“Radisss!”
Radis berjingkat dan menoleh, matanya meremang, berusaha melihat jelas tubuh seseorang yang berada agak jauh darinya. Tapi gagal, cahaya lampu motor orang tersebut terlalu menyorotnya, membuat kepalanya sedikit pusing. Lihat saja, akan dia pukul orang ini. Radis mengucek matanya perlahan, bayangan wajah seseorang mulai jelas. Aini. Bagaimana bisa manusia satu itu mengikutinya sampai kesini?
Aini datang dengan pakaian rapi. Kemeja biru tua dengan celana dan hijab coksu. Jangan lupakan flatshoes hitam andalannya. Rapi sekali anak ini, mau kemana sebenarnya? Bukankah malam ini seharusnya ketua project nya ini revisi proposal?
“Mau kemana, lo?” tanya Radis ketika Ainj sudah berada di depannya.
Aini hanya menampilkan cengirannya. “Sumpek gue dirumah, apalagi ngerjain proposalnya Bang Jeje. Jadi gue kasih ke Nadia aja. ”
Radis mengangguk paham. Dia tidak akan protes kali ini. Karena memang project Bang Jeje membuatnya gila. Toh siang tadi Nadia belum mendapat bagian, jadi biarlah malam ini Nadia yang pusing. “Trus sekarang lo mau kemana, kencan?” tambah Radis.
“Iya kencan. Tapi gue bagian jadi nyamuk. Soalnya yang kencan Mas Dewa sama Mbak Dila.”
Mendengar jawaban Aini, Radia semakin geleng-geleng kepala. Dasar manusia aneh. “Kalau yang kencan mereka, kenapa lo ikut tolol? Trus ini juga, pakaian lo rapi bener.”
Aini mengganti posisi sling bagnya menjadi ke samping, di bahu sebelah kanan. “Morotin Mas Dewa lah. Tadi kata Mbak Dila, Arika ngeluarin hijab versi terbaru, promo lagi. Jadi gue harus lengkapin koleksinya.” kata Aini dengan menggebu-gebu. Aini memang sangat hobi mengoleksi hijab-hijab bermerk, bahkan kalau sedang ada diskon, dia akan menjadi wonderwomen yang rela berdesakan dan berebut hijab dengan ibu-ibu. Radis membayangkan saja sudah pusing.
“Ehemm…” Pandu menginterupsi kedua perempuan yang sedang asik berbicara di depannya.
Radis menoleh, menyadari bahwa sedari tadi Pandu berdiri disana. “Eh iya, sebentar ya, Ndu.” kata Radis.
“Wahh siapa tu, Dis?” bisik Aini sembari melihat kearah Pandu yang sedang berdiri di depannya, di sebelah Radis.
“Temen orok gue.” kata Radis dan mulai memperkenalkan Pandu kepada Radis. “Lo mau langsung ke Arika, Ni?”
Aini mengangguk, “ Gue kalau milih lama soalnya. Lo juga tau sendirikan. Takut ditinggal pulang gue kalau kemaleman.”
“Tumben lo punya rasa takut.”
Aini hanya mencibir dan pamit kepada Radis dan Pandu. Sepeninggal Aini, Radis kembali menghampiri Pandu. Lelaki tersebut melipat kedua tangannya di dada, matanya fokus menatap Radis. Gadis itu berjalan lunglai kearahnya. Ada apa dengan manusia ini? Tiba-tiba saja lemah letih lesu? “Kenapa lo?” tanya Pandu.
“Enggak papa. Yuk langsung nyari mie ayam aja, Ndu.” jawab Radis dengan meraih helmnya dan mulai menaiki motor Pandu.
“Beneran lo?”
“Benerann. Udah deh jangan bawel lo. Cepet!” perintah Radis yang kemudian dituruti oleh Pandu.
Setelah kembali berkendara selama 5 menit akhirnya kami berhenti di warung mie ayam Pak Nanang atas rekomendasi dari Berta. Radis tadi sempat bertanya kepada Berta dimana tempat makan mie ayam yang enak kalau di alun-alun, dan Berta merekomendasikan warung ini. Dan benar, saat ini warung ini sangat ramai. Padahal sudah jam 20.30 WIB. Pandu memesan, sedang Radis sudah duduk manis di meja makan. Tadi dia kira warung ini adalah warung kecil yang dimana tempat duduknya hanya ada 4 kursi. Tapi ternyata salah, warung mie ayam ini besar, seperti warung makan di kota. Ada 7 meja yang berada di dalamnya. Dengan setiap meja berisi 4 buah kursi. Di sudut ruangan juga dilengkapi dengan tempat cuci tangan dan kaca yang besar. Daripada disebut warung, tempat ini lebih layak disebut restoran. Jangan lupakan warna tembok putih dengan ornamen batik diatasnya.
Tempat duduk di depannya di geser, Pandu datang dengan struk di tangannya. “Udah, Ndu?” tanya Radis.
“Tinggal nunggu, nanti dianterin katanya .” jawab Pandu dan diangguki oleh Radis.
“Kok gue baru tau ya ada warung ini? Perasaan kemarin-kemarin gaada.” ungkap Radis sembari melirik sekitarnya.
“Kemarin versi lo itu kapan?”
“Empat bulan lalu sih hehe..”
“Kata Berta sih ini warung baru. Kayaknya masih sebulan setengah lah.” jelas Pandu dan Radis mengangguk.
***
Hari ini adalah hari pengumuman project Bang Jeje yang ketiga kali. Radis menghembuskan nafas kasar, sekali lagi, ayo semangat, semoga ACC dan segera eksekusi konten. Karena teman-teman lainnya yang mendapat persetujuan sudah mulai membuat konten dari 2 hari yang lalu. Proposal yang pertama dan kedua kelompok mereka ditolak, kata Bang Jeje arah kontennya belum jelas. Juga karena konten yang akan dibawa akan terasa berat jika terus dikerjakan dalam 2 bulan dan akan kehabisan ide.
“Awas ya Jeje, kalau lo tolak lagi, gue santet beneran!” kata Runik dengan kedua tangan menggenggam erat dan mengayunkan kedepan. Radis reflek mundur kebelakang dengan proposal di tangannya.
“Galak amat, neng. Jangan serius-serius atuh.” celutuk Rio yang membuat Runik semakin kesal.
“Heh tolol, diem deh lo daripada gue pukul juga. Lo dari kemarin ga ngapain-ngapain ya, ikut buat proposal aja juga enggak. Cuman monat manut.” balas Runik dengan berapi-api.
Rio menatap heran Runik. “Kan jobdesk gue emang bukan itu. Gue kan ngedit, jadi ya wajar monat-manut aja. Gitu kan, Ni?” tanyanya pada Aini mencari pembenaran.
“Alasan lo, Yo. Bilang aja lo males.” tambah Citra.
“Enggak males, Cit. Lelaki itu kadang butuh banyak waktu lama untuk istirahat dan menyendiri karena dia tahu hidupnya akan serius.” ucap Zaki seperti motivator.
Aini yang melihat pertengkaran mereka berdua memijit pelipisnya. Memikirkan projectnya yang akan di ACC atau tidak saja sudah membuat kepalanya pusing, ditambah manusia-manusia ini. “Iya deh, terserah lo pada, gue pusing, mau ngasih proposal dulu. Mana, Dis?” pinta Aini. Radis memberikan proposalnya dan Aini segera pamit dan bergegas menemui Bang Jeje. Dia sudah muak ditolak terus ketika mengirim lewat e-mail. Temui langsung saja siapa tahu beruntung. Runik, Citra, Ayu, dan Uti mengikuti Aini.
“Tumben gak ngikut Aini lo, Dis.” ucap Zaki kearah Radis yang fokus dengan layar handphonenya.
“Enggak soalnya gue mau ada perlu sama seseorang. Lagian si ketua suku itu lagi stres banyak pikiran, saran gue jangan ganggu Aini si. Oh Runik, Citra sama Nadia juga, jangan ganggu mereka.”
“Banyak amat elahh.. trus kalau lo, ga ngikut stres sekalian?”
“Sedikit. Gue kan talent di project ini. Yang pusing itu ketua, script writer, sama data analis. Mereka butuh meyakinkan Bang Jeje kalau project ini bisa terlaksana sesuai ekspetasi.” terang Radis.
“Iya deh iya. Yaudah gue pamit dulu, mau ngikut Rio sama Rizki ngopi. Nanti kabarin aja kalau hasil proposalnya udah keluar.” pamit Zaki dengan mengulurkan sebelah tangannya pada Radis.
“Iya, sana-sana pergi lo.” setelah Zaki pergi, Radis bergegas pergi ke cafe Omah Waktu. Sesekali dia mengecek handphonenya sebelum berangkat, siapa tahu seseorang disana berubah pikiran. Merasa sudah tidak ada notifikasi yang masuk, dia segera berjalan ke parkiran dan berangkat.
Jantungnya berdetak dengan kencang, padahal dia baru sampai di halaman, belum masuk ke dalam. Bayangan akan mengobrol seperti apa, senyumannya seperti apa, dan suara lelaki itu membuat Dopamin dan Oksitosin di tubuhnya meningkat. Rasanya tubuhnya kembali bugar dan sehat padahal tadi sewaktu mengingat project Bang Jeje rasanya moodnya terjun bebas.
Memasuki area Omah Waktu, matanya mulai mengedar, mencari seseorang, siapa tahu sudah duduk di salah satu kursi. Tapi tidak ada. Mungkin belum datang. Dia segera memesan 1 matcha milk dan mencari tempat duduk. Radis mengeluarkan handphonenya, notifikasi dari seseorang menyambut matanya. Benar bukan? Orang itu berubah pikiran.
___________________
To Be Continue
Next Part ➡️➡️➡️
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Me, Arham!
General FictionRadis tidak tau mengapa perasaannya pada sosok Fajar Arham Ardani tidak pernah habis. Dua tahun lalu hingga sekarang. Dia ingat betul bahwa pertemuan pertamanya pada sosok Arham adalah ketidaksengajaan. Wajah Arham pada saat itu, beserta potongan ra...