Haechan

204 8 0
                                        

Tidak perlu menunggu beberapa hari lagi, tetapi beberapa jam setelah Jeno dan Haechan pulang dari cafe, Jaemin sudah meminta dijemput.

Kini, Jaemin dan Haechan tengah berada di sebuah taman. Taman yang jauh dari rumah Jaemin. Di taman itu banyak anak-anak, juga orang dewasa yang menemani mereka bermain.

“Kau baik-baik saja? Apakah tak apa kalau kita di sini? Kau tidak ingin ke apartemenku saja? At-”

“Berisik! Aku sedang mengamati anak-anak itu bermain!” ucap Jaemin. Kemudian ia bergumam, “Sepertinya seru ya?”

Haechan menengok pada Jaemin, “Hah, iya, 'kan! Pas-”

“Tidak, Chan. Maksudku, kapan aku bisa bermain dengan anakku seperti itu?”

Haechan semakin dibuatnya terkejut, “Heh!?”

Jaemin menunduk, “Aku ingin menemani, merawat, dan menghabiskan waktu bersama anak-anakku di masa depan. Aku tidak ingin mereka sepertiku. Aku hanya ingin mereka tumbuh dengan bahagia. Cukup aku saja yang merasakan hal-hal pahit seperti dulu.”

Haechan membisu sejenak, “Na.. berarti kau ingin cepat-cepat punya anak ya?”

“PABO!”

“Ya! Kau mengataiku bodoh!?”

“Terserah. Sekarang bagaimana kabar hidupmu?”

Haechan berdecak sebal, “Cih, pintar sekali kau mengalihkan pembicaraan.”

Jaemin menatap lelaki di sebelahnya itu dengan tatapan malas.

“Aku sudah menikah.”

“APA!?” kejut Jaemin seraya berdiri. Mata dan mulutnya tak bisa untuk tak membuka lebar. Ah, akupun bisa merasakan betapa malunya Haechan saat itu.

Baiklah. Jaemin kembali duduk dan Haechan mulai menceritakan semua tentang dirinya ketika Jaemin terisolasi.

Hihihi. Mari ubah, biar aku saja yang bercerita ^_^

Ini dengan latar waktu setahun yang lalu. Tepat sehari setelah Jaemin sadar dari koma, keluarga Jung langsung datang ke Korea. Termasuk Mark, kakak Jeno. Pria yang lahir di Canada tersebut awalnya ikut bersedih kala mengetahui keadaan calon anggota keluarga barunya yang harus menjalani terapi psikis.

Namun, Mark justru berbinar tatkala melihat Haechan, “Ah, kau mempertemukanku lagi setelah empat belas tahun lamanya. Thank a lot, God.”

Ya, terakhir Mark memandangi senyum indah Haechan adalah ketika ia menjemput Jeno yang saat itu masih berusia tiga belas tahun di depan sekolah menengah pertamanya.

Sayangnya, Mark harus kembali ke Canada saat itu juga. Sehingga ia baru bisa melihat cinta pertamanya itu sekarang. Meski sudah bertemu, Mark masih saja canggung dengan Haechan.

“Shitt. My Korean language is still not good. What the hell, God!”

Sampai mereka berdua membeli sarapan di kantin rumah sakit, untuk kedua kalinya, Mark dapat menatap lekat netra cokelat Haechan. Ah, semakin jatuh cinta saja rasanya. Begitupun Haechan. Hatinya tak tenang kala ditatap Mark seperti itu.

Mereka semakin canggung. Dan bagian yang benar-benar miris, ialah ketika Mark baru tiga hari di Seoul, tapi pria itu harus segera kembali ke Canada karena ada urusan genting.

Hingga untuk berbulan-bulan lamanya, mereka kembali lost contact. Namun, salah satu dari mereka memang tak ada yang meminta nomor telepon. Bukankah bodoh? -aku.

Akan tetapi, macam bukan sebuah kebetulan jika Haechan mendapatkan tugas untuk survei di Canada. Kemudian, di sanalah Mark dan Haechan kembali bertemu. Mark dengan berani menggenggam tangan Haechan. Meminta Haechan untuk menerima cintanya.

Haechan pun mengangguk terharu. Maka tepat saat Mark berusia 26 tahun, keduanya menikah. Mengikat janji suci bersama di depan sanak saudara dan tentunya seorang pendeta.

Sangat menarik. Walaupun hanya tiga kali pertemuan secara langsung, mungkin? Dua insan itu justru mengambil langkah dengan begitu cepat. Cinta tak butuh banyak kenangan, 'kan?

Kembali pada Jaemin, lelaki itu hanya diam. Perasaannya menjadi campur aduk. Ia bahkan tak menanggapi cerita sahabatnya sama sekali. Namun ia justru bertanya tentang hal lain, “Bagaimana kabar Jeno sekarang?”

Deg!

Haechan tersentak, “Ah, dia baik-baik saja.” “Dan asal kau tahu, dia sedang menunggumu hingga benar-benar pulih dan kau berani menemuinya lagi.”

Jaemin mengangguk. Lalu, dengan gemetar, Haechan bertanya padanya, “K-kau, tidak ingin bertanya mengenai orang tuamu? A-ah, maksudku-”

Jaemin menoleh, “Untuk apa?”

“Na, apakah kau masih tidak mau memaafkan mereka?”

“Entahlah. Aku pikir-”

“Tapi ayah dan ibumu cepat-cepat datang saat mengetahui kau koma. Mereka juga selalu berjaga di rumah sakit, kau ingat ceritaku 'kan?”

Jaemin mengangguk.

“Ibumu juga.. dia bercerita kalau kau sadar dari koma setelah dia menitihkan air matanya tepat di atas tanganmu. Ayah, ibu, bahkan Shotaro pun telah meminta maaf kepadamu. Mereka berjanji tidak akan mengulanginya lagi dan kupikir, mereka sungguh-sungguh mengucapkannya.”

“Di mana mereka sekarang?”

“Ayahmu dan Shotaro kembali ke Jepang, tapi ibumu masih di sini.”

Jaemin lantas bangkit dari duduknya. Ia berjalan duluan meninggalkan Haechan yang masih duduk di bangku.

“Na! Mau ke mana?”

Jaemin menghentikan langkahnya. Ia menoleh, “Ke rumahku lah, mana lagi!?”




































































































TBC -->

Trauma (NoMin) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang