MENGHILANG

42 33 24
                                    

Hari Senin tiba, hari pemberangkatan peserta lomba Musabaqah Fahmil Quran (MFQ) delegasi Pondok Pesantren Modern Al-Hasany. Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun dan bersiap-siap. Rencananya, mereka akan berangkat jam 8 pagi. Aku harus segera menemui Anisa sebelum dia berangkat.

Suasana di asrama sudah ramai dengan para santri yang sibuk mempersiapkan barang-barang mereka. Aku melihat Anisa sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

"Anisa!" panggilku sambil berjalan ke arahnya.

Anisa menoleh dan tersenyum, "Hai, mbak Sel! Ada apa?"

"Ada yang ingin kuomongin sama kamu. " ucapku ragu.

"kenapa? Bicaralah! "

"Aku mau menitipkan salam untuk Hangga. Tolong sampaikan ya, dan bilang padanya agar menjaga diri baik-baik di kota," kataku.

"What? Kamu ada hubungan sama kang Hangga, mbak? Aku baru tahu, ehemm perhatian banget sih sampai titip salam segala. " ledeknya

"Ahaha, kita cuma teman kok. Tolong banget ya sampaikan. "

"Tentu, mbak Sel. Pasti kusampaikan," jawab Anisa sambil tersenyum.

"Dan satu lagi, Nis. Aku minta tolong untuk selalu mengawasi Hangga selama di kota. Kalau ada apa-apa, tolong segera kabari aku, ya," pintaku dengan nada serius.

Anisa mengangguk. "Tenang saja, mbak Sel. Aku akan selalu mengawasi kang Hangga dan segera memberitahumu kalau ada sesuatu."

"Terima kasih banyak, Nis. Semoga kalian semua berhasil dan membawa pulang kemenangan," kataku sambil memeluknya.

"Terima kasih, mbak Sel. Doakan kami, ya," jawab Anisa sambil membalas pelukanku.

Setelah itu, aku mengantar Anisa hingga ke gerbang pondok. Di sana, sudah berkumpul banyak santri yang ikut mengantar  keberangkatan peserta MFQ. Suasana penuh semangat dan antusiasme. Aku melihat Hangga di antara para peserta delegasi dari pondok putra, sedang berbincang dengan teman-temannya. Saat matanya bertemu dengan mataku, dia tersenyum dan melambaikan tangan.

Aku membalas senyum dan lambaian tangannya, meskipun dalam hati masih ada sedikit keraguan. Namun, aku berusaha menguatkan diriku dan percaya pada Hangga.

Ustadzah Rania kemudian memimpin doa bersama sebelum keberangkatan. Setelah itu, para peserta lomba naik ke dalam mobil. Aku berdiri di tepi jalan, melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meninggalkan pondok.

Saat mobil sudah tidak terlihat lagi, aku kembali ke asrama dengan perasaan campur aduk. Namun, ada sedikit rasa lega karena telah menitipkan pesan dan salamku melalui Anisa. Kini, yang bisa kulakukan adalah berdoa dan menunggu kabar dari mereka.

---

Delapan hari sudah berlalu sejak keberangkatan peserta Musabaqah Fahmil Quran (MFQ). Setiap kali ada waktu luang, Anisa selalu setia mengabariku tentang kegiatan Hangga. Hangga sendiri hanya beberapa kali mengirim pesan, sering kali hanya untuk mengatakan betapa sibuknya dia. Meskipun Anisa selalu memberikan informasi detail tentang apa yang dilakukan Hangga, aku tetap merasa Hangga seharusnya bisa meluangkan sedikit waktu untuk sekadar menyapa.

Rasa khawatir dan keraguan semakin hari semakin kuat. Apakah Hangga memang sebegitu sibuknya atau ada alasan lain di balik sikapnya yang semakin jauh? Setiap kali aku bertukar pesan dengan Anisa, aku berusaha mencari jawaban. Aku tahu Anisa tidak berbohong, tetapi entah mengapa aku masih merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Pagi itu, saat sedang mengerjakan tugas sekolah daring, sebuah pesan dari Hangga masuk.

Hangga AW

Maaf aku sibuk.

Pesan itu singkat, tapi cukup membuat hatiku teriris, mengingat setiap pesan laporan yang selalu anisa kirimkan tentang kegiatan Hangga selama di kota bahwa ia tidak sesibuk yang Hangga katakan, namun mengirimiku pesan saja sudah tidak pernah. Aku tak segera membalas, mengabaikan pesannya mengendap begitu saja.

Namun, saat itu juga, pesan dari Anisa masuk,

Anisa R

“Hangga sedang ada di kamar hotelnya, Mbak Sel. Sejak pagi tadi kami tidak ada kegiatan apapun. Bahkan sejak kemarin, karena lombanya sudah selesai. Lusa kami akan pulang.”

Pesan ini membuatku berpikir lagi. Jika Hangga sedang istirahat, kenapa dia tidak sempat mengirim pesan lebih panjang?

Hari berikutnya, rasa penasaran semakin tak tertahankan. Aku memutuskan untuk menelepon Anisa.

“Nis, aku merasa ada yang aneh. Hangga tidak pernah mengabariku, dia selalu bilang sibuk. Padahal dulu dia akan marah jika tidak mendapat kabar dariku barang satu jam saja.” Jelasku langsung.

Anisa terdiam sejenak sebelum menjawab.

“Benarkah? Apa sebelumnya kalian ada masalah? Aku sering melihat Hangga bermain ponsel tapi aku tidak tahu dia sedang apa. Aku juga sering menanyakan persoalan lomba yang tidak kutahu kepadanya, dan dia selalu menjawab pertanyaanku.” Jelas Anisa.

Perkataannya membuat hatiku semakin teriris.

“Ah yasudah terimakasih, Nis. Mungkin dia sudah bosan, lagi pula kami cuma teman, mungkin hanya aku yang terlalu menganggapnya serius.” ucapku.

Jangan bicara seperti itu, Mbak. Nanti akan kucoba cari tahu, ya. jawab Anisa dengan nada serius.

"Tidak, tidak usah Nis. Terimakasih atas bantuannya selama ini. Aku tutup dulu ya, Assalamualaikum. " Aku segera menutup panggilan kami.

---

Sore harinya, Anisa mengirim pesan.

Anisa R

“Mbak Sel, malam nanti Hangga mau keluar sama teman temannya.”

Lagi lagi, hatiku terasa teriris. Bagaimana bisa dia seolah baik baik saja tanpa mengabariku sedangkan aku disini selalu memikirkannya? Aku tak membalas pesan Anisa, lebih memilih mengabaikannya. "Benar benar sudah lupa ya? Oke aku tidak akan berharap lebih lagi. " Ucapku dalam hati.

Dengan tekad yang bulat, aku memutuskan untuk tidak lagi berharap lebih, mungkin aku akan berusaha melupakan perasaan yang sudah mulai tumbuh ini. Karena menurutku, sibuk itu alasan, semua bergantung prioritas.

---

TERTINGGAL [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang