"Renungi hidupmu sampai engkau benar-benar sadar sudah ketiduran."
Berbicara dalam diam termasuk hal aneh sekaligus menarik. Berbicara dengan langit, bebatuan, tanah berpasir, dedaunan yang rela di tiup angin. Saling berbisik tanpa sepatah kata. Sampai kau sadar pencipta kita sama. Manusia boleh memujimu atau menjatuhkanmu tapi mereka tidak tau apa apa tentang kamu.
Disana kamu bisa menghujat dirimu sendiri sepuas-puasnya. Atau memujinya setinggi langit atau tiang bendera. Setengah bendera juga boleh kalau kamu sedang sedih.
Bebas dari penilaian manusia. Ruang tempat kamu bisa memunculkan berbagai premis, persentase peluang berhasil atau gagal, hukum sebab akibat.
Tak perlu gentar, tidak ada khawatir berdatangan, disana tidak ada yang boleh campur tangan dengan suara meninggi atau teguran dengan acungan telunjuk.
Bersenanglah dengan diri sendiri, sebelum datang manusia lain duduk di sampingmu dengan ribuan kata untuk kau dengar, lalu kemudian memaksamu memberikan untuknya jawaban yang tepat.
Khartoum, 5 Oktober 2020.
Beberapa hari yang lalu saya sempat membaca sebuah status dari sebuah lembaga (namanya di sensor garis tebal) hasil screenshot teman. Mungkin dari facebook bunyi kalimatnya seperti ini,
"Alumni Sudan sedang berkibar dan diakui keilmuan mereka dan kiprahnya dalam dunia dakwah. Kemampuan arabicnya super duper."
Saya tersenyum ringan, lalu bertanya dalam hati, “Iya kah? Hoax”.
Di bilang rajin banget tidak, dibilang malas kuliah banget. Contoh hari senin kemarin lusa, mahasiswa indonesia yang hadir hanya dua orang. Dan kemarin ada peningkatan menjadi tiga orang.
Khartoum, Oktober 2020.
Teman adalah teman. Mereka kadang memuji , juga tak luput mencaci. Namun kembali akur selama ada di atas jalan dan jalur yang sama. Tidak ada yang sempurna. Semua begitu. Tidak banyak yang bertahan. Bila ada boleh jadi satu banding seribu.
Setia dalam pertemanan tak pernah bisa di beli dengan uang, ia di tempa dari kenangan demi kenangan. Tawa demi tawa. Susah pun bersama. Mereka bisa membawa kita masuk surga atau sebaliknya jatuh ke neraka.
Khartoum, 6 Oktober 2020.
Baru saja sore ini saya video call dengan kawan lama ketika saya masih duduk di MUBK (Ma'had Umar bin Al-Khattab) Surabaya. Namanya Syaikh Khair dan Ustadz Fajar.
Ada kisah menarik tentang Syaikh Khair ini. Beliau merupakan salah satu keturunan arab hadramaut yang hingga hari ini masih banyak mendiami wilayah surabaya, tepatnya didaerah wisata ampel.
Saya teringat saat ujian tulis penerimaan mahasiswa baru MUBK sekitar tahun 2016. Semua soal menggunakan bahasa arab. Saya sendiri lulusan SMA Negeri sama sekali tidak paham bahasa arab.
Salah satu ustadz pengawas ujian ketika itu memberi tahu, kalau memang kita tidak mampu mengerjakan soal-soal ujiannya tidak masalah. Tinggal tulis nama kemudian kumpulkan lembar jawabannya di depan. Toh ujian kali ini diperuntukan untuk menentukan tingkat kelas kami ketika nanti masuk ma'had. Kalau nilai ujiannya bagus bahkan bisa langsung masuk semester tiga.
Saya pribadi meski tidak paham mencoba ilmu 'tak awut' yang kadang saya pakai dalam keadaan terdesak. Alhamdulillah saya bisa menjawab soal pilihan gandanya seperti saya menjawab soal test IQ. Yang kelihatannya cocok bentuk katanya, mungkin itu jawabannya. Untuk soal esainya saya kosongkan. Paham saja tidak.
Berselang sekitar tiga menit saya mengerjakan tiba-tiba ada seorang berperawakan arab datang duduk disamping saya ikut ujian tulis pagi itu. Tak berselang lama mengerjakan soal dia langsung mengumpulkan lembar jawaban ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengeong di Padang Pasir (Sebuah catatan perjalanan kuliah di Sudan)
AventuraIni hanya cerita tentang perjalanan saya di Sudan, uneg-uneg, curhatan dan tentu fakta-fakta unik tentang Sudan yang sangat membekas dalam ingatan. Mengenang kembali masa-masa kuliah saya di Sudan sebagai bentuk rasa syukur terbesar kepada Tuhan kar...