Tok! Tok! Tok!
Seketika, netra Jeno berbinar bukan main. Gemerlap yang seolah keluar dari netranya adalah bukti betapa rindunya dia terhadap sosok di hadapannya sekarang.
“J-jaemin.. Kau sangat cantik.”
Jaemin tersenyum. Ia merasa biasa saja padahal, hanya memakai sweater cokelat, celana kasual berwarna abu terang, dan ya.. Dia sedikit menata rambutnya.
Ceklek!
Pintu rumah Jaemin telah ia kunci dari luar, hal itupun membuat Jeno mengernyit, “Jaem, di mana em.. Uh—ibumu?”
“Oh, dia sedang ke supermarket.”
Jeno pun mengangguk dan berjalan membukakan pintu mobilnya untuk Jaemin, “Hati-hati, Jaem. Awas kepalamu..”
Jeno membuat Jaemin tersenyum kaku. Hey, tidakkah Jeno terlalu khawatir padanya? Atau.. Hanya perasaannya saja?
Pintu mobil di bagian kemudi juga sudah tertutup. Dan tersisalah kedua anak adam yang kini belum juga melajukan kendaraannya.
Jeno menghembuskan napas, “Huhh..” kepalanya menengok pada lelaki manis nan cantik yang tengah membenarkan rambutnya.
Jeno menatap lekat gerak-gerik Jaemin, tangan putihnya yang mulus, bulu matanya yang lentik, bola matanya yang berwarna cokelat kehitaman, hingga hidung kecilnya yang lucu. Astaga.. Dia jadi tidak sadar bahwa mereka akan pergi sekarang.
“J-jen.. Kau ingin menangis?”
Jeno sontak menggeleng, “A-ah tidak..”
Bohong!Bohong!
Buktinya kini tangan Jeno lekas-lekas menghapus air matanya yang terbendung. Yang membuat Jaemin tersenyum akan hal itu.
“Hahahaha, Jen. Kenapa kau menangis?”
“Aku tidak apa-apa, Jaem. A-aku hanya merindukanmu.. Uh e-em.. M-maksudku sudah lama sekali aku tidak melihat matamu yang membuka seperti ini. K-kita.. Sudah lama sekali tidak bertemu, Jaem.”
“Terima kasih, Jen. Kau sudah merindukanku. Omong-omong.. Ayo jalan, Jen?”
***
Hiruk pikuk jalanan kota yang ramai. Dihiasi dengan gemerlap warna lampu-lampu jalanan dan pertokoan berhasil mencuci mata kedua anak adam saat ini. Kendaraan hilir mudik disertai dengan orang-orang yang berlalu lalang di trotoar. Kondisi malam itu, pun tak luput dari kedua insan yang tengah berjalan bersama menuju Sungai Han.
“Jaem, Na Jaemin.. Ayo duduk di bangku itu!” seru Jeno seraya menunjuk sebuah bangku panjang yang ada di pinggir sungai.
Jaemin mengangguk.
Saat ini, Jeno sedang kewalahan dengan pikirannya sendiri. Antara gugup, senang, sedih, terharu, semuanya menjadi satu. Haruskah dia berbicara sekarang? Oh ayolah.. Akan tetapi, ini baru hari kedua Jaemin keluar dari sengsara.
“Jen..”
Panggilan itu sontak menghilangkan kewalahan Jeno. Di mana sang empu dari kewalahan itu lantas menengok pada yang memanggil.
“Hm?”
Jaemin menghembuskan napas sejenak. Ia dongakkan kepala menghadap yang di atas sana. Kemudian, kecapnya mulai berbicara.
“Jika ada berjuta bintang di angkasa, aku tetap tidak akan memilihnya. Akan kubiarkan Tuhan menjatuhkan salah satu dari mereka, agar aku menyadari bahwa Tuhan telah memilihkan ku bintang yang terbaik.”Deg!
Jeno terdiam. Apa.. Apa maksud Jaemin mengatakan itu secara tiba-tiba?
Jaemin tahu, lelaki di sampingnya pasti tengah kebingungan. Maka dari itu ia menoleh pada Jeno.
“Terima kasih sudah menemani hari-hariku yang kelabu. Meski kau juga diterpa masalah, tapi kau tetap memujaku tanpa lelah, Jeno,” senyumnya terpoles begitu indah. Hingga kelabu dalam kalbunya seakan tak pernah singgah.
Butuh beberapa detik untuk Jeno membalas ucapan Jaemin. Sebelum,
“Sama-sama, Jaeminku. Walaupun aku mungkin bukanlah bintang yang Tuhan sengaja pilihkan untukmu, tapi ketahuilah bahwa aku senantiasa ada untukmu.”Jaemin kembali dongakkan kepalanya pada sang angkasa. Namun kali ini, netranya ia tutup hingga gulita yang didapat. Jaemin, lelaki itu berkali-kali membiarkan hembusan angin yang dingin menggores kulitnya.
Greb!
Hingga tiba-tiba saja, punggung telapak tangan kanan Jaemin terasa hangat. Akibat genggaman dari lelaki di sebelahnya—Jeno—. Lelaki itu menatap serius ke arah Jaemin.
“Apa?”
“Bolehkah aku menjadi satu-satunya bintang yang kau maksud tadi?”
Detik selanjutnya, tatapan Jaemin berubah menjadi kosong. Netranya membulat mendengar pertanyaan Jeno. Memorinya seketika berputar kembali dalam benaknya. Ia teringat, bahwa Jeno lah yang menolongnya dan selalu ada di sisinya—selain Haechan. Jaemin, juga sadar, bahwasanya Jeno telah menunggunya selama ini, hanya untuk.. Menjadi bintang yang dia maksud.
Jaemin mengangguk, ia menjawab dengan terisak sebab buliran air mata telah jatuh melewati pipinya, “Jika bintang itu adalah kau, Jeno, maka aku akan menerimamu. Hiks..”
Malam itu, diakhiri dengan Jaemin yang menangis dalam dekapan sang kekasih.
***
。・:*:・゚★,。・:*:・゚☆
Puluhan cerita yang tertera dalam kisah ini. Terlalu banyak lara, terlalu sedikit bahagia yang dikehendaki. Katakan bahwa aku ini jahat untuk menuliskan sebuah kisah non-tragedi. Namun, terima kasih sebab telah berani menemani.
“Setiap perjuangan pasti akan ada hasil. Akan tetapi, Tuhan tidak pernah berjanji jika hasil itu akan selalu indah.”
。・:*:・゚★,。・:*:・゚☆
The End
KAMU SEDANG MEMBACA
Trauma (NoMin)
Fantasía"Kau ingin kembali menjadi anak kecil?" Jaemin mengernyitkan dahinya, "Apa? Yang benar saja! Jika ada mesin waktu pun, aku akan memilih untuk tidak dilahirkan!"