12. Baikan

149 26 4
                                    

Dikarenakan akan ada acara lomba dan ulang tahun sekolah. SMA Cakrawala 01 sudah sibuk berlatih mengenai lomba yang akan diikuti. Biasanya setiap bel istirahat berbunyi, para murid akan saling berebutan ke kanin. Namun, tidak dengan sekarang. Tak sedikit murid-murid tinggal di kelas ataupun ke ruang ekskul masing-masing. Begitu juga dengan murid di kelas 11 ips 3.

"Siapa yang megang gitar, drum, bass, piano?" tanya Anindya memandangi Zidane serius.

"Buset! Pelan-pelan, Bu wakil. Kita gak jadi ngeband. Kita duet aja nanti, gue yang ngegenjreng," papar Zidane panjang lebar.

Anindya mengangguk paham. "Kalau gitu latian di rumah gue aja nanti. Sekarang kita bantu yang lain  buat ngehias kelas."

Kemudian, gadis itu pergi ke tempat si sekretaris berada. "Ada berapa lomba yang diikuti, Jes?"

Jessika yang lagi mengobrol dengan Tata menoleh ke arah Anindya yang sudah ada di sampingnya. "Basket, futsal, cerdas cermat sama nyanyi, Nin."

"Siapa aja yang ikut," tanya Anin lagi yang sudah menarik kursi di dekatnya untuk bergabung dengan kedua temannya itu.

"Basket ada Jean, Riko, Beno, Gavino, Leon."

"Gila! Ketua ikut turun juga?" tanya Anin terkejut.

Tata tergelak mendengar keterkejutan si wakil. "Iya, dipaksa sama Riko dan Gavino kemaren," terangnya, mengingat bagaimana kedua temannya memaksa dan membujuk dengan segala macam cara agar si ketua kelas mau.

Anindya ikut tertawa, karena pastinya Riko tidak akan dengan mudah membiarkan targetnya lolos begitu saja. "Baguslah! Biar ikut andil. Terus yang futsal sama cerdas cermat siapa?"

"Kalau futsal ada Marcel, Lintang, Zidane, Leon sama Gavino. Dua orang itu terpaksa ikut lagi, soalnya di kelas kita gak ada cowonya lagi," papar Jessika melihat catatannya. Yang diangguki oleh Anindya.

"Cerdas cermat ada Lintang, Kinan, Aqila. Sisanya bagian ngehias kelas aja. Eh! Tapi lo jadi ikut nyanyi bareng Zidane?" Jessika menatap Anindya meminta kepastian.

"Iya, nanti gue mulai latian sama Zidane di rumah," jawab Anindya tegas.

"Widih! Kenapa gak latian di sini aja, Bu wakil?" Firli datang bersama Sherli dan bergabung.

Anindya mengulum senyumannya menatap teman-temannya. "Biar surprise, dong!" sahutnya diakhiri tawa kecil.

****

Anindya keluar dari minimarket dekat sekolahannya. Gadis itu menyempatkan diri untuk membeli susu strawberri, sebelum ia pulang. Lebih tepatnya, ia harus ke tempat lesnya lebih dulu. Saking asyiknya gadis itu dengan dua kotak susu yang ia beli, Anindya sampai tidak sadar, bahwa sudah ada pria paruh baya di depannya.

"Anin!"

Suara yang tak asing, tetapi sudah jarang tak lagi ia dengar, berhasil menyentak Anindya. Tubuh gadis itu seketika membeku di tempatnya. Perlahan kepalanya terangkat, untuk memastikan siapa yang memanggilnya.

"P–papa," gumam Anindya. Sangat sesuai dengan praduganya.

"Kenapa kamu masih di sini? Kamu mau bolos les, gitu?" tuduh pria paruh baya itu, tak membiarkan Anindya menjawab. "Papa susah-susah cari uang dan biayain kamu ke sekolah elit dan masukin kamu ke tempat les yang bagus itu bukan untuk berleha-leha. Tapi, gunakan kesempatan itu dengan benar dan baik, Anin."

"Tapi, setiap nilai Anin tinggi. Papa malah marahin Anin, bukan bangga ke Anin. Lalu, buat apa Anin belajar dengan giat dan memanfaatkan fasilitas yang ada!" Anindya menyahut dengan berani. Terpancing emosi atas tuduhan tak berdalih itu.

Pria paruh baya yang ternyata ayah kandung Anindya itu semakin mengeraskan rahangnya. "Berani kamu jawab Papa sekarang, Anindya! Ini yang kamu dapat dari sekolah dan les yang mahal? Iya?!" bentaknya tak ingat tempat, sampai Anindya dibuat tersentak kaget.

Anindya sontak menatap nanar pria yang mejadi ayahnya itu. Tanpa sadar, memundurkan langkahnya. Merasa takut tiba-tiba dengan ayahnya sendiri.

Seorang siswa yang sedari tadi tak sengaja melihat kejadian tak terduga antara ayah dan anak itu, akhirnya memutuskan untuk mendekat. Lalu, berdiri di samping Anindya tanpa berpikir panjang lagi. Tak lagi peduli, jika nanti dirinya akan dicap sebagai orang yang ikut campur masalah orang lain.

"Maaf, Om. Saya Jeandra teman Anindya."

Iya, sosok siswa yang sedari tadi melihat pertikaian itu adalah si kapten basket 11 ips 3. Dengan lancang, berani menghampiri wakil ketua kelasnya. Membuat Anindya terkejut bukan main.

"Bukan ingin ikut campur, tidak sopan atau menggurui. Tapi, tindakan Om itu kurang tepat, kalau dilampiaskan di tempat umum seperti ini. Alangkah baiknya Om bicarain baik-baik di rumah agar tak menimbulkan persepsi negatif orang-orang," lontar Jeandra dengan beraninya, berhasil membungkam ayah Anindya.

Pria tua itu pun mendengkus kasar. Tanpa banyak berkata lagi, ia pergi meninggalkan putri kandungnya. Melupakan niat awal ia datang ke minimarket itu.

***

"Makasih," Anindya berucap pelan, begitu sampai di depan rumahnya.

Jeandra tersenyum tipis. Tangannya terulur dengan ringannya ke puncak kepala Anindya. Menepuk-nepuknya pelan. Seolah mengatakan, jika semua yang dilakukannya itu hanyalah sebuah hal kecil yang sudah seharusnya ia lakukan.

"Bu wakil," panggil Jeandra tatkala Anindya masih betah menunduk, mengalihkan tatapan darinya.

"Apa?"

"Sorry," ucap Jeandra.

Satu kata yang sukses menarik atensi Anindya, dan gadis itu mau menatap si kapten basket tersebut. "Apa?" tanyanya lagi, seperti orang bodoh.

"Maaf, Bu wakil. Maaf karena udah salah paham dalam waktu terakhir ini. Gue ... kekanakan banget," jelas Jeandra menahan kegelisahannya. Pasalnya, ia sekarang tengah gugup dan ketar-ketir. Takut Anindya tak mau memaafkannya.

Kedua sudut bibi Anindya pun tertarik membentuk sebuh lengkungan. Tersenyum dan mengangguk. "Maaf juga karena gue gak paham kalau selama ini lo salah paham, Kapten."

Senyuman Jeandra semakin melebar, hingga membuat kedua mata sipitnya menghilang, membentuk bulan sabit. "Jadi, kita baikan, nih? Gak ada acara menghindar lagi, kan?" tanyanya untuk memastikan.

"Siapa yang menghindar coba? Lo kali!" Anindya mengelak dan melengos. Menyembunyikan hawa panas yang kini berkumpul di wajahnya.

Si kapten yang melihat itu terkekeh. Kembali mengacak-ngacak puncak kepala Anindya, merasa gemas sendiri. "Iya, deh, iya. Gue yang ngehindar selama ini. Bukan elo."

Refleks kepala Anindya kembali menoleh ke arah Jeandra. Kedua netranya mendelik. Apa-apaan coba, kapten basket ini mendadak mengalah kepadanya? Belum lagi senyum-senyum sedari tadi. Bisa-bisa jantungnya gak aman kalau lama-lama berada di dekat Jeandra.

"Lo horor banget, kalau senyum terus."

Dalam seketika senyuman Jeandra menghilang. "Emang serem, kah, kalau gue senyum? Atau aneh?"

Tawa Anindya meledak juga akhirnya. Tak menyangka candaannya itu membuat si kapten basket yang jarang menampilkan ekspresi berlebih itu percaya. "Lucu banget, lo! Padahal gue cuma becanda," ujarnya di sela-sela tawa memegangi perutnya.

Tak peduli dengan lelucon yang Anindya maksud. Jeandra malah membeku, terpesona melihat gadis itu tertawa lepas. "Cantik," gumamnya tanpa sadar.

"Hah! Lo ngomong apa?" tanya Anindya meredakan tawanya.

Jeandra terkesiap, merutuki kebodohannya yang sampai keceplosan. Namun, sepertinya masih aman, karena wakil ketua kelasnya itu tak terlalu mendengar. "Bukan ap—"

Belum selesai Jeandra berucap. Ponsel Anindya berdering, menginterupsi. Anindya segera merogoh ponsel pintarnya itu dan seketika kedua matanya terbelalak dengan mulut yang menganga.

"Mampus! Zidane mau ke sini."

"Hah!"

*
*
*

Hai semua
Selamat membaca dan beraktifitas
See you

The Beginning [TERBIT] OPEN PRE-ORDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang