“Enggak gitu, Nggi..” belum sempat Dika menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara seseorang.
“Ini permintaan anak teater sendiri, Nggi.” sela Raya selaku CO Acara.
Anggi diam dan mengalihkan pandangan ke arah Raya, dia berfikir sejenak. Karena Arham saat ini tidak bisa diandalkan. “Alasannya?” tanya Anggi kembali.
“Anak teater gak mau. Mereka bulan itu banyak event. Banyak undangan. Fisik mereka terbatas.” jelas Raya.
Anggi mengangguk paham, “Oke gue paham. Tapi tolong coba di lobi lagi anak teater. Mereka tetap mau manggil orang luar atau mereka sendiri yang ngisi. Gue bilang gini karena ini udah kaya tradisi anak sastra dari dulu. Talenta kita dipertaruhkan. Rasa percaya kita diuji. Dan yang pasti karena ini bulan kita, anak-anaknya juga harus dari kita sendiri.” pinta Anggi. “Gue gak memaksa, tapi tolong diusahain dulu. Dipikirin lagi.” lanjutnya.
Raya mengangguk dengan lesu. Kemarin saja sangat sulit untuk mengajak anak teater bicara apalagi membujuk mereka. Ingin dia mengundurkan diri sekarang. Tapi kalau itu terjadi Arham dan Anggi pasti akan mencincangnya. Huh, dia hanya bisa pasrah kali ini dan berdoa semoga anak teater bisa luluh.
“Oke terimakasih, Nggi atas masukannya.” ucap Dika sembari meletakkan bolpoin dan menutup buku kecilnya. Setelah itu perhatiannya beralih pada SC yang duduk di sebelah kirinya. Dia mempersilahkan SC untuk menanggapi konsep yang sudah dibuat. Kali ini para SC tidak terlalu bersuara, mereka setuju dengan konsep yang dibuat, mungkin karena konsepnya hampir mirip dengan acara tahun lalu. Hanya berbeda di pemain teaternya dan rangkain lombanya.
Setelah dirasa cukup, Dika menutup rapatnya. Arham bangkit dan keluar ruangan. Dia bergegas menuju kelasnya karena hari ini ada ujian matkul Filologi. Itulah alasannya memakai almamater hari ini.
Sesampainya di kelas, telinganya disambut suara ricuh teman-temannya. Beberapa belajar, beberapa ngobrol, dan beberapa memilih bermain game. Suasana yang sudah biasa ditemukan di kelasnya. Arham memilih duduk di bagian pojok. Hari ini kepalanya pusing, dia butuh rokok, tetapi Anggi malah merebutnya tadi. Dan sekarang tidak mungkin dia merokok, karena 10 menit lagi dosennya akan sampai. Dia pilih menelungkupkan kepalanya ke meja.
Belum genap 10 detik, suara seseorang menyapa gendang telinganya. “Ham, pinjem catetan Filologi, lo dong.” ucap suara yang tidak asing di telinganya. Sema.
Kepala Arham mendongak, dan melihat Sema tengah tersenyum manis kearahnya dengan tangan yang dia gunakan untuk menopang kepalanya.
“Lo salah kalau minta catetan sama gue, gue nyatetnya diotak bukan dibuku.” balas Arham dan kembali menelungkupkan kepalanya di lipatan tangannya.
Sema terlihat cemberut. “Yaudah kalau gitu gue duduk disini aja, biar nanti enak kalau minta contekan.” kata Sema dan melepaskan backpack kecil yang tadi menggantung di sebelah bahunya dan meletakkannya di meja. Dia memutuskan duduk disamping Arham.
Arham menghembuskan nafas kasar, terserah mau anak itu. Dia tidak terlalu mengambil pusing. Toh Dosen Filologinya pasti juga akan mengacak tempat duduknya. Jadi rengekan Sema tidak ada gunanya. Alih-alih meminta catatan kepadanya, seharusnya gadis itu memilih meminta catatan kepada Ali atau Ibra sang juara prodi, yang dapat dipastikan buku mereka penuh dengan coretan yang berguna untuk ujian Filologinya nanti.
Krett
Pintu kelas dibuka. Suara decitan dari gesekan besi dan lantai membuat Arham mendongak. Dosennya sudah berdiri disana. Bu Afi, melangkah mendekat menuju mejanya. Dia membawa setumpuk kertas dan backpack setengah terbuka yang disampirkan di bahu sebelah kanannya. Backpacknya berisi laptop.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Me, Arham!
General FictionRadis tidak tau mengapa perasaannya pada sosok Fajar Arham Ardani tidak pernah habis. Dua tahun lalu hingga sekarang. Dia ingat betul bahwa pertemuan pertamanya pada sosok Arham adalah ketidaksengajaan. Wajah Arham pada saat itu, beserta potongan ra...