Deg! Deg! Deg!
Jantung Luna semakin berantakan. Apalagi saat matanya bertemu dengan tatapan teduh nan sayu seorang Ravin Erlangga Sanders.
"Masih inget gue lo?" tanya Ravin bercanda, sedangkan cewek yang ada di depannya masih terpaku menatapnya tak percaya kalau dirinya bisa sakit juga.
"Lo bisa sakit ya kak? Padahal lo tuh kekar, besar, dan tinggi, tapi kenapa jadi lemah gini?" tanya Luna, sambil menoel-noel dada Ravin yang tengah berbaring.
Ravin berdecak. "Lo pikir gue ultramen?"
Luna terkekeh pelan. "Ya, kalo bisa lo jadi Ultramen aja, biar gak sakit-sakitan, terus biar jagain gue terus-terusan."
"Di ganggu lagi sama Aaron?" tanya Ravin. Luna hanya mengangguk samar, lalu menundukkan kepalanya.
Tangan besar Ravin terulur menangkup kedua pipi Luna, menyadarkan gadis itu yang sempat melamun.
"Sorry ya, gue gak bisa jaga lo kali ini, tapi nanti setelah gue sembuh gue bakalan ngasih perhitungan sama Aaron..."
Luna mengangguk, dan kembali mendongakkan kepalanya menatap Ravin.
Namun tatapan teduh Ravin berubah penasaran, saat ia melihat ada luka di bagian bawah bibir Luna.
"Bibir lo kenapa?" tanya Ravin khawatir, seraya menyentuh bibir Luna dengan ibu jarinya.
"Gak sengaja kegigit," balasnya seraya menepis tangan Ravin.
"Kenapa bisa? Ini cukup parah lho Lun, terus lo gak sadar gitu?"
"Jangan bilang lo cemas, makanya sampai segitunya?" tebak Ravin meski ia tak yakin, sebab ia merasa kalau ada yang di sembunyikan darinya.
Luna menunduk, tangannya meremat roknya sendiri lalu menjawab dengan gugup. "Bi-bisa di bilang begitu..."
"Bukannya kakak udah bilang, lo jangan cemas-cemas, kalo ngerasa cemas dikit langsung minum obat," Ravin memperingatkan.
Karena Ravin tau jika Luna masih membutuhkan perawatan mental sampai sekarang. Apalagi setelah kejadian yang menimpa ibunya dulu. Dan ia tau itu semua; berkat Darius.
"Luna mau terbebas dari obat kak, gak mau terus-terusan minum," sahut Luna yang masih menunduk.
"Iya tau, tapi kakak gak suka kalo lo sakitin diri lo sendiri kayak gini, Laluna."
Entah kenapa Luna merasa bersalah, karena memang luka di bibirnya di dapat bukan karena dirinya sendiri, tapi lelaki gila yang tinggal serumah dengannya. Sungguh ia merasa telah mengkhianati Ravin.
Ravin mengubah posisinya duduk di samping brangkar. Tangan kanan Ravin menggenggam tangan Luna.
"Maaf ya gak bisa pastiin langsung. Aaron gimana? Selagi kakak gak berkunjung? Dia gak macam-macam sama lo kan?"
Entah mengapa, Luna juga merasa sedikit tidak nyaman dengan genggaman tangan Ravin. Perlahan ia akhirnya melepaskan genggaman itu.
"Kan kak Ravin udah bilang. Tenang aja, lagian dia baik kok. Kak Ravin gak perlu khawatir, penting fokus dulu sama kesehatan kakak, dan jangan lama-lama di rumah sakit."
"Oh iya, Luna lupa," seru Luna, ia lalu mengambil sesuatu dari dalam paperbag yang ia bawa.
Sedari tadi paperbag itu hanya nangkring di dekat lemari, sampai Luna lupa untuk di berikannya ke Ravin. Dan ia baru teringat sekarang, setelah beberapa menit pertemuan mereka.
Ravin menatap heran, satu alisnya terangkat. "Apa?"
Luna mengulurkan bunga melati pada Ravin. "Buat kakak," ujarnya gugup.
KAMU SEDANG MEMBACA
LALUNA
Romansa"Ngerti sekarang? Mereka gak setuju kalo lo gue jadiin adik, gimana kalo gue jadikan pelacur?" Aaron Wesley Darius, pria tampan dan manipulatif, dikenal karena kekejamannya dan kemampuannya untuk mendapatkan apa pun yang diinginkannya dengan cara ap...