2. Pertemuan Aaron dan Luna

1.9K 71 4
                                    

Satu minggu berlalu. Gadis bernama Laluna telah selesai masa perawatan kejiwaannya yang sempat terguncang. Gadis itu sudah mendapatkan perawatan hypnoterapi, serta juga semua masalah yang menimpa gadis itu sudah di atasi. Hanya saja Luna masih membutuhkan pengawasan terkait kondisi kejiwaannya yang belum memulih sepenuhnya.

"Banyak-banyak mendukungnya, serta memberikan kasih sayang yang belum pernah di dapatkannya dari mendiang ibu dan ayahnya," jelas psikiater itu, dia merupakan sepupu Darius namanya Darrel.

Darius manggut-manggut mengerti. "Terima kasih bantuannya."

"Saya turut berduka cita atas meninggalnya Rani," ucap Darrel sambil menepuk pundak sepupunya, seolah ingin memberikan sedikit dukungan di tengah kesedihan.

Darius hanya tersenyum tipis, senyuman yang tampaknya tak mampu menutupi kedalaman kesedihan yang menyelimuti hatinya.

Pria paruh baya itu langsung terdiam ketika topik mengenai Rani muncul, seperti terjebak dalam bayangan masa lalu yang belum pudar sampai saat ini.

Darrel beralih ke dekat jendela, membiarkan tirai jendela sedikit terbuka, dan menatap sosok gadis berusia empat belas tahun yang tengah duduk di kursi besi di depan ruangannya.

Sosok gadis itu tampak seperti bayangan yang tak bisa diabaikan, seolah masa lalu dan masa kini bertemu dalam satu momen.

"Tidak aku sangka, ternyata Luna mewarisi wajah cantik mamanya. Apa kamu tidak bisa melupakan Rani? Sampai-sampai kamu harus mengadopsi anaknya?" Darrel bertanya dengan nada yang penuh penasaran.

Darius melangkah mendekati Darrel, langkahnya berat dan penuh makna. "Iya, aku tidak bisa melupakan Rani, meski enam belas tahun telah berlalu," sahut Darius.

"Dia sangat mirip dengannya," ucap Darrel, matanya penuh penekanan, seolah menghubungkan masa lalu dengan kenyataan yang ada di depan mata.

"Aku tahu," jawab Darius.

Setiap kata itu adalah beban yang harus ditanggungnya, dan setiap pandangan Luna adalah pengingat dari cinta yang hilang.

__ooOoo__

Satu jam perjalanan pulang menuju kediaman keluarga Darius. Luna mulai membuka diri kepada Darius. Senyuman manisnya kini terukir indah, seolah cahaya yang menyinari gelapnya hari. Darius hampir lupa bahwa gadis di sampingnya adalah Luna, bukan Rani.

Wajah Luna yang sangat mirip dengan Rani membuat Darius merasa seolah sedang melihat kembali sosok yang telah lama hilang.

Rasa sedih melanda hatinya, seperti arus sungai yang tak bisa dihentikan. Andai saja dulu ia mempertahankan Rani, mungkin ia tidak akan kehilangan cinta pertamanya.

"Luna? Nanti di rumah kamu akan bertemu dengan anakku, namanya Aaron. Aku harap kamu tidak terkejut dengan sikapnya yang nakal, tapi tenang saja dia akan menjagamu dengan baik," jelas Darius, seolah ingin memberi sedikit penghiburan di tengah kesedihan Luna yang mendalam.

"Iya, paman," sahut Luna, suara lembutnya penuh harapan.

Gadis itu menatap keluar jendela mobil, seolah mencari jawaban di luar kaca jendela yang membentang luas.

"Paman? Seperti apa mama dulu? Mengapa paman sangat mengenal mama dibandingkan Luna?" tanya Luna, matanya tetap terpaku pada pemandangan yang berlalu.

"Paman ada beberapa foto mamamu semasa kecil. Setelah ini, paman akan beritahukan semua tentang mamamu, begitu juga dengan papamu," sahut Darius, seolah ingin membuka lembaran baru dari cerita yang lama.

Luna tersenyum manis, senyumnya bagaikan sinar mentari di pagi hari. "Luna tidak sabar. Luna tidak menyangka kalau paman dan kedua orangtuaku berteman begitu dekat."

LALUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang