"Kita adalah sebuah ketidak sengajaan; bertemu, kenal, lalu saling jatuh suka. Dan tidak ada sedikit pun penyesalan akan ketidak sengajaan itu."
- Sellya
***
"Cie-cie, kasmaran nih," goda Wina sambil tersenyum, membuat wajahku memanas karena malu.
"Wina, nggak jelas banget deh," ucapku, merasa sedikit gugup dengan komentar Wina.
"Halah, yang jelas kan cuma Hangga," ledeknya dengan nada keras, membuatku menepuk bahunya pelan, khawatir Hangga mendengarnya.
"Udahlah, Win, ayo balik ke asrama. Udah jam setengah 9 nih," ujarku, melihat jam dinding di maqbaroh kiai.
"Yaudah, yuk balik. Tapi nanti jam 9 ke kedai ya, aku lagi pengen pentol," ucap Wina.
Kami pun kembali ke asrama, mengambil jalur belakang agar tidak terlihat oleh pengurus. Kami berjalan perlahan, menghindari sorotan lampu dan pandangan orang orang sekitar. Setelah melewati jalur belakang yang menegangkan, kami tiba di kamar masing-masing. Segera kami ganti pakaian ma'had dan merapikan kitab yang tadi kami bawa, meskipun pada akhirnya tidak kami kaji.
Kring.. kring... kring..
Bel pulang sudah berbunyi, santriwati berhamburan kembali ke asrama masing-masing. Terdengar suara riuh mereka berebut naik tangga, ingin sampai lebih dulu ke kamar, membuat kemacetan dan antre panjang di bawah tangga menuju lantai dua.
Kulihat Wina sudah menunggu di depan kamarku, siap mengajakku ke kedai. Di kedai, kami bisa bertemu santri putra karena kedai itu umum bagi kami semua. Yang menjaga kedai adalah mbak-mbak khodimah yang diutus langsung oleh ibu nyai. Di sana, kami bisa memilih banyak menu jajanan dan minuman dengan harga terjangkau, mulai dari 1000 rupiah.
Aku keluar dari kamar dengan pakaian rapi. Kami berdua melangkah menuju kedai. Aku yakin kita adalah pelanggan pertama yang datang malam ini karena santriwati lainnya masih sibuk mengganti seragam ma'had atau bahkan masih antre di tangga. Kami memilih jalur belakang lagi yang memang jarang dilewati mbak-mbak santri karena tangga yang dekat dengan tempat sampah juga pencahayaan lampu yang temaram.
Saat kami sampai di kedai, masih sepi, hanya ada mbak-mbak khodimah yang bertugas. Kami memesan jajanan yang kami inginkan. Tak lama kemudian, dua orang santri putra yang berlalu lalang melewati kedai. Aku yang memang tidak terlalu jelas penglihatan saat itu tidak mengenal mereka. Namun, beberapa saat kemudian, kulihat salah satunya melemparkan senyum pada kami. Aku tidak yakin senyum itu untuk siapa.
"Cie, dia senyum ke kamu, loh," goda Wina sambil menyenggol lenganku dengan senyum meledeknya karena ternyata dua orang santri putra itu salah satunya merupakan Hangga.
"Aduh, jangan diliat terus-terusan, Sell," tegur Wina membuat pipiku memanas.
"Siapa yang lihatin sih? Enggak, kok," bantahku, berusaha menyembunyikan perasaan salah tingkahku.
"Ini pesanannya udah siap," ucap mbak-mbak khodimah sambil menyerahkan pesanan kami.
"Terima kasih, mbak," ucap kami berdua serempak, lalu kami mengambil pesanan kami.
Setelah mengambil pesanan kami, kami melangkah keluar dari kedai dengan jajanan kami di tangan. Langit malam yang cerah memancarkan cahaya bulan yang lembut, menciptakan suasana yang tenang di sekitar pondok.
Tiba-tiba, aku melihat Hangga berdiri di dekat maqbaroh, membawa Al-Quran hijau di tangannya. Jantungku berdegup kencang. Aku merasa gemetar.
Saat jarak kami semakin dekat, Hangga melemparkan senyum
"Apakabar, Selly?" tanya hangga
Aku terkejut, seolah Wina tiba-tiba menghilang dari pandangan karena hangga hanya menanyakan kabarku saja.
"Baik, Hangga," jawabku sekenanya karena dalam hati aku merasa canggung.
"Kalau ada apa-apa, bilang aku ya. Jangan sungkan," ucap Hangga sambil tersenyum hangat.
"Ehem, ada orang di sini, bang," potong Wina dengan nada jenaka, membuat Hangga tertawa.
"Siapa dia?" tanya Hangga padaku, sebelum aku sempat menjawab, Wina langsung menjawab dengan cepat.
"Ini Wina Utami, teman paling cantiknya Selly sejagat raya," ujarnya sambil tersenyum, membuatku spontan menoyor kepalanya.
"Haha, jadi kamu teman paling cantiknya Selly ya? Oke, salam kenal, Wina. Ini Hangga," jawab Hangga sambil terkekeh, merespons ucapan Wina sebelumnya.
Wina menggelengkan kepala dengan ekspresi jenaka, "Jadi nih, belum selesai juga ya ngobrolnya? Aku mau balik duluan kalo belum," ucapnya sambil mempermainkan ekspresi wajahnya.
"Udah kok, ya kan, ngga? Kami balik dulu ya," ucapku sambil menyeret tangan Wina menjauh dari sana. Kami pun bergegas kembali ke asrama.
"Aduh, Sel, kok main tarik-tarik gini sih, sakit tau," keluh Wina setelah kami sudah menjauh dari tempat Hangga berada.
"Ya maap, kan biar cepet-cepet pergi dari sana. Makasih ya, kalo kamu ga bilang gitu, pasti aku ga bakal tau gimana caranya pergi dari sana," ucapku.
"Santai kali, Sel. Aku dah liat ekspresi ga nyaman kamu, terus aku takut ada yang lihat juga jadi menghindari itu semua sih," jelas Wina, membuatku merasa lega
Saat kami menikmati jajanan di balkon asrama, Wina dan aku mulai bercerita random tentang berbagai hal yang kami lalui dari pagi sampai malam hari ini.
"Win, tadi pagi aku hampir telat tauu kelas hadits, pengajarnya ustadz imam lagi. Tau ga kenapa?" aku memulai cerita dengan penuh semangat.
"Kenapa, Sel?" tanya wina seolah tertarik mendengar ceritaku
"kemaren malem aku kan ga tahajud ya, abisnya sih yang obrakan kemaren tuh mbak uswah keamanan. dia gak bangunin aku tauu. jadinya pas ada catetan tuh kan ustadzah tsamro ya yang nyatet, aku dicatet dong sama dia. akhirnya aku di takzir deh di lapangan belakang. ngeselin banget" ujarku dengan ekspresi kesal.
"Aduh, sumpah ya emang kalo yang ngobrak itu mbak uswah gak enak banget, dia itu nggopoh juga orangnya. jadi males banget." jawab Wina menimpali.
"nah makanya, ya meskipun biasanya aku jarang tahajud sih tapi kan seenggaknya biar aku antisipasi kalau ada catetan ya. " ujarku.
"iya cuii, mana aku juga pernah telat sekolah gara gara takziran yang ustadzah tsamro kasih tu ga masuk akal banget sumpah." ucap wina dengan perasaan menggebu gebu.
"nah kan, untungnya juga aku tuh tadi pas ditakzir gak ada hangga. kalau hangga tau kan aku malu cuii. " ujarku sembari tertawa.
"eh bejir, bisa kepikiran gitu kamu yaa. " ucap wina
"iyalah Win, aku takut Hangga tau soalnya yang dia taunya tuh aku santriwati yang rajin dan alim, hehe. "
"eh bejir, gatau aja dia kalau Selly itu sengklek otaknya. " ucap Wina spontan kuhadiahi dia cubitan manis di tangannya.
"dari pada kamu otak mesum, wlee. " jawabku tak terima.
"heh, aku kan diajarin kamu ogebb." ucap Wina tak terima sembari menoyor kepalaku.
Kami berdua terus bercerita dan tertawa, mengobrol tentang hal-hal yang sederhana tapi bisa membuat kami bahagia. Suasana malam yang tenang membuat percakapan kami semakin hangat dan menyenangkan.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
TERTINGGAL [TERBIT]
Teen FictionSellyana Anggrea, seorang santri putri di Pondok Pesantren Modern Al-Hasany. Kehidupannya berubah drastis setelah Andika Hangga Wijaya, peserta demontrasi Amtsilati yang menawan berasal dari kota khatulistiwa mengutarakan perasaannya. Perjalanan cin...