BAB 1: AWAL DARI SEMUA

160 87 8
                                    

Assalamualaikum, lop!

Hai, hai, hai, readers🤍

Jangan lupa bersyukur🥰

                 ~SELAMAT MEMBACA~

~Throwback~

"Tapi, Bu...Henes telah lebih dulu mempelajari Islam, dan tidak ada yang harus ditentang dari ajarannya, Bu," ucap Henes lirih dengan isak tangis sembari memohon kepada ibunya.

Sebagai istri dari seorang Uskup, Beth sangat tidak setuju atas permintaan putri tunggalnya itu. Menurutnya ajaran yang benar adalah yang disampaikan oleh Tuhannya, yang sedari lahir ia imani, terlebih sepeninggalan suaminya adalah seorang imam besar di ajarannya.

*Uskup adalah sebutan imam untuk ajaran Kristen Ortodoks yang sama dengan sebutan Pastor.

Beth termasuk orang tua tunggal yang tegas dalam mendidik anak satu-satunya, sekali berkata tidak tetap tidak jawabannya. Tidak memberi ruang sedikitpun kepada Henes untuk mengemukakan permintaannya yang ingin menjadi mualaf. Padahal ini kali kedua Henes bertanya kepada Beth, yang semakin membuat Beth murka.

"Hasutan siapa yang kau dengar sampai sebegininya memohon. Ha!!" bentak Beth yang saat itu juga menjambak rambut Henes.

"Apa kau pikir, selama ini kau berada di ajaran yang salah, Henes?" lanjutnya.

Tanpa ampun Beth terus menjambak rambut Henes.

Henes memohon dengan sungguh agar ibunya melepas rambutnya yang sakitnya tidak tertahankan lagi dikarenakan emosi ibunya telah memuncak.

"Sakit, Bu...Kumohon lepas," ucap Henes

"Tidak sesakit hatiku, Henes! Pergi dari rumah ini jika kau menentangku!" bentak Beth yang memandangi wajah Henes.

"Apa kau tidak ingat dengan ayahmu? Ayahmu sangat mencintaimu terlebih dari apapun, ia sangat menjagamu dari hal-hal yang tidak baik, masih inginkah kau menghianati cinta ayahmu?" ucap Beth dengan lirih. Tanpa disadari Beth telah menjatuhkan air matanya saat mengenang suaminya.

Perlahan Beth melepas rambut Henes dan duduk tersandar di dinding kamarnya. Sepuluh tahun lamanya Beth tidak bertegur sapa dengan sekelilingnya dikarenakan ia tidak pernah keluar rumah setelah kepergian suaminya, berada di dalam rumah bersama dengan putri tunggalnya serta orang yang bekerja di rumahnya, membuat hidupnya tidak merasa kesepian.

Benar saja, suami yang sangat ia cintai telah pergi untuk selama-lamanya. Suami yang tidak pernah kasar sedikitpun terhadapnya dan juga putri mereka, sangat disegani oleh sekelilingnya dan juga para jamaah tempat mereka beribadah. Bagaimana mungkin terlupakan begitu saja olehnya.

***

~Henes POV~

Gwen Henessy Akso, nama yang diberikan oleh orang tuaku sejak lahir ke dunia ini, nama yang selalu menjadi doa dalam setiap langkahku, nama ini juga yang menjadi kenangan terbesar dalam hidupku. Ya, kini aku sudah menjadi seorang muslim sejati, bukan lagi Henes yang belajar Islam dengan sembunyi-sembunyi. Jika diingat kembali, perjuangan kemarin sungguh besar lika-likunya untukku. Tidak diakui sebagai anak lagi oleh ibu yang telah melahirkanku, tidak berada lagi di kota kelahiranku, tidak tinggal lagi di rumah orang tuaku dan tidak mendapat do'a lagi dalam setiap langkahku.

Dan kini, Gwen Henessy Akso yang menjadi Sezen Savgili Akso, telah sempurna menjadi seorang muslim yang tidak pernah berhenti terus belajar akan perintahNya.

Izmir, kota yang terletak di pesisir barat daya Turki dan termasuk kota terbesar ketiga setelah Istanbul dan Ankara. Menjadi kota kelahiranku setelah ayahku berpindah negara dari Indonesia ke Turki dan menikah dengan ibuku di kota ini. Kota ini menjadi sejarah semasa hidupku, dikarenakan tidak sanggup untukku kembali ke kota ini. Keputusan untuk memilih keluar dari rumah orang tuaku dan meninggalkan kota kelahiran adalah hal yang berat. Akan tetapi, kembali kepada fitrahnya manusia adalah hidayah terindah yang telah diberikan Allah SWT kepada hambaNya. Dan inilah jalan yang telah ku pilih tanpa paksaan siapapun.

Tidak bermaksud untuk menghapus rasa cinta yang telah diberikan oleh ayahku selama ini. Bahkan, dengan pilihanku ini maka sedikit banyaknya membantu meringankan pertanggung jawaban ayah di akhirat kepada Pencipta.

Alhamdulillah sekali aku memiliki orang tua seperti ayah dan ibuku, yang selalu menyayangiku tanpa batas waktu, mengajariku kebaikan-kebaikan selalu. Selama 21 tahun ini, aku bahagia dan tidak pernah merasa sakit sedikitpun oleh mereka, bahkan oleh keputusan ibuku yang mengusirku saat aku meminta restu untuk memeluk Islam.

Salah satu alasan yang membuatku tertarik mempelajari Islam ada pada peristiwa saat aku berada di depan gereja sepulang ibadah.

***

"Excuse me, can anyone help me take this mother to the hospital?" teriak seorang wanita meminta pertolongan kepada sekelilingnya dengan isyarat mengangkat tangannya agar direspon, tetapi tidak ada seorang pun yang menggubrisnya, padahal sesama jamaah gereja juga.

Sepertinya wanita tidak penduduk asli negara ini, raut wajahnya sangat asing.

Dari kejauhan aku melihatnya melambaikan tangannya untuk meminta bantuan, sepertinya wanita paruh baya yang ia tolong adalah salah satu jamaah gereja tempatku beribadah ini. Namun, tidak ada seorang yang membantunya, segera ku bergegas mendekatinya dan bertanya agar aku bisa menolongnya.

"Hi sist, how can I help you, what's wrong with this woman?" tanyaku dengan sedikit panik melihat wanita paruh baya yang ia tolong dalam keadaan tidak berdaya.

"Alhamdulillah...There are also those who come, thank God for your help. Can you help me find a taxi to immediately take this mother to the hospital?" ucapnya dengan sedikit gemetar.

"Come on, right away," jawabku.

"excuse me, is there a taxi available? can you help me?" tanyaku sambil sedikit berlari kepada sederet supir taksi yang berhenti di sekitar gereja. Tidak terlalu jauh dari lokasi wanita itu berada, jadi mudah untukku mencari taksi yang kosong penumpang.

"Yes, me," ucap salah seorang supir taksi itu.

Dengan segera aku menghampiri mereka dan menuju rumah sakit agar wanita paruh baya itu mendapatkan pertolongan.

Sesampainya di rumah sakit,

"Oh yeah, we don't know each other yet, my name is Aisya, who are you?" ucapnya sembari mengulurkan tangannya kepada ku.

"Yeah, my name is Sezen," jawabku yang menerima uluran tangannya.

"Looks like you're a foreign citizen? where are you from?" sambungku.

"Yes, I'm an overseas student from Indonesia, I'm continuing my master's studies in Türkiy, eprecisely in the city of Izmir," jawabnya sambil melempar senyuman.

"Ooh, kamu asal Indonesia," cetusku dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang sering diajarkan oleh ayahku semasa hidupnya.

"Loh, kamu bisa Bahasa Indonesia juga?" tanyanya heran.

"Iya aku bisa, ayahku adalah pemuda Indonesia yang berpindah negara dahulunya," jawabku dengan senyuman.

"Masyaallah, titip salam ya dengan ayah Kamu, Henes," ucapnya dengan mimik yang sangat ramah.

"Iya Aisyah, tapi ayahku sudah berada di keabadian setahun yang lalu," jawabku.

"Astaghfirullah, maafkan aku," ucapnya dengan memegang pundakku.

"Tidak menggapa," ucapku.

Namanya Aisyah, wanita yang dengan kerendahan hati menolong orang yang tidak dikenalnya tadi. Kelihatan sekali kalau Aisyah ini wanita yang baik hati, patuh terhadap agamanya dan juga cerdas, menjemput ilmu pendidikan saja sampai meninggalkan negara asalnya.Dengan mengenakan hijab menandakan kalau ia seorang muslim.

Sungguh indah hubungan dalam agama muslim itu ya, tanpa memandang siapapun mereka mau memberi pertolongan.

Setelah banyak perbincangan, suster pun memanggil kami untuk memberikan intruksi selanjutnya mengenai wanita paruh baya yang telah kami tolong.

***

                                 _0_

                 ~TERIMAKASIH LOP~

Bantu author untuk semangat up lagi yuuu dengan komen sebanyak-banyaknya ya☺️

Jangan lupa vote juga🤗

Terimakasih,,,

Syahadat Kedua (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang