Bab 10

8 4 5
                                    

Sales yang pergi dari UKS melihat Nara dari kejauhan sedang berjalan dengan penuh amarah ke suatu tempat. Didorong rasa penasaran ia mengikutinya tetapi saat akan berbelok di suatu lorong dirinya dihadang oleh Sania yang membawa banyak buku kosong, peta, dan beberapa alat tulis yang dimasukkan ke dalam keranjang.

“Kebetulan banget, Sales bantu aku.” Sania langsung memberikan barang bawaannya ke Sales hingga tak sengaja menjatuhkan satu buku yang penuh dengan catatan. Sales menajamkan penglihatannya untuk melihatnya lebih jelas, namun, Sania mengambilnya sesaat sebelum Sales berhasil membacanya.

“Memangnya ini dibawa kemana?” tanya Sales.

“Oh, ini dibawa ke sana!” Sania tidak berniat menjelaskannya dengan detail.

Walaupun hati Sales ingin mengejar Nara, dirinya harus menunda hal itu terlebih lagi Sania tampak merencanakan sesuatu. Benar saja, mereka berdua berkeliling sekolah dari satu kelas ke kelas lainnya seakan mengulur waktu. Sania sama sekali tidak berbicara saat mereka berkeliling bersama membuat suasana menjadi sunyi.

Saat mereka berkeliling tampak jelas sekolah ini sangat besar tapi muridnya tidak sampai ribuan meski banyak kelas dengan berbagai bidang. Sebab, di sepanjang perjalanan hanya ada beberapa siswa saja yang berjalan paling banyak 4 orang sisanya berjalan seorang diri kecuali para siswi yang berjalan berdua.

“Kamu lagi merencanakan apa? Kamu tidak memberi tahu tujuan, arah, ataupun bertanya ke guru. Semua alat-alat ini juga persis den—”

“Sudah kuduga, lu bakal ngomong kayak gitu. Kita ke ruangan kelas yang itu! Hehe, kenapa lu babak belur?” tawanya dengan suara kecil.

“Bukan urusanmu!” balasnya dengan tatapan datar.

“Masih saja berusaha sopan. Dalam hati lu gak pernah sopan soalnya ….” Sania memberitahukan alasannya seraya menoleh ke arah Sales yang tampak kelelahan.

Sales sama sekali tidak merespon setelah mendengar alasan itu karena memang benar adanya. Awalnya Sales bersikap seperti remaja normal seperti bergaul, pakai bahasa gaul, dan sering membuat rusuh sana-sini sampai ia menjalani kehidupan baru di tempat terpelosok jauh dari segala kehidupan kota. Itu adalah cerita lama yang tidak ingin Sales bahas.

Tak lama setelah naik ke lantai 3 gedung khusus geografi. Sania meletakkan barang-barangnya begitu juga dengan Sales yang kedua tangannya terasa kebas plus kakinya menjadi sedikit kram. Sania berterima kasih pada Sales lalu masuk ke sebuah ruangan—meninggalkan barang-barangnya—yang tampak ada siswa yang berdiskusi mengenai wilayah bebatuan.

Tidak ingin mengganggu, Sales memutuskan untuk pergi dari sana walaupun kedua kakinya sudah menjerit meminta istirahat sebentar dan bersandar karena punggungnya juga ikut kelelahan.
Meski begitu, Sales memaksa kedua kakinya tetap bekerja hingga tak sengaja tersandung dan hampir jatuh. Ia ditolong oleh Belle yang berada di depannya, Belle mengungkapkan bahwa dirinya sedang mengikuti mereka berdua dari belakang sebab mereka terus berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya.

“Untungnya aku tepat waktu,” senyumnya bak bunga mekar.

“Benar-benar sangat cantik jika dilihat dari dekat,” ucapnya.

“Hm?”

“Ma–maaf, terima kasih sudah menolongku.” Sales sedikit menjauh.

Mereka berdua pun turun ke lantai 1 dengan aman lalu Belle mengajaknya untuk ke taman rahasia yang letaknya tidak terlalu jauh dari lokasi mereka. Sales hanya mengangguk dan berharap kedua kakinya tidak patah dulu sebelum sampai ke lokasi. Setiap kali mereka melangkah, Belle terus menyanyi lagu yang membuat Sales melupakan rasa lelah dan letihnya hingga dirinya tak sengaja menabrak pot bunga di depannya seketika menyadarkannya.

Dengan cepat, Sales memperbaiki posisi potnya lalu lanjut berjalan hingga tak terasa tiba di suatu dinding yang penuh dengan tanaman merambat. Belle membuka tanaman merambat itu dan terlihat ada sebuah pintu tua di sana dan ketika masuk, Sales terkejut tidak main mendapati taman bak di negeri dongeng.

Bagaimana tidak, taman itu tidak luas lebih ke arah di dalam bangunan kecil yang sudah hancur tapi banyak berbagai jenis bunga yang memenuhi taman itu mulai dari mawar dengan berbagai warna, tulip, bunga matahari, dan masih banyak lagi.

“Ke–kenapa kamu membawaku kemari? Seharusnya kamu mengajak seseorang yang sangat dekat denganmu seperti Emma.” Sales tak bisa berhenti melihat taman itu.

“Aku sudah mengajak Emma kemari tapi dia malah pingsan. Mari duduk disini,” tawar Belle seraya duduk di bangku taman.

Merasa janggal, untuk semantara ini Sales menurutinya. Aroma bunga semerbak tercium di mana-mana, cahaya mentari yang menyinari mereka tapi tidak terlalu panas, angin yang berhembus ke arah mereka menerbangkan kelopak bunga ke langit. Sepertinya taman ini masih berada di lingkungan sekolah terlihat dari dinding sebelah yang masih sangat kokoh seakan terbuat dari baja.

“Sebenarnya ada yang perlu aku katakan mengenai promnight yang akan diadakan sekolah. Biasanya kalau ada acara aku selalu bersama Emma, aku terlalu bergantung padanya karena itu maukah kamu pergi dengan kami? Daripada nanti Nara mengganggumu lagi seperti pengeroyokan tadi.” Belle memasang wajah sedikit jengkel ia  berharap Sales setuju dengan tawarannya.

“Kamu sudah dengar keadaan kami, ya? Tapi memangnya itu ulah Nara? Bagaimana bisa?”

“Karena Nara adalah anak dari keluarga gangster. Sebenarnya, isi kelas kita orang-orangnya unik semua misalnya aku adalah anak penyanyi terkenal sedunia,” ungkap Belle dengan wajah malu.

Ungkapan itu membuat Sales terkejut dan tidak menyangka akan hal itu. Biasanya ia tak tertarik dengan kehidupan teman sekelasnya, tapi setelah mendengar ini mau tidak mau ia harus mencari tahu teman-temannya terlebih dahulu demi tujuannya. Dilihat dari manapun, teman sekelasnya biasa saja tapi tak disangka membawa bom waktu—status tinggi—yang amat patut diwaspadai.

Pikiran-pikiran kekhawatiran menyelimuti Sales. Bagaimana pun caranya, Sales harus mendapat informasi. Belle yang melihat Sales berpikir keras, menepuk dahi Sales hingga membuatnya kembali ke realita.

“Ngomong-ngomong mengenai gaunnya, apa kamu punya gaun yang bagus untuk acaranya?” Belle menganti topik.

“Aku …Kebanyakan celana.” Sales mengingat isi lemarinya yang penuh dengan celana panjang hitam.

“Kalau gitu aku akan meminjamkannya. Ibuku membelinya sangat banyak sampai-sampai 5 lemari penuh dengan gaunku. Oh iya, mengenai Alvin kelihatan dia—”

“Maaf, aku harus pergi.” Sales beranjak dari tempat duduknya lalu pergi dari sana dengan wajah muram.

“NANTI DATANG SAJA KE RUMAHKU!” teriak Belle.

Sales terus berjalan tanpa arah hingga akhirnya berhenti di taman dengan seseorang mengikutinya dari belakang.

SalesthiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang