9. Pertemuan kedua »

283 64 12
                                    

★★★

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

★★★

Waktu sudah menunjukkan pukul 13.20 WIB. Gadis dengan balutan seragam putih abu khas anak SMA itu tengah bersiap untuk sekolah diniyah. Merapikan kerudung, memakai hand sock, dan memakai kaos kaki tentunya. Kerudung segi empat itu, tergerai sampai menutupi dadanya dengan bros kecil berbentuk daisy sebagai penguat.

"Atifa, kamu buru-buru sekali, mau kemana?" tanya Safira, yang melihat teman sekamarnya tengah bersiap tapi dengan terburu-buru.

Gadis yang ditanyai itu berhenti sejenak dan menatap Safira, "kan sekarang mau sekolah diniyah, Safira. Jadi, ayo! Nanti terlambat," ucapnya dan kembali ke kegiatan awal.

Safira terheran dengan tingkah temannya itu. Biasanya Atifa tak begitu semangat saat pelajaran BTQ karena menurutnya banyak hafalan qur'an.

"Tumben?"

"Kan, kata Ura, sekarang abi nya ada undangan pengajian di desa sebelah. Pasti yang infal kiai, ustadz Dzulfikar," Atifa tersenyum menceritakannya.

"Ustadz Dzulfikar?" tanya Safira yang mendapat anggukan dari temannya, "bukannya kamu tau, hari senin juga ustadz Dzulfikar ada jadwal di kelas ikhwan. Kan, kamu yang bilang, kamu gak suka hari senin, karena gak ada jadwalnya beliau."

Atifa yang ingat akan hal itu, langsung terdiam, duduk di tempat tidurnya dan bahu yang tadinya tegak, luruh kebawah, "oh iya, kok aku bisa lupa ya?" tanyanya pada diri sendiri. Bibirnya mengerucut, lalu menatap Safira, "Rara~ gimana dong?"

"Gimana apanya?"

"Tadinya aku semangat, karena kalo di infal ustadz Dzulfikar, hafalannya gak bakal di setor hari ini. Beliau, kan, baik," Safira menggelengkan kepala mendengar ucapan Atifa.

"Emang kamu belum hafal?"

Atifa menggeleng, menghembuskan napasnya pelan, "siap-siap kena hukuman," ucapnya sambil menunduk.

"Kita, kan, gak tau siapa yang infal kiai. Mungkin aja, ustadz Yusuf, ustadz Abu, atau ustadz lainya," ucap Safira menenangkan, mendekat ke arah Atifa dan mengusap bahu temannya dengan lembut, "yuk, berangkat!"

★★★

Pesantren Ar-Rasyid, pesantren yang cukup terkenal di kota Cirebon. Pesantren dengan program unggulan hafalan qur'an dan hadits itu, sudah berdiri sejak jaman kakeknya Nizar, kakek Hamdan.

Pesantren itu dibangun di Cirebon, karena istri dari Hamdan berasal dari Semarang dan Hamdan sendiri orang Bandung. Cirebon adalah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hal itu yang menjadi alasan dibangunnya pesantren ini, untuk mengenang mendiang istri Hamdan yang menginginkan sebuah pesantren, agar amalan kebaikannya tidak terputus walau sudah tiada.

INSAF [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang