"Kamu sudah gila ya, Sel?" Kesal Wina, menatapku tajam.
"Sabar Win, Selly berhak memilih dan kita patutnya mendukung saja," ujar Aleysa sambil mengusap punggung Wina, berusaha menenangkannya.
"Sabar... sabar... persetan sama sabar. Kamu nggak tahu aja Ca kalau Hangga itu sebenarnya selama seminggu ini bukan sibuk, tapi lagi cari cara peluang buat chatting-an sama Anisa. Yang namanya mendua itu nggak bisa disembuhin, Selly, kecuali kamu siap buat tersakiti lagi," kelakar Wina dengan nada yang semakin meninggi.
"Shit!" umpat Aleysa, sesuatu yang jarang keluar dari mulutnya.
Aku merasa terguncang mendengar semua ini. Sosok Aleysa yang alim dan tidak pernah mengucapkan kata kotor pun sampai mengumpat kali ini. "Aku nggak enak buat nolak permintaan Mamanya, Win," bela ku dengan suara yang semakin lemah.
"Nggak, Win, kamu nerima Hangga lagi bukan karena itu saja. Pasti karena kamu masih sayang sama dia, kan? Plis jangan goblok jadi cewek," ujar Wina semakin berapi-api, tatapannya tajam menusukku.
"Sel, aku akan dukung apapun keputusan kamu. Tapi tidak untuk kali ini. Jika kamu sudah memutuskan untuk memberikan kesempatan kedua untuknya, silakan. Tapi ingat, setiap pilihan itu pasti akan ada resikonya," nasihat Aleysa, suaranya lebih lembut namun tegas.
"Halah udahlah, aku kecewa sama kamu, Sel," ucap Wina sembari berlalu pergi meninggalkanku dan Aleysa.
"Aku pergi dulu, ya. Maaf aku kecewa sama keputusan yang kamu ambil kali ini," jelas Aleysa dengan raut wajah sendunya sebelum menyusul Wina.
Aku terduduk di lantai kamar, sendiri setelah mereka berdua meninggalkanku. Aku takut kehilangan mereka, tapi aku tidak mau kehilangan Hangga juga. Selama tiga tahun di pesantren, kami tidak pernah setegang ini. Tapi sekarang? Hanya karena masalah Hangga mereka seperti itu. Atau mungkin mereka begitu mempedulikanku hingga begitu?
Malam itu, aku merenung sendiri di Aula Tahfidz. Perasaan bersalah dan kebingungan bercampur aduk dalam pikiranku. Aku tahu keputusan ini berisiko, tapi aku juga tahu bahwa aku harus mengikuti kata hatiku. Aku berharap Hangga bisa benar-benar berubah dan membuktikan bahwa dia layak mendapatkan kesempatan kedua ini.
Keesokan harinya, aku mencoba untuk tidak memikirkan masalah ini terlalu dalam. Aku menjalani rutinitas seperti biasa, meskipun perasaan berat masih menghimpit hati. Ketika waktu istirahat tiba, aku melihat Aleysa di sudut kamar sedang membaca buku.
"Aleysa," panggilku pelan.
Dia menoleh dan tersenyum tipis. "Ada apa, Sel?"
"Aku ingin minta maaf kalau keputusanku membuat kalian kecewa. Aku tahu kalian hanya ingin yang terbaik untukku," kataku dengan suara penuh penyesalan.
Aleysa menutup bukunya dan menatapku lembut.
"Kami hanya khawatir, Sel. Kami nggak mau kamu terluka lagi. Tapi kalau kamu memang yakin dengan keputusanmu, aku akan tetap ada untukmu."
Aku mengangguk, merasa sedikit lega mendengar kata-katanya.
"Terima kasih, Aleysa."
Wina masih menghindariku sepanjang hari itu. Aku tahu dia butuh waktu untuk menerima keputusanku. Aku berharap dia bisa mengerti dan memaafkanku.
Hari-hari berlalu dengan penuh kegelisahan. Aku terus menjalani rutinitas pesantren sambil mencoba meyakinkan diriku bahwa keputusan ini adalah yang terbaik. Meskipun berat, aku berusaha untuk tetap kuat dan percaya bahwa cinta dan kesempatan kedua bisa membawa perubahan yang lebih baik.
Suatu sore, ketika aku sedang sendirian di rooftop pesantren, Wina datang dan duduk di sampingku. Kami terdiam sejenak, membiarkan keheningan berbicara.
"Aku masih marah, Sel," katanya akhirnya, suaranya terdengar lembut tapi tegas.
"Aku tahu, Win. Aku minta maaf," jawabku pelan.
"Aku hanya nggak mau lihat kamu terluka lagi, aku nggak mau kamu di dua-in lagi." lanjutnya, matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku juga nggak mau terluka lagi, Win. Tapi aku harus mencoba. Kalau Hangga benar-benar ingin berubah, aku harus memberi dia kesempatan untuk membuktikannya," kataku dengan suara penuh harap.
Wina menarik napas dalam-dalam dan mengangguk.
"Oke. Aku akan mendukung apapun keputusanmu, Sel. Tapi kalau dia menyakitimu lagi, aku nggak akan tinggal diam." Ucap Wina dengan raut wajah terpaksa
Aku tersenyum dan merangkulnya erat.
"Terima kasih, Win. Kamu sahabat terbaikku."
Dengan dukungan sahabat-sahabatku, aku merasa lebih kuat untuk menghadapi semua ini. Meskipun jalan di depan mungkin akan ada tantangan, aku percaya bahwa dengan dukungan teman, aku bisa melewati semuanya.
Hari-hari berlalu dengan suasana yang sedikit lebih baik. Wina dan Aleysa mulai menerima keputusanku meskipun mereka masih merasa khawatir. Kami bertiga berusaha kembali menjalani hari-hari di pesantren seperti biasa. Namun, di balik kebersamaan kami, aku tahu bahwa mereka tetap waspada terhadap perkembangan hubunganku dengan Hangga.
Suatu hari, saat kami sedang berkumpul di aula pesantren untuk acara muhadloroh, aku mendapat surat dari Hangga. Ternyata dia mengirimkannya melalui Anisa. Aku membuka surat itu dengan hati-hati, khawatir akan isi pesannya.
"Selly,
Aku tahu ini mungkin bukan cara terbaik untuk menyampaikan perasaanku, tapi aku benar-benar ingin kamu tahu bahwa aku menyesal atas semua yang terjadi kemarin kemarin. Aku telah berbuat salah dan aku berjanji akan berubah. Aku akan membuktikan bahwa aku layak mendapatkan kesempatan kedua ini.Terimakasih atas kemurahan hatimu, Sel.
Aku harap kamu bisa memberikan aku waktu dan kesempatan untuk membuktikan semuanya.
-Salam sayang, Hangga"
Aku merasakan campuran antara harapan dan keraguan. Surat itu aku tunjukkan kepada Aleysa dan Wina. Mereka membaca dengan seksama, ekspresi mereka sulit diterjemahkan.
"Aku masih nggak percaya sama dia, Sel," ujar Wina dengan suara ketus.
"Aku juga masih ragu, kita lihat kedepannya saja, apakah dia benar benar serius untuk berubah atau hanya omong kosong semata." Tambah Aleysa.
Aku mengangguk, merasa dukungan mereka menguatkanku.
"Aku juga masih ingin melihat perubahan nyata darinya."
Hari-hari berlalu dan aku terus mengamati setiap perhatian Hangga melalui surat-surat atau bahkan makanan yang dikirimkannya. Perlahan tapi pasti, aku mulai melihat perubahan dalam dirinya. Hangga menjadi lebih terbuka, jujur , dan perhatian. Bahkan sering kali meminta pendapatku untuk hal hal yang menurutku receh.
Meskipun belum sepenuhnya pulih dari rasa ragu dan sakit hati, aku merasa bahwa Hangga sedang berusaha keras untuk membuktikan bahwa dia benar-benar berubah. Dan dengan dukungan sahabat-sahabat terbaikku, aku percaya bahwa aku bisa melewati semua ini, apapun yang terjadi.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
TERTINGGAL [TERBIT]
Teen FictionSellyana Anggrea, seorang santri putri di Pondok Pesantren Modern Al-Hasany. Kehidupannya berubah drastis setelah Andika Hangga Wijaya, peserta demontrasi Amtsilati yang menawan berasal dari kota khatulistiwa mengutarakan perasaannya. Perjalanan cin...