"Semenit itu berarti sejam dan sejam itu berarti besok pagi."
Ini termasuk bagian paling horor dan paling membuat mahasiswa asing tidak betah tinggal di Sudan.
Contoh sederhana kamu sudah ikut ujian tapi nilai kamu tidak keluar. Kok bisa? Itulah hebatnya kampus kami. Ada juga senior kami yang keilmuannya dalam bidang faraidh/ilmu waris tidak di ragukan lagi, tapi dia kok bisa remidi?
Pengurusannyapun tidak sederhana. Kadang kami diminta datang ke kantor tertentu, sesampainya disana petugas disana malah mengatakan, “Oh permasalahan seperti ini bukan tanggungjawab kami.” Kami dilempar ke tempat lain, dan ditempat lainpun tetap jawabannya sama.
Kadang kami sudah mendapatkan surat pengantar dari kepala bagian administrasi bahwa biaya administrasi kami dinyatakan gratis, saat kami bawa surat itu kebagian bendahara, dia malah bilang, “Oh ini gak bisa.” Maka sudah seyogyanya engkau misuh-misuh dalam hati. Biar gak dosa.
Ketika pemberkasan kampus kami mulai di alihkan ke online, tiba-tiba tertulis di web resmi kampus bahwa saya non-beasiswa. Seketika badan saya seperti lumpuh. Biaya per-semester untuk fakultas syariah dan hukum sebesar 500 $. Ketika itu saya sudah masuk tahun ke 3 artinya hanya tersisa empat semester lagi. Jadi total biaya yang saya butuhkan 2000 $ sekitar 30 juta rupiah. Panik dong, makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, belajarpun tidak bisa masuk. Ketika saya mendengar ada teman yang bernasib sama, kehawatiran saya agak mereka.
Memang benar seperti kata Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi dalam syarh hikam haddadiyah, “Musibah itu kalau khusus (hanya menimpa perseorangan) akan terasa berat, tapi kalau umum (semua kena) akan terasa ringan.”
Saya ingat saat SMA dulu ketika dihukum sendirian karena tidak memakai topi saat upacara bendera atau kepala kena petak karena rambut terlalu panjang, rasanya berat. Namun saat ada teman yang terkena hukuman semisal maka hukuman kita terasa agak ringan.
Butuh waktu sekitar satu bulan sampai semua masalah tuntas, tentu saya tidak datang setiap hari. Pengurusan beasiswa memakan waktu cukup lama karena ternyata nama saya ada kesalahan satu huruf di lembar MoU penerimaan. Ketika saya konsultasi dengan kepala bagian andministrasi saya malah diminta menyertakan semua ishol (kwitansi) daftar ulang mulai dari semester satu. Permintaan yang out of the box.
Ternyata memang ada keterangan minhah kamil (beasiswa 100%) di ishol semester 1-4. Alhamdulillahnya saya masih menyimpan ishol semester satu dan tiga.
Kalau mengingat awal-awal pengurusan berkas, hal yang paling sulit dilupakan yaitu kami harus datang sejak ba’da subuh hanya untuk mendapatkan nomor antrian. Padahal secara resmi kantor baru buka jam delapan pagi. Beruntungnya ada satu petugas yang paling baik, rajin dan jujur bernama Syaikh Ayyub. Usianya sudah sekitar limapuluh tahun, sejak ba’da subuh dia sudah standby di depan kantor. Beliau juga tanggap membantu apabila melihat ada dari kami yang terlihat kebingungan step selanjutnya harus kemana?
“Maasyi wein inta?” Tanya beliau. Kamu mau ngurus apa?
Kami biasa berangkat lagi ke kantor saat pukul enam tigapuluh atau jam tujuh pagi. Dan meskipun sudah jam delapan pagi kadang petugas kantor masih sibuk ngeteh sambil bercengkrama bersama temannnya. Kalau mood mereka sudah baik barulah mereka mulai bekerja.
Nanti sekitar pukul 10 pagi mereka bilang fathur/sarapan. Kami harus menunggu sekitar setengah jam. Lalu mereka berhenti bekerja lagi saat terdengar adzan dhuhur sampai sekitar pukul satu siang barulah mereka bekerja lagi sampai jam 3 sore. Ini kalau mereka sedang rajin dan tidak mati listrik. Anehnya sekelas kampus internasioanal kantor administrasinya tidak mempunyai genset. Tak jarang juga saat antrean kami sudah tinggal sedikit, petugasnya malah mengatakan, “Bukroh (besok saja).”
Meskipun kita terlihat sabar diluar, mengeluh dalam hati sudah pasti.
Adapun pengurusan visa biasa satu tahun sekali. Jadi setiap tahun kami harus ambil darah untuk medical check up sebagai syarat diterbitkan visa tahunan. Uniknya ada beberapa teman saya yang berbadan gemuk mengalami kejadian serupa saat sesi pengambilan darah.
Saat tangannya ditusuk jarum, tidak ada darah yang keluar. Petugasnya bergegas mencabut jarum lalu menusukkannya sekali lagi tepat disamping bekas tusukan jarum yang pertama. Dan masih juga belum ada darah keluar. Dia cabut lagi jarumnya lalu di tusukkan di tangan yang lain dan akhirnya keluar darah. Proses ambil darah saja kok sudah seperti proses ambil nyawa. Menegangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengeong di Padang Pasir (Sebuah catatan perjalanan kuliah di Sudan)
PertualanganIni hanya cerita tentang perjalanan saya di Sudan, uneg-uneg, curhatan dan tentu fakta-fakta unik tentang Sudan yang sangat membekas dalam ingatan. Mengenang kembali masa-masa kuliah saya di Sudan sebagai bentuk rasa syukur terbesar kepada Tuhan kar...