Flashback on
"Sumpah, dia keren banget, guys!" seru Alesya dengan antusias.
"Ck, apa-apaan, sih, Ca? Biasa aja," protesku, merasa tanggapan Alesya terlalu berlebihan.
"Tau tuh Eca, biasa aja kali." timpal Wina, seolah membenarkan asumsiku.
"Whatt? Biasa aja menurut kalian? Dia lagi demonstrasi dan bisa menjawab semua pertanyaan ustadz dengan lugas dan jelas di depan santriwati. Itu sebuah pencapaian luar biasa, tau!" jelas Alesya, seolah tidak terima dengan asumsi kami.
Aku sedikit jengah dengan tanggapan Alesya kali ini, yang menurutku terlalu berlebihan.
Hai, perkenalkan namaku Sellyana Anggrea, biasa dipanggil Selly. Aku seorang santriwati aktif di sebuah pesantren modern Al-Hasany. Saat ini aku tengah menginjak bangku kelas 11 SMA dan mengikuti program amtsilati; cara cepat membaca kitab kuning.
Begitupun dengan Wina Utami, atau biasa kami panggil Wina. Kami sama sama berada dalam program diniyah yang sama meski sekolah formal kami bukan angkatan yang sama. Dia duduk di bangku kelas 10 SMA, sedangkan temanku yang satunya lagi adalah Alesya Veronika, biasa kami panggil Eca. Dia adalah yang paling muda di antara kami, berumur 14 tahun dan duduk di bangku kelas 8 SMP, sedangkan diniyahnya masih Pra-Program Amtsilati.
Jangan heran jika kami tidak seumuran tapi bisa menjadi sangat dekat, karena inilah pesantren. Kami tidak pernah malu atau gengsi berbaur, berteman, bahkan bersahabat dengan adik kelas maupun kakak kelas. Tidak ada istilah senior junior, berbeda dengan sekolah sekolah pada umumnya yang masih sangat kental akan hal itu.
Kami dipertemukan secara tidak sengaja, entah hal konyol apa yang membuat kami bisa seakrab ini.
Hari ini adalah acara pertunjukan demonstrasi amtsilati putra yang akan ditonton oleh seluruh santriwati PPM Al Hasany, yang nantinya ustadz akan memberikan pertanyaan-pertanyaan dan mereka harus menjawabnya dengan jelas dan tepat. Demonstrasi ini sudah disiapkan sejak 2 bulan lalu untuk acara haflah imtihan wal ikhtibar yang sebentar lagi akan dilaksanakan di ponpes cabang, dihadiri langsung oleh pengarang kitab dan metode amtsilati sendiri, yang tak lain adalah Kiai Taufiqul Hakim, yang akan menyoal nantinya di acara tersebut.
Ini merupakan sebuah penghormatan bagi santri yang terpilih menjadi peserta demonstrasi amtsilati, juga yang diwisudahkan, karena beliau sendiri yang akan mewisudahkannya.
Seperti yang terjadi sekarang, santriwati dihebohkan dengan adanya salah satu peserta demonstrasi putra yang berasal dari kota Khatulistiwa.
Santri tersebut menurutku memiliki tinggi badan sekitar 170 cm, berkulit putih dengan kumis tipisnya, serta sorot mata tajam dan tubuh yang bertulang mentah.
Andika Hangga Wijaya namanya. Kata mbak mbak santri senior, dia masih baru tapi sudah diwisudahkan? Mungkin dia pintar, karena cara dia menyampaikan dan menjawab seluruh pertanyaan ustadz menurutku sangat bagus. Tapi, bukankah demonstrasi memang diajarkan dan dipersiapkan beberapa bulan lalu?
"Pokoknya, liburan nanti aku harus dapat nomornya Kang Hangga," Oceh Alesya lagi, yang masih menggebu gebu dengan nama kang-kang santri tadi.
"Iya, aku doain semoga dapat," jawabku sambil membuang napas, melihat kelakuan bocil satu ini.
"Bantuin lah, Sel. Kasian nih bocil," timpal Wina.
Alesya yang mendengar hal tersebut langsung menoleh dan memasang raut wajah berbinar binar, seolah menunjukkan puppy eyes.
"Apaan liat liat?" tanyaku sinis padanya.
"Ayo dong, Mbak Sel, bantuin Eca ya," bujuknya.
"Ngga janji deh, Ca. Kalau dapat, aku kasih deh," jawabku.
"Yeayyy, makasih, Mbak Selll."
"By the way, Sel, Kang santri yang kamu suka kan masih saudara jauhnya kang santri tadi. Bisa tuh kamu jadikan kang Hangga alasan buat deketin dia," ucap Wina, membuatku tak percaya akan pemikirannya. Bahkan aku pun tak sampai berpikir ke arah sana.
"Oh iya, benar, Win. Makasih ya, otak kamu encer juga ternyata. Ga sia sia aku memelihara hamster," ucapku yang diakhiri sebuah hadiah toyoran pada kepalaku oleh Wina karena sudah mengejeknya hamster. Sebenarnya bukan tanpa sebab aku mengolok oloknya dengan sebutan hamster, Wina dulu pernah merawat seekor hamster milik gus (anak pak kyai dan bu nyai) dan gus kami memanggilnya 'mbak hamster'.
Muhammad Alif Ramadhan, pria kelahiran 2001 yang berasal dari Pontianak, sudah lama menjadi pengisi ruang kekosongan di hatiku. Ah entahlah menurutku perasaan ini lebih tepatnya hanya sebuah rasa kagum kepadanya. Dia adalah kang Darbuka di pondok yang juga menjelma sebagai pembimbing Ekskul banjari putra. Kebetulan sekali Hangga, santri peserta demonstrasi amtsilati tersebut, juga berasal dari daerah yang sama, membuatku semakin bersemangat untuk mencari tahu lebih banyak tentang mereka.
Acara tanya jawab demonstrasi telah usai, tapi tidak dengan buah bibir santriwati yang selalu kudengar disetiap sudut pesantren, yang tengah menceritakan sosok Hangga. Yah, dalam sekejap, Hangga sudah diketahui dan memikat hati seluruh santriwati. Entahlah, tapi menurutku dan Wina, dia biasa saja, sama seperti kang santri pada umumnya.
Flashback Off
"Bahkan dulu, aku se begitu tidak menyukainya. Plot twist nya malah begini, huh," ujarku sembari membuang napas kasar.
"Memangnya siapa yang akan tahu masa depan, Sel?" tanya Wina.
"Mbah Mijan sama Mama Laurent," celetukku, membuat Wina menoyor kepalaku mendengar jawaban konyol yang keluar dari bibirku.
•••
"Kadang antara benci dan cinta itu sangat dekat jaraknya, sedekat jarak magrib ke isya'. "
rungkad.
-Sellyana Anggrea, Santriwati aktif di PPM Al Hasany (seseorang yang pernah ada di hatimu, seseorang yang pernah chat nya kau sematkan, seseorang yang fotonya pernah mampir digallerimu).
KAMU SEDANG MEMBACA
TERTINGGAL [TERBIT]
Teen FictionSellyana Anggrea, seorang santri putri di Pondok Pesantren Modern Al-Hasany. Kehidupannya berubah drastis setelah Andika Hangga Wijaya, peserta demontrasi Amtsilati yang menawan berasal dari kota khatulistiwa mengutarakan perasaannya. Perjalanan cin...