11. Angket Online

2 0 0
                                    

"Emang deadlinenya kapan?" balas Radis.

"Besok nyebar proposalnya."

Jawaban Arham membuatnya speechless. Pantas aja lelaki di depannya ini marah. Anggi pernah cerita kalau tidak salah acara peringatan bulan bahasa ini dilaksanakan bulan Oktober, dan sekarang sudah memasuki bulan September. Yang dimana persiapan mereka tinggal 1 bulan atau mungkin tidak ada satu bulan. Entahlah. Radis tidak mau ikut pusing.

"Masih sibuk mungkin, dia kan Duta, pasti kegiatannya banyak." kata Radis akhirnya.

Arham menaikkan sebelah alisnya dan menatap Radis. "Duta?" tanyanya memastikan dengan nada yang tidak enak didengar di telinga Radis. Arham mode seperti ini sedikit membuatnya takut. Dia memilih lelaki itu mode diam daripada matanya yang mengintimidasi. "Enggak duta. Dia kalah, juara 2." lanjutnya.

"Ya kan juara 2 masih bisa disebut duta, Ham."

"Enggak. Itu namanya kalah." Arham tetap bersikeras dengan pendiriannya. Baiklah Radis mengalah, tidak ingin meributkan hal-hal yang tidak penting. Karena hari ini ada pembahasan yang lebih penting daripada hanya meributkan Sema itu duta atau bukan.

Hari ini pertemuannya dengan Arham adalah membahas tentang agenda expo kampus yang akan diselenggarakan di sekolah mereka 6 bulan lagi. Entah kebetulan darimana, dia dan Arham bisa berada pada satu divisi. Divisi acara. Dengan Arham sebagai koordinatornya. Radis sempat senang dan bersyukur pada saat hari pengumuman tiba. Karena orang-orang yang berada di divisi acara rata-rata ia kenal dan dekat. Tapi semakin kesini, sepertinya dia harus mulai menarik kalimat syukur itu.

"Jadi, kemarin kata sekolah gimana?" tanya Radis memulai inti pembicaraan hari ini. "Kamu jadi nemuin Pak Vito kan?" lanjutnya.

"Iya jadi," jawab lelaki di depannya singkat.

Radis menaikkan sebelah alisnya, heran. "Trus?" Demi apa Radis harus membujuk lelaki di depannya ini untuk bicara. Mengapa tidak langsung menjelaskan secara panjang saja? Kalau seperti ini dia merasa gemas.

"Pak Vito marah-marah karena kita ga juga gerak."

Mata Radis membola. "Mata Pak Vito ditutupi apa sih? Lawong kita bolak balik minta acc malah disuruh revisi terus. Salah siapa coba?"

"Enggak, bukan gitu, Dis. Kayaknya Pak Vito salah paham deh." Arham menanggapi dengan tenang. Bahkan ketika nada Radis naik 1 oktaf, dia tetap menjelaskan dengan tenang. Mungkin karena terbiasa dengan masalah yang ada di dalam organisasi atau event, dia jadi lebih tenang dalam menghadapi masalah. Tapi, yang membuat Radis heran adalah mengapa pembahasan tentang Sema selalu membuat Arhan marah. Seperti mood lelaki itu langsung terjun bebas.

"Salah paham tentang apa?"

Arham diam sebentar, sepertinya dia berpikir untuk memilih kata-kata yang cocok untuk disampaikan pada Radis. "Minggu kemarin, sebenarnya Pak Vito ngomong ke Radit buat nambahin kampus pilihan orang tua juga, sama tandatangan kedua pihak. Orang tua dan anak. Tapi Radit bilang kalau kayanya ga mungkin dan gabisa. Dan itu belum disampein ke kita. Jadi Pak Vito marah pas aku dateng kemarin, pikirnya kita gak bisa ngusahain dan mereka mau ngurusin sendiri." jelas Arham.

"Kamu tau daripada kalau Radit bilang ga bisa?"

"Aku tanya dia," Arham menjeda kalimatnya. Dia meraih gelas di depannya dan menyeruputnya. "Awalnya dia ga ngaku. Cuman pas aku udah jelasin semuanya dia jadi ngaku. Bilang kalau sebenarnya minggu kemarin Pak Vito ada masukan dan dia tolak."

Radis mengangguk, "Tapi kayaknya Radit ada benar nya juga. Kalau seandainya kita terima, emang kita bisa ngumpulin angket itu dalam waktu singkat? Kayaknya enggak, apalagi ada tandatangan orang tua. Asrama sekolah kan juga ga lagi musim jenguk, perpulangan juga masih lama." balas Radis. Disamping Radit yang salah karena tidak melaporkan kepada mereka, menurutnya Radit ada benarnya juga. Karena dari awal pihak sekolah terlalu banyak ikut campur dan banyak permintaan, apalagi tenggat waktu juga ditentukan sekolahan. Panitia jadi kelimpungan.

"Iya aku tahu, Dis, cuman yang aku sayangkan kenapa dari kemarin gak bilang? Kan kalau dari awal bilang, mungkin masih bisa diusahain walau yang bagian tandatangan orang tua tetep gak bisa. Kalau kayak gini, jadi riweh. Sekolah maunya apa? Panitia maunya apa?"

Mendengar nada pasrah dari Arham, Radis bisa tahu lelaki di depannya sudah kehabisan energi. Arham menatapnya dan menghembuskan nafas kasar. "Sabar, tenang, bisa kok. Aku bantu deh janji." kata Radis dengan tersenyum. Radis menahan tangannya untuk tidak menyentuh bahu Arham dan menepuknya pelan. Dia tidak mungkin seberani itu, apalagi ini tempat umum. Semua orang bisa saja mengenalinya dan Arham, apalagi Omah Waktu tidak terlalu jauh dengan kampus. Jangan lupakan Nadia dan Riski yang masih duduk di bangku seberang.

"Trus kamu bilang apa sama Pak Vito?"

"Aku ajuin untuk buat angket online karena waktunya juga udah mepet banget. Kalau mereka tetep gak mau, yaudah biar diurus sendiri."

Radis mengacungkan jempolnya, tanda setuju dengan pemikiran lelaki itu. Dia segera meraih notebook nya, dia menuliskan sesuatu di sana.

"Kamu nulis apa?" tanya Arham.

"Buat rancangan untuk isi angketnya." jawab Radis singkat dan kembali fokus pada kegiatannya.

"Tapi Pak Vito belum acc loh yang angket online itu."

Radis tidak mengalihkan perhatiannya. Dia tetap fokus pada notebook di depannya. "Iya tahu, tapi ga mungkin kan kita nungguin Pak Vito nge-acc? Setidaknya kita udah punya rancangan buat angket onlinennya nanti, kalau seandainya di acc sama sekolah."

Arham mengangguk dengan mata masih memperhatikan Radis yang sibuk menorehkan tinta diatas notebooknya

___________________

To Be Continue
Next Part➡️➡️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Finding Me, Arham! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang