2. Ketua Project

21 4 0
                                    

“Dek,” panggil seseorang di depannya tiba-tiba.

“Aaa..” teriak Radis terkejut karena ibunya tiba-tiba saja berada di depan pintu kamar mandi. 

“Apa, Bu?” tanyanya. 

“Nanti habis ngajarin anak anak les, bantuin ibu merekap nilai ya.” pinta ibunya dengan tersenyum. 

Radis menghela nafas kasar. Lagi. Dirinyalah yang harus mengalah. Jujur saja hari ini dirinya sangat lelah. Rencananya sehabis mengajar anak-anak les, dia akan tidur dan bangun besok agak sedikit siang. Tapi nyatanya itu hanya terjadi dalam angan-angannya. Bukan karena Radis tidak mau membantu ibunya, tapi anak ibunya ada 2, mengapa bukan kakaknya saja? Mengapa dari semua hal yang dikerjakan di rumah harus Radis? Mengapa waktu istirahatnya terbatas? Pertanyaan bernada kasar itu hanya mampu dia simpan. Dia tidak seberani itu untuk mengungkapkan isi hatinya, yang kemungkinan bisa menyakiti perasaan ibunya. 

“Iya nanti Radis bantuin. Tapi besok Radis mau bangun siang ya, Bu. Capek banget soalnya.” putus Radis akhirnya. Mendengar permintaan Radis, ibunya hanya mengangguk dan tersenyum. 

“Makasih ya, Dek.” bisik ibunya sebelum Radis meninggalkan kamar mandi. 

***

Seperti katanya tadi malam, hari ini dia sengaja bangun siang. Ah tubuhnya rasanya seperti remuk. Kemarin dia baru bisa tidur jam 23.30 WIB. Ternyata rekap nilai yang dimaksud ibunya kemarin adalah nilai raport UAS. Radis kira hanya rekap nilai ulangan harian biasa. 

Agendanya hari ini tidak banyak, hanya bertemu Aini untuk melanjutkan proposal project dan malamnya mengajar anak-anak. Sepertinya siang nanti dia  akan punya waktu untuk tidur. 

Ting

"Dimana lo, Dis?" Notifikasi dari Aini menyambut paginya.

"Masih di rumah. Kenapa?" ketiknya setelah mengikat rambut yang menutup sebagian wajahnya.

Handphonenya ganti berdering. Dia jadi bisa menebak, setelah ini dia pasti akan mendapat beban.

“Halo?” tanya Radis pertama.

“Dis gue mau nyusahin, Lo. Lo mau gak?” Benar bukan? Manusia laknat ini memang hobi memberinya beban. 

“Apa?!”

“Santay elahh. Gue janji deh mie ayam pak somad 2 porsi.” 

“Cuih murah banget.”

“Gue belom kerja. Kalau mau mahal minta bapak lu sana,”

“Iya-iya cepet apaan?”

Hening sebentar, tidak ada jawaban dari Aini. Radis masih menunggunya dengan sebelah tangan yang membuka pintu lemari. Hari ini dia ingin mengenakan vest rajut dengan celana jeans. 

“Mas Dewa minta bantuan gue buat ambilin lanyard di OPI. Cuman kan OPI dari rumah gue jauh, yang deket kan dari rumah lo. Minta tolong ambilin dong, Dis.” jelas Aini diseberang sana.

“Lah aneh banget kakak lo cetak lanyard sampe ke OPI. Di deket kampus kan banyak.”

“Gue juga gak tau. Tau tu manusia aneh. Gimana lo mau gak?”

Radis melirik meja belajarnya, notebooknya kebetulan habis. Sepertinya dia juga punya tujuan ke OPI. OPI adalah tempat fotokopi dan alat tulis dekat rumahnya. Tokonya tidak terlalu besar, tapi ketika masuk di dalamnya persis seperti toserba, segala macam alat tulis ada. Bahkan mereka juga melayani segala bentuk percetakan. Mungkin itu yang membuat OPI jadi favorit mahasiswa, terutama anak organisasi. 

“Iya, gue juga sekalian nyari notebook. Ini gue cuma ambil pesanan kakak lo atau bayarin sekalian?” tanyanya memastikan. Bukan sekali dua kali. Radis sudah kerap kali seperti ini. Mas Dewa, atau kakak dari sahabatnya ini sering sekali menitipkan barang kepadanya. Entah untuk dipesan atau cuma diambil. 

Finding Me, Arham! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang