"Bahkan menunggupun ada seninya. Yaitu dengan muka cerah, senyum merekah dan sedikit sumpah serapah."
Menatap sekitar dari ketinggian mempunyai kenikmatan tersendiri. Terlebih di temani segelas teh hangat di padu bunyi rintik hujan yang jatuh beriringan. Menciptakan irama unik yang langka kita temukan di keramaian ibu kota Sudan.
Dari balik jendela kamar inilah tampak kesibukan para penuntut ilmu yang berlalu lalang datang dan pergi menuju masjid, lantai tiga asrama Umar Al-Faruq, menghadap persis ke arah masjid. Gerimis yang turun membuat banyak mahasiswa bersembunyi melanjutkan aktivitas di tempat yang lebih teduh.
Ada yang masih berjibaku dengan hafalan Al-Qur'an. Ada mati-matian mengurai dan meghafal mutun kitab turats (klasik) atau kesibukan lainnya. Ada juga yang lebih memilih berteman selimut meraih mimpi.
Saya sedang berada di kamar lantai tiga Dakhiliyah Umar Al-Faruq. Kamar yang saya dapatkan dengan banyak mengeluh dan berusaha. Yang akhirnya membuat saya secara resmi menjadi bagian dari keluarga besar Maududi. Kita sudah menganggap satu sama lain seperti sebuah keluarga, keluarga sependeritaan.
Ketika qarar tersebut akhirnya saya dapatkan jujur saya sangat senang. Paling tidak saya akan dapat kamar baru. Yah terlepas dari semua rumor tentang Maududi, air susah, seringmati listrik, jauh dari pusat perbelajaan, warteg dll, tak perlu saya ambil pusing. Saat itu usai shalat isya' setelah saya makan malam di qoah Markaz yang terletak di depan asrama Mahdi, tak menunggu lama segera saya pergi menuju Maududi.
Di gerbang depan Markaz islami saya menunggu muwashalat (bis ukuran sedang) alat transportasi praktis di Sudan. Biayanya hanya dua junaih setara 1000 rupiah (kurs saat itu). Sebenarnya mencari muwashalat cukup sulit di jam-jam seperti sekarang ini. Maklum terhitung jam sibuk, para pegawai pulang kerja.
Sebenarnya ada beberapa opsi sarana umum di Sudan. Selain muwashalat juga ada amjad (mirip angkot di Indonesia) atau reiksya (bajaj khas sudan). Namun opsi ini terhitung kurang ekonomis untuk kantong mahasiswa illa fii halati dhorurah (kecuali terpaksa). Halaman luas yang masih terletak di depan Markaz ini merupakan salah satu tempat persinggahan utama kendaraan umum atau bisa di sebut terminal bis dan angkot, padahal tidak ada bangunan terminalnya sama sekali.
Namun karena ternyata masih sulit (kecuali reiksya karena mahal). Saya lebih memilih opsi alternatif, hemat dan menyehatkan badan yaitu jalan kaki. Jarak antara Markaz dan Maududi sekitar 1 kilo meter. Lumayan menguras keringat. Sendirian saya menyusuri keheningan malam diselingi satu dua suara kendaraan yang kebetulan melintas.
Ada fakta baru yang saya tahu sekitar satu bulan kemudian. Ternyata di Sudan sangat rawan terjadi begal. Meski tidak senekat di Indonesia (di tahun itu), ada beberapa titik utama mereka biasa beraksi. Dan ternyata salah satunya adalah jalan memanjang yang menghubungkan Markaz dan Maududi yang sedang saya lalui. Sasarannya jelas kita, bule sawo matang.
Entah mengapa pribumi kalau melihat bule, dimatanya cuma ada cuan, cuan, dan cuan. Namun alhamdulillah malam itu saya sampai dengan tanpa kurang satu apa pun. Sayangnya kantor musyrif ternyata tutup dan hanya dibuka untuk pengurusan kamar baru pada hari kamis saja. Terpaksa pulang dengan tangan berisi. Berisi berkas untuk dibawa pulang kembali.
Salah satu yang spesial dari Sudan adalah pembelajaran non formalnya. Selain lebih intensif juga lebih terjadwal rapi. Para masyahih Sudan terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaan. Bahkan kadang sulit membedakan antara orang awam dan para masyayih dari penampilan. Sebuah qudwah (teladan) yang di wariskan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam hal berpakaian yang patut kita contoh yaitu mengenakan pakaian yang sama seperti para sahabatnya. Pemandangan itu akan banyak kalian temukan di Sudan.
Kalian jangan tertipu hanya melihat orang Sudan memakai jubah dan songkok putih. Jangan buru-buru kalian anggap Syaikh. Karena banyak yang berpakaian seperti itu, kencingnya di pinggir jalan.
Selain kepada para masyayih, para mahasiswa di Sudan juga sering mengadakan mudarasah atau belajar kepada para senior. Meskipun lebih mirip majelis tadris (mengajar), para senior (pelajar Indonesia yang sudah lama di Sudan) enggan menyematkan kata tersebut. Sebagai bentuk penghormatan kepada para masyahih. Mereka lebih terbiasa dengan sebutan mudarasah yaitu saling mengajar dan belajar satu sama lain.
Saya sendiri awalnya sebenarnya lebih akrab dengan senior-senior di markaz. Karena asrama awal saya di Mahdi. Ketika ada mudarasah dari para senior pun sering saya ikut. Nah ternyata bertepatan dengan hari kamis ketika itu sedang berjalan mudarasah kitab "At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur'an" karya Imam An-Nawawi (676 H). Dan hanya tersisa dua kali pertemuan lagi dengan di tambah satu kali majelis murajaah.
Terus terang sebenarnya saya enggan sekali untuk tidak hadir, mungkin salah satunya adalah karena mudarasah ini bersanad ijazah. Dan bagi yang fawat (terlewat / tidak hadir) walaupun hanya sekali tidak ada toleransi. Mudarasah biasa di mulai usai asya' (makan malam), setengah jam terhitung sejak ba'da isya'.
Awalnya saya hanya titip berkas ke teman untuk menyerahkan ke musyrif asrama Umar. Namun musyrif menolak dan mengharuskan semua maba yang ingin dapat kamar datang dengan membawa berkas dan kasurnya sendiri-sendiri. Bullshit.
Namun setelah saya pertimbangkan, saya memang harus pergi ke sana. Kalau saya sudah dapat kamar minimal salah satu tugas saya rampung. Karena kamar ini untuk jangka panjang setidaknya empat tahun ke depan. Kalau tidak saya ambil sekarang boleh jadi di borong habis teman-teman Afrika.
Konsekuensinya sudah jelas sanad ijazah itu tidak saya dapatkan. Namun saya tetap hadir untuk 2 pertemuan tersisa. Hakikat ilmu adalah apa yang ada di dalam dada, bukan apa yang ada di ijazah atau pajangan kitab di lemari. Kalaupun kamu belum dapat ijazah ala kulli hal kamu dapat ilmu. Dan perlu di camkan baik-baik bahwa kamu ke Sudan untuk mencari ilmu bukan untuk mencari ijazah, kalaupun dapat ya Alhamdulillah. Bisik saya dalam hati.
Usai makan malam seadanya, nasi putih bersanding dengan telur dadar. Saya segera berangkat dengan membawa tiga kasur. Dua untuk saya juga teman yang masih berada di rumah. Satu lagi untuk teman yang sedang berada dikantor musyrif. Kami beberapa mahasiswa jalur kemenag yang belum mendapatkan asrama memang ketika itu sempat tinggal di rumah PCIM yang baru.
Tak menunggu lama, setelah berkemas menurunkan ketiga kasur ke lantai bawah. Segera kami panggil reksya. Tawar menawar sebentar dan deal bergegas berangkat. Mahal sih, yang biasa tarif Markaz ke Madudi 15 junaih naik drastis berkali-kali lipat menjadi 50 junaih. Menilik muatan kami bukan cuma orang tapi juga tiga kasur ukuran satu orang. Dan memang kami butuh reiksya ini secepat mungkin.
Sesampainya di Maududi kami di minta antre sebentar. Tak panjang hanya menunggu beberapa orang di bagian depan. Setiap genap terkumpul 7 atau delapan orang yang berasal dari negara berbeda maka segera mereka di giring ke kamar baru. Dua teman saya ternyata lebih cepat. Bahkan mereka satu kamar.
Sedang saya alhamdulillah harus menunggu. Menunggu adalah cara terbaik untuk mengajari kita arti dari sabar atas takdir. Tidak perlu berkecil hati ketika kehidupan ini memaksa untuk menunggu. Asik. Seperti kisah Nabi Adam alaihisalam dan hawa. Mereka dipisahkan jauh. Mereka tak pernah patah asa menunggu untuk memadu rindu.
Tak sampai sepuluh menit menunggu akhirnya genaplah kami 8 orang. Tiga orang Somalia, satu orang Chad, satu orang Gambia, satu orang Malaysia, satu lagi orang Tailand dan terakhir saya Indonesia. Segera kami membawa kasur masing-masing menuju kamar yang ternyata dipenuhi pasir dan debu. Auto olahraga malam, bersih-bersih.
Mulai hari itu saya secara de facto dan de yure sah menjadi bagian dari Maududi. Over all, semua adalah sunatullah. Allah ingin mengajarkan bahwa keberhasilan hanya untuk orang-orang yang siap berproses, bersabar, dan tawakal. Terakhir jangan lupa mengeluh sewajarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengeong di Padang Pasir (Sebuah catatan perjalanan kuliah di Sudan)
AdventureIni hanya cerita tentang perjalanan saya di Sudan, uneg-uneg, curhatan dan tentu fakta-fakta unik tentang Sudan yang sangat membekas dalam ingatan. Mengenang kembali masa-masa kuliah saya di Sudan sebagai bentuk rasa syukur terbesar kepada Tuhan kar...