7

48 7 9
                                    

***

Hujan turun membasahi bumi Trowulan. Tidak terlalu deras, namun cukup membawa udara sejuk yang memanggil kantuk.

Apalagi, malam memang berada pada pertengahannya, waktu sebagian besar orang untuk menjelajah alam mimpi.

Kantuk itu memang wajar, tapi tidak bagi prajurit Majapahit yang sedang berjaga. Jika mereka mengantuk, mereka harus berusaha keras melenyapkan kantuk yang akan menghilangkan kewaspadaan.

"Kenapa aku mengantuk sekali ya, Kakang?" Prajurit penjaga istana yangditempati putra sang Nata dari selir  itu mengeluh. Sejak tadi, dia berusaha menghilangkan kantuk dengan berjalan-jalan, namun kanttuk itu tak kunjung sirna.

"Sepertinya kau terlalu banyak makan, Adi, jadinya kau mengantuk terus," jawab prajurit yang lebih tua setengah bergurau.

Prajurit muda itu menggeleng. "Aku merasa tidak makan terlalu banyak, Kakang. Lagipula, apa kau tidak merasa mengantuk, Kakang?"

Prajurit yang lebih tua menggeleng tegas. "Mataku segar sekali, Adi. Sepertinya hanya kau yang mengantuk."

"Apakah kantukku ini bukan karena sirep, Kakang?"

Prajurit tua itu mencoba merasakan udara di sekitarnya, juga tetes air yang jatuh. Namun, prajurit yang telah lebih banyak mencicipi asam garam kehidupan itu menggeleng. "Kurasa, tidak ada yang. aneh, Adi. Tidak ada sirep yang sedang ditebar."

"Aduuh tapi aku mengantuk, Kakang."

"Ada Mahapatih Gajah Mada, Adi!" Prajurit tua berbisik.

Prajurit muda itu terbelalak, kantuknya seketika lenyap tak berbekas.

"Di mana, Kakang?" netra prajurit itu menatap sekeliling, mencari sang Amangkubhumi yang baginya amat seram.

Dia punya pengalaman kena marah Gajah Mada di balai perwira sebab memotong taklimat Mahapatih itu. Sungguh, kapok sekali dia. Tatapan Gajah Mada saja serasa merontokkan jantungnya. Apalagi saat marah, keseraman itu akan berlipat-lipat.

"Di Mana Mahapatih, Kakang?" prajurit itu bertanya sekali lagi pasal tak menemukan Gajah Mada.

"Di Kepatihan, Adi," jawab temannya engteng lalu tertawa. "Jangan terlalu serius lah, Adi."

Mereka tak sadar, saat mereka bercakap sebuah bayangan melesat cepat memasuki istana yang ditempati anak laki-laki Sri Rajasanegara. Cepat sekali bayangan itu bergerak. Tanpa suara, prajurit di depan bilik Aji Rajanata dilumpuhkan.

Mereka pingsan tanpa tahu apa penyebabnya. Bayangan itu tersenyum. "DARAH dibalas DARAH. Satu-satu akan kuhabisi kalian."

Bilik itu dibuka dengan amat mudah. Dia mengambil sang pangeran yang terlelap, membawanya dalam pondongan. Dengan pelan, bilik itu kembali ditutup seperti semula. Setelahnya, bayangan itu melesat sangat cepat melintasi dinding istana.

Bayangan itu terus melesat, hafal betul jalan mana yang harus dia hadapi. Hanya orang dengan ilmu tinggilah yang mampu melihat sosok itu. Malam itu, istana Majapahit kecolongan.

"Ternyata mudah sekali menembus pengawalan anak kesayanganmu, Rajasanegara," bayangan itu tertawa tanpa suara. Anak kedua raja Wilwatikta bergerak gelisah. Sosok itu mengusap kening balita itu.

"Tidurlah, Pangeran! Mimpilah yang indah, sebelum kau akan kubuat tidur selamanya."

***

Halooo.

Gimana?

Lanjut?

Waah, ada penyusup beneran.

Gimana nasip anak Hayam Wuruk?

Sabar, ya!

See you.

Achan❤❤

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[Majapahit] Who Are You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang