"Selly, kenapa?" tanya Wina, bingung.
Aku hanya menangis lebih keras, membiarkan semua rasa sakit dan kekecewaan mengalir bersama air mata. Wina memelukku erat, berusaha meredakan tangisku dengan pelukannya.
Wina pun membawaku ke asrama, sesampai di asrama Wina menatapku dengan lembut.
"Mau cerita, nggak? Atau masih mau nangis dulu? " Tanya Wina sembari memberikanku tissue.
Aku mulai menceritakan bagaimana awal mula hubungan kami yang penuh dengan romantis dan janji manis, bagaimana Hangga selalu membuatku merasa istimewa, dan betapa bahagianya aku saat itu. Lalu, aku melanjutkan dengan menceritakan perubahan yang terjadi, tentang betapa perlahan-lahan dia mulai menjauh, jarang mengabari, dan membuatku merasa seolah aku bukanlah prioritasnya. Padahal aku tak pernah menuntut waktu 24/7, aku hanya meminta untuk saling mengabari sesibuk apapun, dan dulu ia menyanggupi itu.
Wina mendengarkan dengan sabar, tak sekalipun memotong ceritaku. Sesekali dia mengangguk, memberikan tanda bahwa dia memperhatikan setiap detail yang aku sampaikan. Ketika sampai pada bagian di mana aku menemukan bahwa Hangga mulai tertarik pada Anisa, air mataku kembali mengalir. Wina memelukku erat, memberikan kehangatan dan dukungan yang sangat kubutuhkan.
"Aku bisa saja memaafkannya, Win. Tapi aku nggak bisa percaya lagi sama dia," kataku dengan suara serak, menahan tangis.
Wina mengelus punggungku dengan lembut.
"Aku ngerti, Sel. Memang nggak mudah buat percaya lagi setelah dikhianati. Kamu sudah melakukan hal benar jika memilih meninggalkannya, karena mendua itu tidak bisa disembuhkan. Tapi aku akan selalu dukung apapun keputusan kamu Selly." ucapnya bijak.
Aku mengangguk pelan, merasa sedikit lebih lega setelah menceritakan semuanya.
"Kamu benar Sel."
"Aku akan selalu ada di sini buat kamu, apapun yang terjadi. Kita hadapi ini bersama, oke? Kita ini teman kan?" kata Wina sambil menggenggam tanganku erat. Aku menanggapinya dengan senyum.
---
Suatu hari, Anisa tiba-tiba menghampiriku. Dia memberikanku sebuah bingkisan.
"Ini dari Hangga, Mbak." katanya.
Lekas saja kutolak, namun dia memaksa. Akhirnya, kuambil bingkisan itu lalu kubuka. Ternyata isinya adalah sebatang coklat Chunky Bar SilverQueen dan susu kurma kesukaanku. Dalam bingkisan itu juga ada sepucuk surat.
Dengan hati yang berdebar, kubuka surat itu dan mulai membacanya.
"Selly,
Aku tahu ini mungkin tak cukup untuk menebus kesalahanku. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menyesal. Aku sayang lamu Selly, dan aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kumohon, beri aku kesempatan sekali lagi."
-Hangga
Setelah membaca surat itu, rasa kecewa kembali membanjiri hatiku. Luka yang dia torehkan cukup dalam dan sakit. Aku tahu, tak ada coklat atau susu kurma yang bisa mengobati rasa sakit ini. Dengan tegas, kuberikan bingkisan itu kembali kepada Anisa.
"Anisa, tolong kembalikan ini ke Hangga. Bilang padanya aku tak ingin berhubungan dengannya lagi," kataku dengan suara yang sedikit bergetar namun tegas.
Anisa menatapku sejenak, tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya mengangguk.
"Baik, mbak Selly. Aku akan sampaikan," katanya pelan.
Setelah Anisa pergi, aku berdiri diam di tempat. Segala kenangan dan perasaan yang selama ini berusaha kutahan kembali muncul. Aku merasa lelah, tapi juga sedikit gelisah karena telah mengambil keputusan untuk tidak lagi berhubungan apapun dengannya.
Beberapa saat kemudian, Wina dan Aleysa muncul, seperti bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi.
"Selly, kamu baik-baik saja?" tanya Wina penuh perhatian.
Aku menatapnya dan mengangguk pelan.
"Aku baik-baik saja, Win
Aku sudah memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengannya. Aku nggak bisa terus-terusan seperti ini. Tapi, aku juga nggak bisa bohong kalau perasaan ini masih sama.""Perlahan, Sel. Nanti juga akan terbiasa. " jawab Aleysa sembari mengelus pundakku.
Wina tersenyum getir.
"Kamu kuat, Selly. Aku yakin kamu bisa melupakannya. Benar kata Eca, perlahan semua itu butuh waktu. Dan kamu berhak mendapatkan yang lebih baik darinya. Ayo fokus pada hal-hal yang membuatmu bahagia saja." Ujar Wina.
Aku menghela napas panjang, merasa beban di hatiku sedikit berkurang.
"Kuharap juga begitu."
"Makasih sudah selalu ada untukku. " Ucapku sembari merangkul mereka berdua.
Wina dan Aleysa memelukku erat.
"Kita selalu ada untukmu, Selly. Kita hadapi ini bersama."
Dengan dukungan mereka, aku merasa lebih kuat dan siap untuk melangkah ke depan. Meski luka ini masih menganga, aku yakin dengan seiringnya waktu, itu akan sembuh dengan bantuan mereka juga tentunya. Aku siap untuk menjalani hari-hariku dengan lebih baik, tanpa bayang-bayang Hangga yang menyakitkan.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
TERTINGGAL [TERBIT]
Teen FictionSellyana Anggrea, seorang santri putri di Pondok Pesantren Modern Al-Hasany. Kehidupannya berubah drastis setelah Andika Hangga Wijaya, peserta demontrasi Amtsilati yang menawan berasal dari kota khatulistiwa mengutarakan perasaannya. Perjalanan cin...