Dikejar demonstran

13 2 0
                                    

"Hari itu ialah hari dimana seorang teman lari dari temannya."

Omar Basyir adalah nama mantan presiden Sudan yang berkuasa tahun 1989-2019. Pada awal masa pemerintahan beliau, masyarakat Sudan hidup dengan damai dan sejahtera. Perekonomian masyarakat dapat berjalan dengan baik dan relatif meningkat. Sistem perundang-undangan yang ada di Sudan rata-rata diadopsi dari fikih madzhab maliki. Yang kemudian membuat para ulama mengambil peran penting dalam upaya pengajaran dan penegakan hukum islam yang berlaku saat itu.

Anak-anak kecil sejak dini sudah di masukkan ke khalwah untuk menghafalkan Al-Quran. Aib kalau ada anak yang sudah menginjak usia remaja namun belum hafal Al-Quran. Namun seiring berjalannya waktu arus globalisasi menaruh pengaruhnya dalam perjalanan generasi muda masyarakat Sudan.

Bermacam-macam paham dan pemikiran barat yang mulai masuk seperti tidak bisa dibendung lagi. Yang kemudian sedikit demi sedikit mulai menggerus budaya hidup islam yang sudah mendarah daging dalam masyarakat Sudan. Mulai banyak mahasiswa yang lebih condong kepada paham pluralisme, liberalisme, sekularimse, dll. Bahkan menganggap hukum Islam yang berlaku saat itu sebagai sebuah sistem bernegara yang jumud (baku/tidak bisa berkembang).

Yang demikian itu kemudian melatar belakangi lahirnya syiar “hurriyah wa salamah” yang kurang lebih mempunyai makna “kebebasan dan kesejahteraan”. Sudan sebagai negara berkembang dengan corak keislaman yang sangat melekat memang menjadi momok pagi hegemoni pemikiran barat yang selalu mereka gaungkan. Ditambah sosok Usamah bin Laden yang ketika itu menjadi musuh terbesar Amerika sempat singgah sebentar bersembunyi di Sudan.

Amerika sebagai negara adidaya lalu mengambil sikap tegas dengan memboikot negara Sudan. Hal ini berdampak besar bagi perekonomian di negara Sudan. Angkanya turun secara drastis. Berimbas pada harga komoditi pangan yang meningkat, menimbulkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat kalangan bawah. Generasi muda yang rata-rata sudah dirasuki pemikiran-pemikiran barat tak tinggal diam. Mereka kemudian menjadi inisiator lahirnya demonstrasi di beberapa wilayah Sudan di depan gedung instansi-instansi pemerintahan, sebagai bentuk ketidak puasan rakyat atas pemerintah yang berkuasa saat itu.

Puncak demonstrasi terjadi sekitar tahun 2019 lalu. Yang kemudian menjadi akhir bagi rezim Omar Basyir yang telah berkuasa 30 tahun. Bahkan Sudan memecahkan rekor dunia baru sebagai negara dengan tiga Presiden dalam satu hari. Omar Basyir digantikan oleh Ahmed Awad bin Auf dan belum genap satu hari berkuasa sudah mengundurkan diri lalu digantikan oleh Abdul Fattah Al-Burhan.

Kembali ke cerita pribadi saya.

Pukul tiga sore, bus itu datang mengantarkan kami belajar di kediaman salah seorang Masyayih. Kitab yang kami kaji ketika itu adalah kitab matan ajurumiyah dalam disiplin ilmu nahwu dengan syarhnya At- Tuhfah As-Saniyyah karangan Syaikh Muhammad Muhyiddin bin Abdil Hamid.

Kami baru pulang dari kediaman syaikh biasa ba’da isya sekitar pukul delapan malam.

“Eh ada yang lihat sadal ana?” Tanya salah seorang teman ketika kami hendak pulang. Jawabannya jelas, tidak tahu. Kemungkinannya cuma satu, dicuri orang. Mungkin sandal yang dia kenakan terlalu bagus.

Ditengah perjalanan pulang, bis yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti. Saat kami menengok ke arah depan, kira-kira sekitar seratus meter dari kami terjadi keributan yang mengakibatkan mobil-mobil didepan semuanya harus berhenti.

Setelah beberapa saat kami akhirnya sadar keributan tadi di dalangi oleh para demonstran. Banyak juga terdengar bunyi lemparan batu yang mengenai punggung mobil yang terpaksa berhenti. Mereka sengaja memberhentikan mobil-mobil yang melintas untuk dimintai uang. Dan tak menjelang lama para demonstar  semakin mendekat kearah bis yang kita tumpangi, bahkan sempat terdengar bunyi lemparan batu.

“Anzil, anzil!” Teriak supir bus, menyuruh kami untuk segera turun menyelamatkan diri.

Kamipun segera turun dan lari kearah belakang bak sedang dikejar binatang buas.

“Wei tunggu, tunggu!” Teriak teman saya yang kehilangan sandal tadi. Dia tampak kesulitan berlari karena telanjang kaki sekaligus memakai jubah panjang.

“Lari saja.” Balasku, bagaimana mungkin dalam kondisi seperti itu saya menunggu orang lain. Pikianku ketika itu kacau seakan cuma bisa menyelamatkan diri sendiri. Kok bisa-bisanya dia bilang tunggu. Kalau kamu membaca ini, saya minta maaf kawan.

Kalau mengingat-ingat masa itu saya merasa malu sendiri, karena mirip seperti firman Allah dalam surah Abasa, “Yauma yafirrul mar’u min akhihi”. Hari kiamat itu di ceritakan oleh Al-Quran yaitu hari dimana seseorang lari dari saudaranya. Juga dari ibu dan bapaknya. Entah lah, baru dikejar pendemo saja vibesnya sudah seperti mau kiamat.

Saat kami fokus berlari, ada salah seorang teman di bagian depan berteriak, “Belok kerumah penduduk.” Mirip seperti prajurit yang diperintah atasannya, tanpa berfikir panjang saya pun segera mengubah haluan, melompat ke samping kiri dan “Bukk”. Saya masuk kedalam got sedalam 2 meter.

Karena cukup gelap, saya terlambat sadar bahwa sisi kiri saya adalah got dengan luas dan kedalaman sekitar dua meter. Awalnya mau menghindar tapi sudah terlambat.

Untungnya kering tidak ada air, jadi saya melanjutkan berlari di dalam got. Sampai ketika mendekati jembatan ada teman saya yang lewat dari arah belakang bersedia membantu saya untuk naik. Lalu kami segera meminta izin untuk berlindung sementara di halaman rumah berpagar milik salah satu penduduk setempat.

Jantung saya berdegup sangat cepat untuk beberapa saat. Dan kira-kira lima belas lima belas menit setelah itu terdengar beberapa bunyi tembakan senjata api. Sekitar setengah jam kemudian gerombolan pendemopun berlalu. Kami segera menyewa amjad atau hiace yang kebetulan lewat untuk mengantarkan kami pulang ke asrama.

Oh, ternyata begini rasanya.

Mengeong di Padang Pasir (Sebuah catatan perjalanan kuliah di Sudan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang