14

19 7 3
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Itsuki Shinji menatap cemas ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam, tinggal beberapa jam lagi hingga mencapai tengah malam.

Sejak beberapa waktu lalu ia dibuat gusar lantaran menunggu sang anak yang tak kunjung pulang semenjak kepergian Haruna bersama seorang teman perempuan-nya di sore hari. Belum lagi mereka pergi dengan terburu-buru seolah sedang terjadi suatu masalah darurat tanpa memberi tahu jelas kemana dan sampai kapan mereka akan kembali, jelas membuat Shinji merasa was-was sekaligus sebal pada hal yang tidak dirinya ketahui pasti.

Pria paruh baya itu mengalihkan fokusnya ke arah pintu utama. Dengan diiringi suara detik jarum jam yang memenuhi heningnya ruangan, Shinji menggerakkan kedua tumitnya untuk sekedar berjalan mondar-mandir di tengah ruangan kosong yang merupakan penghubung antara pintu keluar-masuk dengan ruang tamu.

Bolak-balik; jalan, berputar, lalu jalan lagi disertai perasaan cemas tiada henti. Hingga tiba ketika pria tersebut merasa lelah sendiri, barulah dirinya mendudukkan pantatnya ke lantai tatami dan lagi lagi masih betah memandang ke arah pintu.

Disela-sela waktu menunggu itu Shinji pun berpikir kemana kiranya anaknya pergi hingga tak kunjung kembali. Sebenarnya sudah semenjak tadi dia ingin pergi mencari keberadaan sang anak, tapi alih-alih beranjak, Shinji makin dibuat kebingungan lantaran tidak tahu-menahu mengenai tempat mana saja yang kerap kali Haruna kunjungi. Bahkan sampai ke tempat bernama sekolah yang menjadi tempat sang anak belajar pun Shinji hanya sekedar mengetahui namanya saja tanpa tahu alamat.

Menyadari hal ini tentu saja pria tersebut terhenyak, batinnya seolah tercubit. Shinji tiba-tiba kembali dihinggapi rasa penyesalan tak berujung.

Jika ingatannya benar, berarti sudah lebih dari empat belas tahun berlalu sejak kejadian waktu itu. Sudah sekian lama tahun berganti, berarti sudah selama itu Shinji terjebak dalam kesalahpahaman yang membuatnya menyakiti orang-orang terdekat yang seharusnya ia lindungi.

Shinji merutuk kebodohan luar biasa-nya yang menempel serta tak lekang sepanjang masa. Dimana dalam rentang waktu lebih dari satu dasawarsa yang tergolong lama harusnya kecerdasan unggul Shinji yang terkenal semasa mengenyam bangku sekolah itu menyadari adanya keganjilan yang menyelimuti.

Alih-alih berpikir dan mencari pokok permasalahan, Shinji muda malah bersikap tak peduli dan masa bodoh akibat emosi sesaat yang menutupi akal sehatnya. Lalu bagian terparahnya adalah pria tersebut baru mengetahui kebenarannya sebulan terakhir, membuat Shinji otomatis merasa kalau dirinya itu tolol sekaligus malu akan ketololan-nya itu. Seolah hasil kerja kerasnya di masa lalu untuk melatih otak agar makin topcer sia-sia, hilang dalam semalam bagai kampfer yang menyublim ketika dibiarkan di ruang terbuka.

Dia juga sempat dilanda stres dan linglung akibat tidak tahu harus darimana memperbaiki semua masalah yang sudah mengakar jauh.

Yang jelas, Shinji merasa bersalah.

Pria tersebut mengusak wajahnya dengan kasar. Helaan napas frustasi pun terdengar setelah sekian menit dilanda kesunyian.

'Tidak bisa, sepertinya memang aku tidak bisa diam saja seperti ini.' Shinji berkata dalam hati sembari menggigit kecil ujung ibu jari.

Lantaran merasa tak sabar, pria tersebut pun bangkit dari posisi bersila lantas berbalik menuju arah kamarnya sendiri untuk mengambil jaket kulit bermerk yang entah ia dapat darimana. Berikutnya buru-buru dia meraih sepasang sepatu dan cepat-cepat memasangnya pada kedua kaki berbulu miliknya.

Dirinya berniat untuk mencari keberadaan sang anak dengan nekat meski tidak tahu harus kemana. Bahkan kalau memang harus mengelilingi kota semalaman lebih baik daripada terus-menerus diam di tempat seperti anjing bodoh di rumah.

Missunderstanding [HAIKYUU!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang