Sementara itu, di rumah sakit, Winwin, sosok ibu yang dahulu tak tahu diri itu, kini tengah menitihkan air matanya di depan tubuh sang putra sulung yang masih tak berkutik sama sekali. Ia memilih untuk tinggal di Korea, setidaknya sampai Jaemin bangun. Lalu setelah itu ia akan kembali ke Jepang, jika saja Jaemin tidak memaafkannya.
“Jaemin, maafkan ibu. Maafkan orang-orang yang telah menyakitimu. Terima kasih telah bertahan hingga detik ini. Kau hebat, kau kuat, kau anak yang sangat baik, Jaem. Ibu mohon, bangunlah, sayang.”
Kata 'sayang' yang baru saja diucapkannya itu ialah kali pertama setelah bertahun-tahun lamanya ia tak pernah ucapkan terhadap Jaemin.
Tiba-tiba saja, bak keajaiban! Jari tangan Jaemin bergerak. Perlahan. Winwin yang sadar akan hal itu sontak memanggil dokter dan–
***
Beberapa jam setelah Jaemin bangun dari komanya, tiga orang yang menantinya di luar ruangan lantas masuk secara bersamaan dan berusaha untuk mengontrol suara mereka.
“J-jaem..” lirih sahabatnya.
Di atas ranjang itu, nampak tubuh Jaemin yang masih penuh dengan selang. Bahkan selang napas pun masih menempel pada hidungnya.
Namun, kedua netra lelaki itu telah terbuka. Ia melirik orang-orang di sekitarnya. Entah, apa yang dirasakannya sekarang.Winwin tiba-tiba saja memegang tangannya dengan perlahan, “Nak-”
Deg!
Jaemin menjauhkan tangannya dari sentuhan sang ibu. Tidak, ia tidak lupa. Ia masih mengingat trauma-trauma itu. Ah, netranya terlihat gentar. Jaemin nampak ketakutan melihat Jeno dan juga Winwin.
Namun tidak dengan Haechan. Jaemin justru menatap penuh harap padanya. Seolah menyuruh Haechan untuk menjauhkan dirinya dari pria dominan dan ibunya sendiri.
Haechan menuruti perintah sahabatnya. Ia lekas menutup pintu ruangan ketika kedua orang itu telah ia bujuk. Detik selanjutnya, Haechan berdiri di sebelah ranjang Jaemin, menatap lelaki lemas itu.
“N-na, apakah kau bisa mendengarkanku?”
Jaemin mengangkat jarinya bak berkata iya. Haechan lantas menitihkan air matanya sembari menceritakan semua hal yang telah terjadi selama Jaemin koma.
***
“Chan, kapan Jaemin akan keluar?”
Haechan mengernyit, ah.. tak henti-hentinya pria itu menanyai perihal Jaemin, “Sebentar lagi, Jen. Kau perlu bersabar sedikit lagi. Bukankah psikolog sudah memberitahumu? Jaemin akan sembuh dalam beberapa hari lagi, 'kan?”Jeno mengangguk. Kini, telah dua tahun berlalu semenjak Jaemin sadar dari koma. Orang tua Jeno telah memberikan seluruh keputusan di tangan Jeno, maksudku, keputusan mengenai pasangan.
Sementara calon pasangan Jeno saat ini, tengah berjuang dalam sebuah rumah yang hanya dapat dikunjungi oleh seorang psikolog.
Bagaimana nasib Haechan sekarang? Ah, aku agak malu mengatakannya. Nanti saja, ya?
***
“Halo? Apakah ini dengan saudara Haechan?”
“Ya benar. Ada apa?”
“Jaemin ingin berbicara padamu.”
Haechan membelak, benarkah? Jaemin sudah berhasil membuka diri? Benarkah itu? Padahal selama ini, Haechan atau siapapun dalam keluarga Jaemin tidak pernah menerima telepon dari Jaemin sendiri, “A-ah, b-boleh.”
“Halo, Pudu.”
“H-hai. J-jaem? Na? Ini benar kau? K-kau meneleponku?”
“Kenapa? Tidak boleh?”
“Boleh! Boleh sekali! Kau–kau sudah sembuh?”
“Hmm. Kupikir begitu. Aku ingin pulang. Tapi kau saja yang menjemputku. Jangan beritahu siapa-siapa.”
“Ya, kenapa begitu?”
“Aku masih akan berpikir-pikir lagi, Chan.”
“Baiklah. Aku ke sana sekarang.”
Tutt!
Panggilan tertutup dan Haechan segera bersiap untuk menjemput sahabatnya. Sebelum masuk ke dalam mobil, ia berucap, “Ah, Tuhan. Terima kasih, berkatmu senantiasa bersama kami.”
•
•
•
•
•TBC -->
KAMU SEDANG MEMBACA
Trauma (NoMin)
Fantasy"Kau ingin kembali menjadi anak kecil?" Jaemin mengernyitkan dahinya, "Apa? Yang benar saja! Jika ada mesin waktu pun, aku akan memilih untuk tidak dilahirkan!"