"Naria!" panggil Luna gadis itu melangkah menuju dapur. Namun sampai disana ia tak mendapati keberadaan Naria.
Seorang pelayan paruh baya menghampiri Luna. "Naria lagi belanja nona, ada yang bisa saya bantu?"
"Bi bisa minta tolong bawakan kanvas sama segala kebutuhan lukis Luna gak? Bawa ke taman deket danau," pinta Luna.
Pelayan itu mengangguk pelan, "Baik nona, kalau begitu saya permisi untuk ambilkan,"
Luna kemudian duduk di kursi meja dapur, ia mengambil satu gelas susu yang telah di hidangkan di atas meja, susu itu langsung di teguknya.
Namun saat dirinya hampir menghabiskan satu gelas susu, ia merasakan ada sesuatu aneh menyentuh lehernya dari belakang.
"Akh!" Luna terlonjak, jelas saja susu yang di teguknya langsung tumpah.
Luna langsung menoleh, disana ia mendapati Aaron yang tersenyum jahil padanya. Senyum Aaron tidak bisa di artikan, tentu saja membuat Luna khawatir dan takut.
Pelan gadis itu mundur ke belakang.
"K-kak Aaron," panggilnya gugup, ia tak berani bertatapan mata dengan lelaki itu.
Ujung pelupuk mata Luna menangkap sosok pelayan, yang tadi di suruhnya tengah menuruni tangga.
Berada di dekat Aaron hanya membuatnya cemas. Spontan gadis itu langsung memanggil pelayannya.
"Bi? Satunya biar saya bawa!" seru Luna, lalu berlari menghampiri pelayannya itu. Padahal itu hanyalah alasannya agar bisa menghindar dari sosok Aaron.
Aaron terkekeh dengan respon Luna, matanya terus mengikuti punggung Luna yang menjauh menuju pintu utama, kemudian kembali beralih pada satu pelayan yang masih ada di dapur.
"Bi, bawakan buah-buahan ke tempat Luna melukis sekarang,"
"Baik tuan,"
Tiba di taman dekat danau. Disana Luna memasang alas putih untuk duduk.
"Bi, nanti kalo Naria tiba, minta kemari ya," pinta Luna setelah pelayannya selesai dengan menata alat-alat lukis Luna.
"Baik nona, ada lagi yang di butuhkan?" tanya pelayan itu.
"Cukup, makasih ya Bi,"
Pelayan itu tersenyum ringan, kemudian menunduk dan berlalu pergi dari sana.
Luna menegadahkan tangannya yang memenggang kuas ke depan, gadis itu tampak sedang membidik pemandangan yang akan di lukisanya.
Namun fokusnya sempat terganggu saat topi yang di pakainya tiba-tiba jatuh, namun ia enggan mengambilnya, dan memilih membiarkan topi itu jatuh, sebab ia tidak mau terganggu hanya karena sebuah topi.
Deg!
Jantungnya berdetak kencang kala mendapati sebuah uluran topinya dari samping. Ujung pelupuk matanya langsung menangkap sepatu olahraga dan ia sangat hafal siapa pemiliknya.
"Kak Aaron?"
"Gue ganggu?" tanyanya datar.
"Enggak," sahutnya bohong.
Padahal keberadaan lelaki itu meski di radius 2 km juga akan memberikan rasa cemas yang mengganggu ketenangannya.
Aaron tersenyum ia kemudian duduk, lalu berbaring di samping Luna, kakinya yang panjang hampir menyentuh kanvas yang telah Luna tetapkan.
Luna menghela napas berat, ia hendak memindahkan kanvasnya, namun Aaron tidak memperbolehkannya.
"Biarkan disitu," perintah Aaron, ia sedikit menggeser kakinya untuk memberikan celah pada Luna.
KAMU SEDANG MEMBACA
LALUNA
Romance"Ngerti sekarang? Mereka gak setuju kalo lo gue jadiin adik, gimana kalo gue jadikan pelacur?" Aaron Wesley Darius, pria tampan dan manipulatif, dikenal karena kekejamannya dan kemampuannya untuk mendapatkan apa pun yang diinginkannya dengan cara ap...