1. Project Gila

61 5 2
                                    

Radis melongo sesaat mendengarkan penjelasan dosen di depan kelasnya. Dia memijit pelipisnya pelan, gila saja 60 konten 2 bulan? Yang benar saja. Ah memikirkannya saja membuatnya muak dan ingin muntah. Apakah ini kerja rodi? Ini hampir liburan! 

Di sampingnya, Aini tengah mencatat dengan serius. Matanya bahkan tidak lepas dari kertas di depannya. Dia yakin telinga gadis itu pasti mendadak tuli akan gosip kampus hari ini. “Kenapa lu liatin gue kayak gitu?” tanya Aini tanpa mengalihkan pandangannya. 

“Heran aja, kok lo semangat? Jangan-jangan lo yang ngajuin project ini?” jawab radis dengan pertanyaan lagi. Bukan tanpa sebab Radia berkata seperti itu, sahabatnya ini kadang menjadi ular berbisa alias banyak bisanya. Kadang jika otaknya sedang bekerja, dia menjadi mahasiswa rajin dan menjawab semua pertanyaan dosen dengan benar. Dan ketika otaknya tidak bekerja, dia akan memilih menjadi sumber gosip kelas dan mata-mata asmara orang lain. Kadang, juga bisa menjadi sosok ketua geng atau ibu. Mentraktir teman-temannya, atau memarahi mereka tanpa alasan. 

Aini menaikkan sebelah alisnya mendengar pertanyaan Radis. “Gue masih sehat kali buat gak menantang maut. Gila aja gue ngajuin project ini.”

“Lagian uang Mas Dewa masih banyak yang harus gue porotin. Kasian ntar kalau gue innalillahi siapa yang mau ngabisin uangnya.” Ah Radis hampir lupa kalau sahabatnya ini sangat matre. Bukan. Realistis mungkin lebih tepatnya. Seperti gaya bahasa anak sekarang, ‘Tidak ada wanita yang matre, mereka hanya membuka matanya pada kebutuhan sehari-hari yang semakin mahal.’ 

Radis hanya menggelengkan kepalanya. Matanya kembali ke arah smartboard di depan kelasnya, Bang Jeje kembali berkomat-kamit menjelaskan tahapan project untuk kedepannya. Walau sedikit berat dia akhirnya mengeluarkan smartphonenya dan mencatat beberapa hal penting yang harus dia alami kedepannya. Entah bagaimana nasib liburannya semester ini? Haha mungkin tidak libur. Mungkin juga tidak tidur. 

“Terakhir, yang kelompoknya dapet golden reward, ga perlu ujian demo final project. Cukup ngadep saya aja sama serahin laporan. Cukup sekian dari saya. Ada pertanyaan?” Kalimat terakhir dari Bang Jeje membuat Radis sedikit lega, akhirnya kelas nerakanya berakhir. 

“Oke, kalau tidak ada saya tutup. Sekian dari saya, wassalamu'alaikum Wr. Wb.” 

“Waalaikumsalam wr. wb.” 

“Waalakumsalamm.”

Suasana kelas yang tadinya senyap, ramai kembali. Pasti setelah itu teman-teman kelasnya akan segera bergerumbul dan membicarakan tugas neraka bang jeje. Radis memilih bodo amat untuk sementara waktu. Otaknya tidak bisa berfikir, dominan memikirkan kenyalnya mie ayam Pak Somad. Dia segera memasukkan kembali smartphone dan kaca bedaknya. 

“Mau kemana Dis habis ini?” Nadia tiba-tiba sudah berdiri di depannya. 

“Makan. Gue laper, Nad. Otak gue ga bisa buat mikir sama sekali. Panass banget.” Jawab Radis sembari mengayun-ayunkan tangannya kearah wajahnya. Dia benar-benar kenapasan. Kepanasan tugas bang jeje. 

“Ikut dong. Boleh gak?” tanya Nadia. Radis hanya mengangguk dan langsung keluar kelas. Langkahnya terhenti, teringat, seperti ada sesuatu yang hilang? Apa? 

“Kenapa?” tanya nadia sembari memperhatikan wajah kebingungan Radis. 

“Gue kayak ketinggalan sesuatu, Nad. Tapi gatau apa.” jawabnya sembari mengorek orek isi tasnya. Handphone ada, dompet ada, stnk motor ada, buku catatan ada, pulpen ada, make up ada. Lalu apa lagi?

“Nih, foto crush lo.” ucap Aini dengan tangan yang masih mengambang diudara dengan membawa kertas polaroid ukuran 2r. Radis menerimanya dengan semangat. Ah hampir saja foto keramatnya hilang. Dia bahkan tidak ingat kapan dia mendapatkan foto tersebut. Apakah dia sendiri yang mencetaknya atau diberi orang lain. Sudah lama, lama sekali dia menyukai Fajar Arham. Lelaki berambut ikal dengan lesung pipi yang menghiasi wajahnya ketika tersenyum. Ah manis sekali, dia bahkan bisa membayangkan lesung pipi Arham saat ini. 

Finding Me, Arham! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang