SMA yang normal berubah ketika kedatangan murid baru.