Setelah berbincang dengan Wina, aku merasa lebih lega dan semakin mantap untuk mengungkapkan perasaanku pada Alesya. aku pun bergegas mencari keberadaan Alesya dengan ditemani Wina.
Namun, saat kami sudah menemukannya membuatku sulit untuk membuka mulut, kebingungan dan kekhawatiran melanda.
Aku gelagapan. Gugup, menghadapi situasi rumit saat ini.
"Dia bakalan marah gak ya sama aku karena cowok yang dia suka malah kuembat? Aku ngerasa jadi teman yang buruk banget" pikirku dalam hati.
Namun, aku tahu aku harus melakukannya. aku harus memberi tahu Alesya kebenaran, walaupun itu berarti menghadapi konsekuensi yang mungkin tidak menyenangkan.
Dengan perasaan berdebar-debar, aku mencoba untuk mendekatinya, aku menyadari bahwa ini adalah saat yang tepat.
"Ca, aku pengen ngomong sesuatu." ucapku dengan ragu.
Alesya menoleh dengan tatapan heran.
"kenapa, Sel? Kenapa kamu kok gugup gitu?" tanyanya.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengungkapkan segalanya. Aku menceritakan perasaanku terhadap Hangga, pun sebaliknya, bagaimana semuanya mulai terjadi, dan betapa sulitnya bagiku untuk menghadapinya.
Alesya mendengarkan dengan ekspresi campur aduk. Awalnya dia terkejut dan kecewa, tapi sesaat kemudian ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih tenang.
"Aku ngerti, Sell. Aku gak akan marah sama kamu kok. Aku menghargai kejujuran kamu, lagipula yang suka duluan diantara kalian kan Hangga Sel, perihal kamu mau ngebales perasaan dia atau nggak itu hak kamu Sel. Soal perasaanku ke Hangga nggak usah kamu pikirin udah, santai aja." kata Alesya dengan lembut.
Aku merasa lega mendengar itu. Meskipun situasinya masih rumit, setidaknya sekarang beban rahasia telah terangkat dari pundakku.
"Dengan gini, seenggaknya aku gak harus nyembunyiin apa pun lagi dari Eca," pikirku dalam hati.
Dengan hati yang berusaha legowo, Alesya memelukku erat, membuatku merasa sangat beruntung memiliki seorang teman seperti dia.
"Everything's okay, Selly. Aku mendukungmu kalau memang kalian berdua sama sama suka, tapi tolong jaga bang Hangga baik-baik ya," ucap Alesya sambil mengusap pundakku dengan lembut, menciptakan suasana yang hangat di antara kami. Kemudian, Wina pun ikut serta dengan cepat, memeluk kami berdua. Kami bertiga merangkul satu sama lain, seperti dalam sesi pelukan layaknya keluarga.
Rasa lega menyelimuti diriku saat melihat respons mereka yang jauh dari bayanganku. Meskipun Alesya adalah yang paling muda di antara kami, aku merasa dia sangat dewasa dan bijaksana dalam menyikapi situasi.
Bukankah itulah yang dinamakan persahabatan yang sejati? Menyadari pentingnya saling menghargai, meminta maaf saat kita salah, dan selalu siap membantu satu sama lain. Sekali lagi, bolehkah aku merasa sangat beruntung memiliki mereka berdua?
"Tapi, Selly, permasalahanmu belum selesai sampe sini, kan?" ujar Wina sambil mengangkat alisnya bergantian. Aku sedikit heran dengan maksud ucapannya, namun sebelum aku sempat menanggapinya, Alesya langsung kembali merangkul pundakku.
"Bang Hangga punya banyak penggemar di santri putri, loh. Gimana kalau mereka sampai tahu? Apalagi ada Mbak Hana, sepupu Bang Hangga yang menjadi pengurus pondok putri," tambah Alesya dengan nada serius.
Tubuhku kaku. Kenapa aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya? Perasaanku pada Hangga yang sudah kacau ditambah dengan Mbak Hana, yang notabene merupakan pengurus pondok putri yang galak dan juga mereka para penggemar Hangga, bisa menjadi masalah besar bagiku jika mereka mengetahui hubunganku dengan Hangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
TERTINGGAL [TERBIT]
Teen FictionSellyana Anggrea, seorang santri putri di Pondok Pesantren Modern Al-Hasany. Kehidupannya berubah drastis setelah Andika Hangga Wijaya, peserta demontrasi Amtsilati yang menawan berasal dari kota khatulistiwa mengutarakan perasaannya. Perjalanan cin...