"Munajatku itu berisi Al-Quran, shalat, makan, tidur dan kamar mandi."
Sekitar pukul empat sore hari senin tanggal 20 Ramadhan 1442 H, salah satu teman saya memberi tahu bahwa kami yang ingin ikut i'tikaf di muntada harus segera berkumpul jam empat tiga puluh.
Saya sendiri merasa keberatan karena sore itu kami di asrama maududi mempunyai agenda bukber mengundang teman-teman tinggal diluar dari berbagai rumah daurah juga ormas yang ada di sudan seperti PPI, IMI, Muhammadiyah, NU, Hidayatullah, rumah Awwabin, dll.
Jumlah kami biasanya sekitar tujuh puluh orang, namun pada kesempatan sore itu kami mempersiapakan takjil untuk sekitar seratus lima puluh orang. Niatnya sekalian mau dijadikan momen reuni dengan teman-teman lama yang sudah tidak tinggal di asrama atau yang satu jalur disudan, dan lebih penting dari itu mempererat ukhwah islamiyah.
Namun karena hal mendesak yaitu persiapan i'tikaf kami segera bergegas berangkat mengendarai tirhal menuju Muntada'. Kami mengunggu sekitar seperempat jam sebelum mobil yang kemi pesan sampai. Perjalanan memakan waktu sekitar lima belas menit dari tempat kami asrama maududi sampai muntada, sekitar pukul tujuh belas lebih sepuluh kami sampai di masjid muntada.
Sebenarnya kedatangan kami sudah terlambat, namun berhubung syaikhnya juga berhalangan hadir sore itu maka acara kumpul sore itu di tunda sampai ba'da shalat tarawih.
Kami dibawa menuju lantai dua menggunakan lift. Dan jujur itu adalah kali pertama saya menaiki lift di Sudan. Kami dibawa menuju perpustakaan. Barang-barang kami taruh sementara disana, sebelum kemudian esok harinya kami di pindahkan ke lantai tiga. Ruang kantor yang tidak sedang terpakai.
Di perpustakaan kami disambut dengan basa-basi perkenalan diri lalu disampaikan bahwa sebenarnya kuota untuk i'tikaf sudah ditutup. Kuota sudah penuh tuturnya, sudah terisi oleh jamaah dari Sudan, Yaman, Nigeria, dan Somalia. Dan bertepatan dengan itu memang di Muntada juga sedang berlangsung daurah Al-Quran selama empat puluh hari yang baru berakhir di akhir ramadhan.
Namun karena senior satu tingkat diatas kami ada yang cukup dekat dengan Syaikh Mahmud pengasuh yayasan muntada, dia mencoba melobi lagi mungkin saja masih ada kuota i'tikaf untuk orang indonesia. The power of orang dalam.
Syaikh Mahmud kemudian mencoba membicarakan hal tersebut dengan majlis umana' yayasan muntada. Awalnya mereka menolak dengan alasan dana. Namun setelah beberapa kali dibujuk akhirnya kesempatan itu terbuka bagi kami. Syaikh Mahmud memberikan kami syarat yaitu harus menyetorkan hafalan dalam sehari minimal lima halaman selama sepuluh hari i'tikaf. Bukan masalah besar in syaa Allah.
Saya pribadi baru pertama kami mengunjungi masjid muntada ini. Sebenarnya sudah sering saya dengar ada beberapa teman yang mengambil sanad tahfiz di tempat ini, ada yang sudah selesai satu qiraah bahkan lebih. Kalau saya belum hafal al-quran.
Masjid muntada berlokasi tidak jauh dari bandara internasional Khartoum dan rumah makan Babul Yaman. Lokasinya agak masuk kedalam dari jalan besar. Bangunannya berwarna kuning kecoklatan dengan nuansa Sudan yang sangat kental. Terdiri dari empat lantai dengan bangunan utama masjid di lantai dasar. Disudut bangunan masjid terpancang menara dengan tinggi sekitar empat puluh meter berbentuk limas segi delapan dengan hiasan bulan sabit dibagian ujungnya.
Kesan pertama ketika masuk masjid ini adalah dingin. Cooler setinggi dua meter tersusun rapi di beberapa sisi masjid (biasa akan dinyalakan ketika mendekati waktu shalat) juga kipas angin pada bagian langit-langitnya.
Harap dianggap wajar, karena sudah hampir dua tahun ini AC di masjid kompleks asrama kami rusak. Pengurus masjid sudah mencoba menaruh beberapa cooler di sisi sebelah kanan masjid namun tetap saja masih panas, bagi yang berada disebelah kiri juga dibagian tengah, shalat bermandian keringat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengeong di Padang Pasir (Sebuah catatan perjalanan kuliah di Sudan)
AdventureIni hanya cerita tentang perjalanan saya di Sudan, uneg-uneg, curhatan dan tentu fakta-fakta unik tentang Sudan yang sangat membekas dalam ingatan. Mengenang kembali masa-masa kuliah saya di Sudan sebagai bentuk rasa syukur terbesar kepada Tuhan kar...