5. Proposal di tolak

12 3 0
                                    

Disinilah saat ini Radis, warung Pak Somad dengan Aini yang sedari tadi nyerocos di depannya. Sesudah meet untuk membicarakan UAS Sinematografi dengan tim-nya tadi, dia bergegas ke kampus karena kabar dari Aini. Proposal projectnya ditolak. Dan sekarang Aini tengah uring-uringan. Radis  mendengarkan sambil menunggu pesanan mie ayamnya jadi. Wajah Aini terlihat mulai merah, sepertinya sahabatnya ini mulai terbawa emosi. Radis hanya diam saja sambil terus mengangguk.

“Lo perhatiin gue gak si, Dis?!” teriak Aini di depannya. 

 “Lah daritadi gue manggut-manggut kalo gak perhatiin lo, terus apa?” balasnya dengan menaikkan sebelah alisnya. 

Aini diam, dia mengalihkan pandangan kearah motor-motor yang berjejer di parkiran kampus. “Kayaknya gue mau gila deh, Dis.” ucap Aini dengan pasrah. Radis mengulurkan tangannya, mengelus bahu sahabatnya yang hampir gila karena proposal project kelompok mereka ditolak. “Ahh bangsat kenapa coba ditolak?!” lanjutnya dengan memukul meja mereka duduk. 

Radis meringis seketika dan memperhatikan sekitar, beberapa pasang mata melihat kearah mereka. Dia menundukkan kepala, dan mengucap maaf dengan lirih atas suara yang Aini timbulkan. “Sabar, Bu, yaampun, sabar. Kita revisi bareng-bareng jangan khawatir,” kata Radis menenangkan. 

Aini menghembuskan nafas kasar, dia menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Sepertinya mental Aini sekarang benar-benar tidak aman. “Emang yang ditolak, kelompok siapa aja?” tanya Radis dengan masih mengelus bahu sahabatnya dengan sebelah tangan. 

“Banyak sih. Pokoknya yang diterima cuman 5 kelompok. Tapi gue gak tau kelompoknya siapa aja. Yang gue tau nama projectnya.” balas Aini dengan tenang, emosinya sudah menurun. 

Radis mengangguk, “Yaudah berarti temannya masih banyak, Bu. Jangan overthinking. Nanti gue bantuin kok,”

Aini mengalihkan pandangan kearah Radis,“Ya harus. Lo kan babu gue.” 

“Sialan lo, ni.” umpat Radis tak terima.

“Lah benerkan? Lo babu gue di project ini. Kan gue managernya, mau lo gantiin?” Aini tetap keukeuh dengan jawabnnya. Seperti biasa dia pantang mengalah.

Radis menarik bibirnya lebar, dia tersenyum palsu kearah Aini. “Enggak terima kasih. Cukup lo aja yang gila, gue jangan. Kan gue artisnya.” ucapnya dengan bangga. 

“Awas aja kalau lo gak fyp, gue pecat nanti.” ancam Aini. 

“Pecat aja, gue terima kok.” balas Radis sembari mengedikkan bahu acuh. Radis tentu saja senang dengan ancaman Aini. Dia akan sangat  bersyukur jika di cancel dari tugasnya sebagai talent. Terbebas dari banyak tekanan. 

Monggo, Mbak.” kata Pak Somad tersenyum kearah Radis dan Aini. 

Mie ayam Pak Somad datang. Bau-nya sangat menusuk hidung Radis. Fokusnya berubah. Bukan lagi pada pembicaraannya dengan Aini tadi, melainkan bayangan akan rasa gurih dan kenyalnya tekstur mie ayam Pak Somad. Apalagi potongan ayam bumbu di atasnya, pasti dominan rasa bumbu dengan kecap. Akhirnya Radis dan Aini diam, fokus pada aktivitasnya masing-masing, yakni menikmati mie ayam Pak Somad.

***

Dari kejauhan, seorang lelaki memperhatikan Radis. Sepasang mata itu menatapnya tanpa henti, hingga tanpa sadar, senyum di bibirnya muncul. Pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya muncul. Sejak kapan Radis terlihat sangat menarik di matanya? Sejak kapan gadis dengan pemilik apple cheeks dan bulu mata lentik itu bisa mengalihkan fokusnya? Lelaki berambut ikal itu masih bertahan dengan aktivitasnya. Menatap kearah Radis yang tengah makan di kedai Pak Somad. Lelaki itu tengah berdiri dengan kedua tangan yang berada di sakunya. Almamaternya dia sampirkan di bahu. Dia akan menghadiri rapat besar hari ini. Peringatan bulan bahasa dan sastra.

“Kalo suka bilang aja, jangan natap lama gitu.” ucap seseorang yang membuatnya tersentak dari lamunannya menatap Radis. Dia menoleh dan mendapati gadis mungil dengan rambut sebahunya. Anggi. Gadis itu tiba-tiba sudah berdiri disampingnya. 

“Siapa yang natap dia? Orang gue pengen makan mie ayam.” dalihnya. Anggi hanya mengangguk mengiyakan dengan bibir menahan tawa. 

“Iya deh iya. Ngomong-ngomong divisi acara buat Expo, progresnya udah sampe mana, Ham?” tanya Anggi. 

Arham. Kening lelaki itu berkerut, “Expo?” tanyanya memastikan. Anggi mengangguk cepat. Arham diam sebentar, dia sedang mengingat-ingat sesuatu. “Masih nyari tema yang cocok si. Anak-anak gue suruh buat tema sendiri-sendiri soalnya. Lagian pembentukan panitianya baru seminggu kemarin lo tanyain.” jelasnya sembari mengambil 1 batang rokok dari sakunya dan menyalakannya.

Mata Anggi membola. Dia merebutnya. “Gila lo, Ham. Masih di kampus ini,” 

Arham menghela nafas kasar, “Balikin, Nggi. Gue lagi banyak pikiran.” ungkap Arham dengan tangan telulur mengambil 1 batang rokoknya yang masih dalam genggaman Anggi.

Anggi bergerak mundur, dia menggeleng. “Lo gak liat ini dimana? Apa kata anak-anak nanti kalau liat ketua HMJ nya ngrokok di kampus?”

“Iya deh iya.” kata Arham dengan pasrah lalu beranjak darisana. Handphone yang berada di sakunya dari tadi bergetar. Pasti anak-anak sudah berkumpul.

“Nanti rokoknya gue balikin habis Rabes!” teriak Anggi dari tempatnya berdiri.

“Enggak usah. Udah kena tangan lo, males gue. Buat lo aja kalau mau.” jawab Arham dengan terus berjalan menuju HMJ. 

“Sialan lo, Ham.”

Arham berhenti berjalan, dia membalikkan badan. “Gue tunggu 5 menit di ruang HMJ. Kalau lo belum juga dateng, gue anggep absen lo kosong.” katanya kepada Anggi. Dia melanjutkan langkahnya sambil memakai almamater yang tadi dia sampirkan di bahu.

***

Aini mengalihkan pandangan pada mangkuk Radis. Sudah habis bersih. Memang tidak perlu diragukan lagi kecepatan Radis dalam memakan mie ayam Pak Somad. Selalu secepat kilat. Pandangannya kini beralih pada mangkuknya, masih tersisa setelah. Dia tidak bisa makan dengan tenang disaat bayangan proposal project nya yang di tolak Bang Jeje menghantuinya. 

Radis mengelap bibirnya dengan tisu. Dia kemudian melihat kearah Aini yang melamun dengan pandangan kearah mangkuknya yang sudah kosong. “Lo ngapain liatin mangkuk gue?” tanya Radis kemudian.

Aini tetap diam. Radis menaikkan sebelah alisnya heran, “Bu, lo beneran stress gara-gara proposal project kita ditolak?” tanyanya dengan meraih wajah Aini, memastikan sahabatnya tidak benar-benar sakit.

Aini menyingkirkan tangan Radis dari wajahnya.“Apasih, lo. Wajah gue jerawatan nanti.”

Radis kembali duduk normal. “Mending habis ini lo sholat deh,” katanya sambil melihat kearah layar handphone-nya, pukul 13.15 WIB. “Siapa tahu habis sholat, proposal projectnya diterima.”lanjutnya.

“Enggak mungkin kalau itu. Orang Bang Jeje nolak langsung di depan mata gue kok. Berharap sama Bang Jeje itu ibarat berharap sama mantan. Gak mungkin berpeluang.” balas Aini yang hanya dicibir Radis karena kalimat terakhirnya.

“Terserah lo deh. Yang penting mie ayamnya cepet lo abisin. Gue mau ketemu kating soalnya.” ucap Radis sembari mengeluarkan notebook dan bolpoin. Mencatat poin-poin yang akan dia sampaikan nanti. 

“Kenapa lo ketemu kating?”

“Dia aktris gue di project matkul sebelah.” ungkapnya tanpa mengalihkan pandangan dari notebooknya dan jari yang bergerak mengapit bolpoin.

_____________________

To Be Continue
Next Part➡️

Finding Me, Arham! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang