Jeandra memasuki kelas untuk mencari si wakil ketua. Pemuda remaja itu berniat untuk mengajak Anindya mengitari bazaar sekaligus mengungkapkan apa yang ia pendam selama ini. Namun, ia tak kunjung menemukan keberadaan si gadis. Terlebih, suasana sekolah yang ramai makin membuat ia kesulitan mencari sosok gadis ceria itu.
"Nyariin sapa lo?" Marcel datang menepuk pundak Jeandra dengan cukup keras.
Sontak si kapten menoleh. "Lo ngeliat Bu wakil, gak?" tanyanya dengan jujur.
"Widih! Anin kabur-kaburan lagi?" tanya Zidane yang entah kapan datangnya.
Mendengar itu, Jeandra terkekeh geli. "Gak. Gue emang gak ngabarin dia sebelumnya."
"Ada urusan apa, lo nyari Anin? Kok mencurigakan sekali?" Zidane memicing curiga ke arah Jeandra. Ingin menyudutkan kapten basket itu.
"Lo mau yang iya-iya, ya? Hayo, ngaku, lo!" desak Marcel ikut menyudutkan si kapten.
Bukannya tersudut, si kapten justru terlihat salah tingkah yang amat sangat ketara. Membuat kedua biang rusuh itu mengulum senyumannya. Kemudian, mereka dengan kompaknya merangkul Jeandra. Membawa pemuda itu membelah kerumunan yang terjadi dengan posisi si kapten pasrah serta bingung.
Saat mereka melintasi lapangan basket bawah, tiba-tiba ada dua orang siswi menghampiri dengan ragu-ragu. Ketiga pemuda itu pun bingung dengan adanya dua siswi itu yang entah dari sekolah mana. Karena, seragam yang dipakai bukanlah seragam SMA Cakrawala 01.
"Mau ngapain, Dek?" Zidane yang jahil lebih dulu membuka suara dengan tampang tengilnya.
Marcel yang melihat dua siswi itu terlihat malu-malu, pun terkekeh. "Kok bawa bunga? Ada perlu apa, nih?" tanyanya yang ikut penasaran dengan maksud kedua gadis remaja itu.
Satu gadis remaja yang memegang sebuket bunga mawar itu memberanikan diri untuk mendongak, menatap ketiga pemuda itu. "I–itu, Kak. A‐aku ... aku mau ngomong sama ... Kak Jean," ucapnya terbata-bata.
Mendengar namanya yang disebut, Jeandra yang tengah mengedarkan pandangannya untuk mencari Anindya sontak menoleh ke arah gadis itu. Sedangkan, kedua temannya menghela napas kecewa dan sedikit mundur. Membiarkan gadis itu ruang untuk bicara sama si kapten basket.
"Apa?" Jeandra langsung bertanya tanpa basa-basi. Terlihat sekali, pemuda itu tengah malas dan ingin segera pergi.
Akan tetapi, entah bagaimana caranya. Tanpa pernah diduga oleh siapa pun gadis itu dengan tiba-tiba memeluk si kapten basket. Hingga Jeandra dibuat terkejut dan mematung.
"Aku suka sama Kak Jeandra!" seru gadis itu semakin membuat si kapten terkejut, tak terkecuali para siswa yang kebetulan melihat kejadian itu.
Seruan heboh terdengar di lapangan itu, menyentak Jeandra. Pemuda itu langsung mengurai pelukan itu dengan paksa dan sedikit kasar. Raut wajahnya datar, kedua matanya menatap lurus gadis yang baru saja memeluknya tanpa ijin. Rahangnya mengeras, menandakan pemuda itu tengah menahan gejolak emosinya yang siap meledak.
Jeandra bukan tipe pemuda yang mudah dekat dan bercanda kepada siapa pun. Bahkan, senyumannya baru terlihat oleh teman kelasnya saat mulai dekat dengan Anindya. Sebelumnya, pemuda itu tak pernah menampilkan ekspresi berlebih. Meskipun, pemuda itu termasuk pemuda yang tak mudah marah, tetapi tetap saja—Jeandra tak muda didekati.
"Thank's dan pergilah!" Suara dingin Jeandra cukup membuat siapa pun yang mendengar merasa ketar-ketir.
Gadis itu menunduk dalam, masih bergeming di tempatnya. Jeandra pun masih di tempat yang sama dengan ekspresi yang tak berubah. Sampai suara dering ponsel milik Jeandra menarik atensi mereka.
Panggilan dari Sherli membuat Jeandra mengerutkan keningnya bingung. Namun, belum juga pria itu menerima panggilan itu. Sherli sudah mematikan secara sepihak. Jeandra cukup terkejut, tatkala ia melihat notif pesannya dari orang yang sama.
Sherli 11 ips 3:
Jeanjing!
Lo ngapain lagi breng*sek!
Temen gue nangis gara-gara lo"F*ck!" Jeandra mengumpat kasar dan berlari seperti orang kesetanan. Tak memedulikan kedua temannya yang sebelumbya bersamanya. Yang kini kebingungan melihat kepergiannya.
****
"Duh, Nin! Kayaknya ini salah paham, deh." Sherli berpindah tempat di samping si wakil ketua. Mengusap lembut punggung Anindya yang sudah bergetar hebat.
"Kok sakit, ya, Sher?" Anindya berkata di sela-sela sesenggukannya.
Sherli makin kebingungan, pasalnya ia hanya sendirian bersama Anindya di kantin. Dengan sebalah tangannya yang masih aktif membalas pesan grup kelas. Membahas kejadian pelukan si kapten dan kepanikan mereka melihat Jeandra pergi dengan wajah kerasnya.
"Gue baperan banget, gak, sih, Sher?" Lagi, Anindya bersuara dengan air mata yang masih terus lurus.
Dadanya terasa sesak tanpa pernah ia rasakan sebelumnya. Sedari awal semua memang salahnya yang berani bermain perasaan. Walaupun awalnya ia hanya ingin sekedar bercanda meramaikan grup. Namun, siapa yang menyangka kalau semuanya akan menjadi sebuah kerumitan tersendiri. Kerumitan untuk perasaannya sendiri.
Sherli tak berkata apa pun. Membiarkan si wakil ketua itu menumpahkan segalanya. Walaupun sebenarnya ia ingin sekali mengumpati si kapten basketnya yang entah kenapa lelet sekali bertindak.
"Anin!"
Suara yang terdengar tak asing lagi itu berhasil membuat kedua gadis yang ada di kantin itu berjengit kaget. Menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Untuk memastikan siapa yang datang.
Anindya tertegun dengan wajah yang sudah memerah dan kacau. Kedua netranya yang masih berembun akibat air mata itu seakan terkunci oleh kedua mata tajam Jeandra.
"Brengsek lo!" Sherli langsung menyumpah serapahi Jeandra begitu pemuda itu tiba di meja yang ia tempati. "Cepet selesain, deh. Gue gemes ke kalian berdua soalnya," lanjutnya lagi.
Kemudian, ia pergi begitu saja meninggalkan kedua anak manusia yang sangat bodoh dengan perasaannya sendiri. Berharap mereka berdua bisa menyelesaikan masalah yang terjadi.
Selepas kepergian Sherli, Jeandra pun mengambil duduk di samping si wakil ketua. Perasaan marahnya berubah menjadi perasaan bersalah. Saat tahu Anindya menangis karenanya.
"Sorry," ucap Jeandra dengan pelan.
Anindya melengos, membersihkan sisa air mata di wajahnya dengan kasar. Merutuki diri, karena bisa-bisanya ia menangis dan Jeandra mengetahuinya. Sungguh ia merasa malu, bodoh, dan ingin lenyap sekarang juga.
"Anin ... itu semua gak seperti yang lo kira. Lo salah paham," ujar Jeandra lagi memecah keheningan.
"Gak ada urusan sama gue!" balas Anin ketus, masih dengan posisinya yang memunggungi si kapten.
Jeandra tersenyum mendengar jawaban Anindya. Entahlah, ia merasa gemas melihat tingkah si wakil saat ini.
"Ya udah, kalau gitu sini liat gue! Ada yang mau gue omongin," ucap si kapten melembut. Mencoba membujuk gadis yang sejak tadi ia cari.
"Bu wakil," panggil Jeandra lagi.
Anindya pun berdecak kesal. Dengan terpaksa ia berbalik dan menatap galak ke arah si kapten. "Apa? Mau ngomong apa buruan!" sergahnya.
Tanpa banyak berkata, pemuda itu menarik tubuh Anindya ke dalam pelukannya. Memeluk Anindya dengan eratnya. Membuat si wakil terbelalak kaget. Tanpa bisa memberontak.
"Dengerin gue, ya. Gue gak punya hubungan dengan siapa pun. Tadi itu hanya salah paham. Gue juga kaget, karena tuh anak tiba-tiba meluk gue dan bilang suka ke gue. Kalau lo gak percaya lo bisa tanya Zidane dan Marcel. Karena mereka bareng gue tadi. Jadi, pleasee maafin gue dan jangan salah paham lagi, Bu wakil," tutur Jeandra panjang lebar untuk pertama kalinya. Tak membiarkan jantung Anindya tenang sedari tadi.
"Kita baikan, ya?"
*
*
*Halooo semuaaaa
Udah gak salah paham lagi kan?
Cringe gak sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beginning [TERBIT] OPEN PRE-ORDER
Novela Juvenil[Naskah event PENSI bersama Teorikata. Sedang dalam proses revisi untuk terbit cetak] Berawal dari salah seorang temannya yang meminta bantuan mencari kenalan anak basket. Anindya Kamala si wakil ketua kelas 11 ips 3 terjebak dalam hubungan rumit de...