12.

21 1 1
                                    

Gelap menyapu pandangan mata Woni saat membuka mata sebelum berangsur bertemu cahaya.

Suasana familiar rumah sakit. Woni menatap infus yang tertancap di tangannya.

Ketika ia mengedarkan pandangan dengan jangkauan lebih jauh tertangkaplah keberadaan amplop bersampul merah jambu di atas nakas.

Seluruh syaraf Woni seakan memberontak, masih mengingat kejadian traumatis yang menimpanya di ingatan terakhir sebelum ia kehilangan kesadaran.

"Hmmmhpp.. hmmmhppp.." serangan panik Woni kambuh. Bak ikan yang tergeletak tanpa air ia susah untuk respirasi.

Mama Riki baru saja keluar dari toilet  terlihat kalut menyaksikan Woni kesakitan.

"Woni... Woni!" Ia memegang bahu Woni, "Nafas pelan-pelan, Won.." sugestinya.

Woni mulai bernafas pelan-pelan.

"SUSTER! TOLONG!" mama Riki memanggil suster yang melintas, paham keadaan genting suster itu langsung mengambil seribu langkah memanggil dokter.

"Tampaknya saudari Woni harus di pindah ke bangsal psikiatri." Ujar dokter setelah memeriksa keadaan Woni dengan seksama.

Mama Riki menatap Woni prihatin.

Belum sempat berkomentar dua orang detektif telah menghampiri, "Apakah kami bisa mewawancarai saudari sebentar sebagai saksi?"

Mama Riki langsung memasang wajah galak. "Kalian buta ga liat keponakan saya baru siuman?"

"Bukan begitu bu, kalian harus bekerjasama demi kesejahteraan masyarakat. Kami harus menyelidiki kasus ini secepatnya karena terlihat seperti pembunuhan berencana dan tersangka masih berkeliaran di luar sana. Kami sudah menunggu dua hari sampai saudari Woni siuman sebagai satu-satunya saksi kunci dari kasus ini." jelas salah satu detektif membujuk.

"Melihat keadaan pasien, sebaiknya kalian kembali lagi sekitar sejam kemudian sampai keadaannya cukup stabil karena korban mengalami pengalaman traumatis, mengungkit kejadian itu sekarang akan cukup berbahaya untuk kondisi mentalnya." Jawab dokter.

Dua detektif itu berpandangan sejenak, "Kami hanya butuh 5 menit, dok.."

"Kalian ngerti bahasa manusia nggak?" Mama Riki benar-benar terbawa emosi. "Pergi, sebelum kodam macan saya keluar ya!" Katanya berkacak pinggang.

Kedua detektif akhirnya mengalah.
Konon, ibu-ibu adalah ras terkuat di muka bumi.

"Saya tinggal dulu ya, bu." Ucap dokter setelah kedua detektif keluar.

Mama Riki mengangguk sejenak, "Terimakasih, dokter."

Sepeninggal dokter dan suster yang menangani Woni, hening menyergap. Mata Woni masih kosong menatap jendela, sementara mama Riki menatapnya sedih.

"Gimana keadaan Riki?" Woni membuka suara, ia baru ingat betapa ia mengkhawatirkan anak bebek berandal itu.

"Dia baik-baik aja, lagi di sekolah sekarang."

Alhamdulillah, batin Woni mendadak islami.

"Dua hari lalu Riki kenapa tante? Kan tante sempat telpon Woni berkali-kali dan spam chat cariin Riki?"

"Biasa, berandal itu ternyata digebukin anak dari sekolah sebelah sampai pulang babak belur diantar Shion."

Woni mengangguk tipis. "Tan, Woni boleh minta tolong?"

Mama Riki mencondongkan badannya sambil mengelus kepala Woni, "Ada apa sayang?"

"Woni mau minum cokelat panas, tante.."

Dark BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang