SWEET17

43 25 24
                                    

Hari Kamis pun tiba, hari di mana Hangga akan melaksanakan tasmi’ 17 juz sebagai kado ulang tahunku. Pagi itu, suasana pesantren terasa berbeda. Aku, Wina, dan Aleysa tampak antusias menunggu acara tasmi’ tersebut. Kami akan mendengarkannya dari balkon tahfidz, karena Hangga akan tasmi' di Masjid Jami' di pesantren. Aku berusaha terlihat acuh tak acuh, meskipun sebenarnya di dalam hati aku berdoa agar semuanya berjalan lancar.

Setelah shalat Dhuha, acara tasmi’ dimulai. Suaranya mengalun indah, melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur'an dengan khusyuk. Aku duduk di balkon tahfidz pondok putri, agar bisa mendengarkan suaranya lebih jelas.

Acara tasmi’ berjalan lancar dan penuh hikmat. Pukul 14.00 Hangga selesai membaca 17 juz bil ghoib. Mataku berkaca-kaca mendengar suara ustadz membacakan doa yang menyebut namaku. Aku tidak menyangka ada seseorang yang akan melakukan hal seperti itu demi aku.

Setelah acara selesai, Nana menghampiriku memberitahu bahwa Hangga menungguku di gerbang pondok putri. Aku pun menemuinya.

"Happy sweet seventeen, Baby. Maaf kadonya ngga semahal seperti orang-orang. Aku cuma bisa mempersembahkan 17 juz hafalanku supaya Allah selalu melimpahkan rahmat dan inayah-Nya padamu," katanya dengan senyum tulus.

"Terima kasih, Hangga. Bagiku ini lebih dari barang mahal," jawabku.

Kami berdiri dalam hening sejenak, menikmati momen tersebut. Aku merasa ada perubahan besar dalam diri Hangga, dan aku berharap perubahan itu akan terus berlanjut.

Sepanjang perjalanan kembali ke asrama, banyak santriwati yang kukenal mengucapkan selamat ulang tahun atau sekadar meledekku yang diberi kado 17 juz oleh Hangga. Ada juga yang mengucapkan selamat karena tasmi' 17 juz Hangga berjalan dengan lancar. Setelah sampai di asrama, Wina dan Aleysa langsung menyerbuku.

"Lihat kan, dia benar-benar berubah," ujar Aleysa.

"Ya, dan semoga perubahan itu tetap bertahan," jawab Wina dengan senyum penuh harapan.

"Kamu beruntung banget, Selly," ujar mereka berdua.

Selepas itu, kami merayakan ulang tahunku secara sederhana di asrama bersama para anggota lainnya.

"Ini buat kamu, Sel. Disimpan baik-baik. Aku belinya bukan pakai uang, tapi pakai rasa sayang sebagai teman. Hehe," ujar Aleysa sembari menyerahkan sebuah kotak bingkisan berwarna merah.

Aku menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih, Ca. Padahal gak perlu repot begini juga gak apa-apa," ucapku.

"Ini juga dariku, tapi aku bukan membelinya. Ini made in Wina ya, dibuat dengan rasa cintahh, ihirr," ujar Wina sembari menyerahkan sebuah paper bag berwarna abu-abu.

Aku pun menerimanya, dan memeluk mereka berdua. "Terima kasih, kata terima kasih saja menurutku tidak sebanding dengan kebaikan kalian selama ini," ucapku tulus.

"You're welcome, Selly," jawab Aleysa sembari mengusap punggungku.

"Ayo dibuka dulu," ucap Wina, dan kami pun melepaskan pelukan itu.

Aku mulai membuka kado dari Aleysa terlebih dahulu, yang berisi sebuah boneka kucing berwarna coklat, sesuai kesukaanku. Beberapa pekan lalu aku bilang pada mereka bahwa ingin sekali membeli boneka kucing yang lucu, tapi belum kesampaian karena belum dibolehkan keluar belanja bulanan ke Alfamart dan sekitarnya pada bulan ini. Ternyata, Aleysa masih mengingatnya dan membelikannya untukku.

"Wah, terima kasih. Kamu masih ingat rupanya," ucapku pada Aleysa, yang dibalasi dengan senyuman indah olehnya.

Aku pun mulai membuka paper bag dari Wina, berisi sebuah bantal berwarna merah dengan desain lucu dan lembut. Wina memang multi talenta. Dia bisa menggambar dan melukis, dia pandai menyusun aksara, dan dia juga bisa menjahit. Bukankah terlalu sempurna, ditambah dengan wajahnya yang cantik jelita? Pria manapun pasti tertarik padanya. Tapi sayangnya dia memilih untuk sendiri saja.

"Terima kasih, Win."

"Sama-sama. Sebenarnya aku memberikan itu karena kamu suka tidur, hehe," ujar Wina.

Asemm. Dia kira cuma aku saja yang suka tidur, padahal Aleysa pun sama, atau bahkan lebih parah.

Teman-teman kamarku lainnya juga banyak yang memberiku hadiah, seperti jam tangan, kerudung, rubik, jajanan, dan lain-lain.

Malam itu aku tutup dengan sangat bahagia dan lelah.

---

Beberapa minggu berlalu, Hangga semakin menunjukkan kesungguhan hatinya. Hubungan kami pun menjadi lebih baik, meskipun tetap menjaga batasan. Gosip waktu itu perlahan mereda, dan orang-orang mulai melihat ketulusanku pada Hangga maupun sebaliknya.

Hari-hari di pesantren kembali tenang. Aku merasa lebih kuat menghadapi setiap cobaan. Perjalanan ini mengajarkanku banyak hal tentang kesabaran, keikhlasan, dan pentingnya memberi kesempatan kedua. Dan di atas semua itu, aku belajar bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk berubah dan menjadi lebih baik, asalkan ada niat dan usaha yang tulus.

---

TERTINGGAL [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang