"Sudan negara sembilan matahari, katanya."
Berita yang masyhur di Sudan hanya ada dua musim. Satu musim panas dan satu lagi panas banget. Faktanya kurang lebih ada tiga musim di Sudan.
Pertama musim panas, kedua musim dingin ketiga musim penghujan. Meskipun sedang musim penghujan tidak berarti setiap pekan akan turun hujan. Bahkan kadang bisa dihitung jari berapa kali jumlah hujan dalam satu tahun. Jari tangan dan jari kaki, intinya hampir bisa dipastikan tidak lebih dari 20 kali hujan turun dalam setahun. Musim hujan sendiri berlangsung kurang lebih selama 2 sampai 3 bulan, sedangkan musim dingin sekitar 3 bulan dan sisanya adalah musim panas no sekali tapi berkali-kali.
Puncak musim panas biasanya terjadi di bulan ramadhan, bisa mencapai angka 46° C. Karena itu saat siang hari, sering kita dapati para manusia bergelimpangan dimasjid, bukan untuk membaca Al-Quran di momentum ramadhan tetapi untuk mencari tempat sejuk di bawah AC. Namun sekitar tahun 2020 sudah banyak AC yang rusak. Why? Jawabanya karena di dibersihkan dan perbaiki.
Agak aneh memang, tapi faktanya memang seperti itu, hampir semua AC di masjid menjadi rusak total setelah di bersihkan. Atau yang awalnya agak rusak setelah diperbaiki menjadi semakin tidak bisa dipakai. Dan anehnya tidak ada tindak lanjut dari pihak yang bertanggung jawab, jadi dibiarkan begitu saja. Itu yang membuat saya dan juga banyak mahasiswa lain kadang shalat di masjid hanya menggunakan kaos lengan pendek. Itu pun usai shalat biasa kami sudah bermandian keringat.
Dan sejak itu saya biasa pindah tadarusan di bawah pohon, yang jaraknya dari asrama sekitar 200 meter dengan membawa botol air minum penuh dengan air kran. Bukan untuk dimunum meskipun minuman kami seringnya dari air kran juga, tetapi untuk membasuh kepala dan kaos agar tidak panas.
Botol air tersebut saya letakkan di samping saya. Kalau cuacanya sedang panas sekali, tidak menunggu lama air dalam botol tadi saat saya guyurkan ke badan atau kepala kadang terasa hangat, padahal saya sedang berteduh dibawah pohon. Angin sepoi-sepoi yang bertiup juga panas.
Sampai saya pernah ngomong ke teman saya, “Kok pagi hari (ba’da subuh) serasa sore saja udaranya. Padahal masih gelap.” Atau ungkapan lain yang sering saya lontarkan, “Kok orang Sudan betah ya tinggal di Sudan?”
Sedangkan untuk istirahat dikamar ketika bulan puasa yang notabennya puncak musim panas, kami biasa membasahi bahkan menyiram kasur dengan air. Tidak cukup sampai disitu saya sering juga membasahi kaos lalu menyalakan kipas angin. Apa memakai kipas angin saja tidak cukup? Sama sekali tidak. Karena anginnya juga panas.
Pernah suatu ketika kami berangkat kuliah ditengah terik matahari, salah seorang teman dari China namanya Liu Bau Wei atau nama Islamnya Muhammad Abdullah pernah bertanya, “Tau gak kenapa Allah menakdirkan kamu kuliah di Sudan?”
“Memang kenapa?” Balas saya.
“Karena Allah cinta kamu, dalam hadits kan dikatakan kalau Allah suka kepada seorang hamba, Allah akan mengujinya.” Terangnya.
Saya hanya menanggapinya dengan senyuman dan segera bergegas menuju kelas, karena terik matahari semakin panas. Kehidupan keras di Sudan meskipun baru beberapa bulan, membuat banyak kata-kata motivasi menjadi tumpul. Intinya jalani saja, cukup. Tidak perlu banyak bullshit.
Enaknya musim panas hanya satu, menjemur baju tidak sampai satu jam sudah kering. Padahal tidak memakai mesin pengering baju atau mesin cuci.
Next, kalau musim dingin bagaimana?
Kebanyakan orang pasti berfikir enak. Vibesnya seperti berkemah di perbukitan Dieng. Atau instagramable seperti musim dingin di eropa dengan saljunya. Sorry ye, musim dingin Sudan beda. Musim dingin tapi kering, bukan lembab. Musim dingin di Sudan kadang lebih menyakitkan dari pada musim panas.
Mulai dari kulit dan bibir pecah-pecah sampai berdarah. Kaki juga sama, hampir semua mahasiswa mengalami kaki pecah-pecah sampai mengeluarkan darah. Apalagi untuk bangun shalat subuh, pelukan selimut terasa sehangat pelukan pengantin baru. Kalau belum iqamah kadang belum mau beranjak dari ranjang.
Kalau dulu saya menganggap orang eropa biasa memakai headset saat beraktifitas diluar rumah ketika musim dingin, ternyata itu bukan headset. Itu adalah pelindung telinga dari udara dingin. Apalagi kalau telinga dalam keadaan basah sesudah berwudhu, itu serasa ditusuk-tusuk jarum kalau tertiup angin. Jadi sudah bukan aib lagi kalau ketika musim dingin kami biasa mandi bukan dua atau tiga kali sehari, tapi dua atau tiga hari sekali. Tanpa sabun, agar kulit tidak koreng putih-putih.
Fakta lain yang perlu kalian ketahui, saat musim dingin pun kami juga masih sering kehabisan air. Kok bisa? Apasih yang nggak mungkin di Sudan. Berangkat kuliah cuma bermodal cuci muka dan sikat gigi itu sudah bagus. Karena kadang baru bangun tidur langsung otw kampus.
Udara dingin akan reda kira-kira pukul 10 pagi sampai ashar. Tidak jarang juga nasi yang kami gelar di nampan meski hanya dibiarkan sekitar seperempat jam sudah seperti baru saja dikeluarkan dari kulkas.
Kalau kita meletakkan roti lima belas menit saja terkena udara, auto rotinya berubah jadi batu. Dulu ketika membaca kisah ulama yang kadang sampai terpaksa makan roti keras, saya bernggapan roti keras itu enak, gurih. Faktanya yang namanya roti keras ya benar-benar keras. Bisa untuk melempar tikus. Harus di celupkan dulu di teh atau susu hangat, baru nyaman dimakan.
Musim dingin biasanya kami manfaatkan untuk membolos kuliah lalu membaca buku sendiri di kamar ditemani teh hangat tanpa gula. Bacanya tidak sampai setengah jam, sisanya dipakai untuk merajut mimpi. Meski begitu ada salah satu kegiatan tahunan yang biasa kami adakan ketika liburan musim dingin yaitu daurah sama’ hadits. Sambil menggigil, mendengar hadits yang dibaca maraton. Sangking khusyuk sampai tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengeong di Padang Pasir (Sebuah catatan perjalanan kuliah di Sudan)
AventuraIni hanya cerita tentang perjalanan saya di Sudan, uneg-uneg, curhatan dan tentu fakta-fakta unik tentang Sudan yang sangat membekas dalam ingatan. Mengenang kembali masa-masa kuliah saya di Sudan sebagai bentuk rasa syukur terbesar kepada Tuhan kar...