Slrptt!
Suara seruputan secangkir kopi itu terdengar syahdu di telinga Jaemin. Lelaki berperawakan ramping tersebut kini tengah menyunggingkan senyum sambil menatap betapa riangnya anak-anak kecil bermain di taman sebelah cafe.
"Hayolohh!"
Sial! Jantung Jaemin terasa ingin copot, "Ya! Haechan! Apa maksudmu, hah!?"
"Hehe, tidak," jawab sohibnya yang berkulit-tan itu seraya cengengesan. Ia kemudian menengok ke arah tatapan Jaemin tadi.
"Kau ingin kembali menjadi anak kecil?"
Jaemin mengernyitkan dahinya, "Apa? Yang benar saja! Jika ada mesin waktu pun, aku akan memilih untuk tidak dilahirkan!"
Haechan menarik kursi di hadapan Jaemin. Lelaki itu duduk dan memajukan wajahnya, mendekati wajah Jaemin.
"Y-ya! Apa yang kau lihat dariku?"
Haechan memicingkan matanya, "Pria mesum itu benar-benar sudah tak mendekatimu lagi, 'kan?"Jaemin gugup setengah mati, "A-apa maksudmu?"
"Bodoh! Si Hyunjin itu! Kau sudah tak dilecehkan lagi olehnya, 'kan!?"
Nada bicara Haechan yang tinggi membuat pengunjung di sekitarnya mengalihkan pandangan menuju keduanya. Aih, untung saja bagian 'dilecehkan' sengaja Haechan pelankan sehingga mereka tidak mendengarnya.
"Hmm. Sudah tidak. Memangnya kenapa?"
Haechan tersentak, "Kenapa!? Kenapa kau bilang!? Sebentar, aku akan memesan makanan dulu."
Jaemin memutarkan bola matanya malas. Sedetik kemudian, pelayan cafe datang dan mencatat menu yang Haechan pesan. Si absurd itu, bisa-bisanya mengingat makanan di saat sohibnya dibuatnya gugup tak karuan.
"Heh, dengarkan aku! Sekarang, aku sudah menjadi pegawai kantor dan menyewa apartemen yang jauh dari rumahmu. Otomatis, kalau si cabul itu datang menemuimu, aku jelas tidak tahu."
Jaemin berdekhem.
"Kau juga pasti tidak akan bercerita apapun kalau dia datang kepadamu, sial!"
Haechan jadi sebal sendiri. Jika dia mengingat cerita Jaemin saat dua tahun lalu, dia pasti akan berangan-angan untuk mencekik Hyunjin detik ini juga.
"Ah, sudahlah, Chan. Aku ingin lanjut bekerja."
"Apa? Lalu siapa yang akan membayar pesananku?"
Jaemin kembali mengernyit, "Sejak kapan kau memintaku membayarnya?"
"Cihh," baiklah. Haechan menyerah. Dia kalah telak.
***
Saat ini masih pukul 13.50 sedangkan Jaemin kembali bekerja menjadi pramuniaga di sebuah mall. Ia bertugas melayani konsumen dalam memilih pakaian dari merk ternama.
"Permisi. Bisakah anda memilih kan saya suit yang cocok untuk pertemuan resmi?" tanya seorang pria gagah rupawan.
Hidung bongsor dan rahang tegasnya membuat Jaemin terkesima untuk beberapa waktu. Hingga akhirnya ia tersadar dan mulai mencarikan barang yang sesuai.
"A-ah, baik. Lewat sini, tuan."
Konsumen Jaemin kini tengah berkaca dengan memakai suit pilihan Jaemin. "Postur tubuhnya sangat sempurna," batin Jaemin."Hmm. Aku ambil yang ini."
Ketika selesai membayar melalui blackcard, pria yang telah dipuja-puja Jaemin tersebut justru membuat Jaemin bergidik. Pasalnya-
"Boleh saya minta nomor teleponmu?"
•
•
•
•
•
TBC -->
Please always support me! 🪽
KAMU SEDANG MEMBACA
Trauma (NoMin)
Fantasy"Kau ingin kembali menjadi anak kecil?" Jaemin mengernyitkan dahinya, "Apa? Yang benar saja! Jika ada mesin waktu pun, aku akan memilih untuk tidak dilahirkan!"