Keesokan harinya, aku masih merasa berat untuk berbaur dengan orang banyak. Karena itu, aku memutuskan untuk absen dari kelas daring. Setelah selesai sarapan bersama teman sekamarku, aku menuju ke kamar mandi. Pagi-pagi seperti ini biasanya tidak banyak santri yang mandi, jadi aku bisa menikmati waktu sendirian tanpa harus antre.
Saat aku selesai mandi, tiba-tiba terdengar pengumuman dari mikrofon pondok yang meminta semua santri berkumpul di halaman pesantren tanpa terkecuali, termasuk para siswa yang belajar secara daring. Jantungku berdebar kencang mendengar pengumuman itu. Tumben sekali ustadzah mengumumkan hal seperti ini.
Aku bergegas mengganti pakaian dan menuju ke halaman pesantren. Para santri sudah berkumpul dengan tertib, dan suasana terasa penuh antisipasi. Ustadzah Rania, salah satu pengajar yang disegani, berdiri di depan mikrofon.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," sapa Ustadzah Rania dengan senyum lembut.
"Hari ini kita akan mengumumkan santriwati yang akan menjadi delegasi peserta lomba Musabaqah Fahmil Quran (MFQ) putri di kota."
Aku berdiri di antara kerumunan, berusaha tetap tenang. Ternyata, ini bukan pengumuman yang menakutkan seperti yang aku bayangkan.
"Santriwati yang terpilih mewakili Pondok Pesantren Modern Al-Hasany Puteri diantaranya; Annisa Ramadani dan Dwi Sahara.
" lanjut Ustadzah Rania.Tepuk tangan riuh terdengar dari seluruh santri. Anisa merupakan teman se-kamarku, sekolah formal dan madinnya dia adalah adik kelas atau adik tingkatku. Anisa yang berdiri di sebelahku tampak terkejut dan senang. Aku segera memberikan selamat padanya.
"Selamat, Nis!" kataku dengan tulus.
"Terima kasih, mbak Selly." jawab Anisa dengan wajah berseri-seri.
Setelah pengumuman selesai, para santri mulai bubar. Aku kembali ke kamarku, merasa sedikit lebih lega karena pengumuman ustadzah tersebut bukan hal yang buruk.
Di kamar, Anisa dan aku duduk bersama membicarakan persiapannya untuk lomba.
"Jadi kapan kamu akan berangkat ke kota untuk lomba, Nis?" tanyaku.
"senin besok mungkin, Sel. "
"Semangat ya, aku yakin kamu bisa memberikan yang terbaik. " kataku.
Anisa tersenyum, "Terima kasih, Sel. Aku akan berusaha sebaik mungkin."
Kami berbicara panjang lebar tentang rencana Anisa dan bagaimana dia akan mempersiapkan diri. Diskusi ini membuatku lupa sejenak dengan masalah yang kuhadapi, dan aku merasa lebih tenang.
Namun, perasaan cemas kembali muncul ketika Wina tiba tiba menghampiriku. Dan ia tiba tiba membisikkan sesuatu padaku.
"Di maqbarah kiai ada Hangga, dia pengen ketemu. " Bisiknya.
"Lalu aku harus gimana? " Tanyaku.
"Temuilah sebentar, aku akan menemanimu. " ujarnya.
"oke." Jawabku.
Setelah mendengar bisikan Wina, jantungku berdebar kencang. Rasa penasaran bercampur cemas memenuhi pikiranku. Aku memutuskan untuk menemui Hangga, meskipun risikonya cukup besar jika sampai ketahuan pengurus pesantren.
Aku dan Wina berjalan menuju maqbarah kiai dengan langkah hati-hati, berusaha untuk tidak menarik perhatian. Tempat itu biasanya sepi, sehingga kami berharap bisa bertemu Hangga tanpa diketahui orang lain. Setibanya di sana, kami melihat Hangga sedang duduk di maqbaroh kiai.
"Assalamu'alaikum," sapa kami ketika sudah mendekat.
"Wa'alaikumussalam," jawab Hangga sambil menundukkan pandangan, dan Wina yang tetap berjaga di dekat kami sembari mengawasi keadaan sekitar.
KAMU SEDANG MEMBACA
TERTINGGAL [TERBIT]
Teen FictionSellyana Anggrea, seorang santri putri di Pondok Pesantren Modern Al-Hasany. Kehidupannya berubah drastis setelah Andika Hangga Wijaya, peserta demontrasi Amtsilati yang menawan berasal dari kota khatulistiwa mengutarakan perasaannya. Perjalanan cin...